Bangunan satu lantai Museum Cheng Ho TMII Jakarta berada di ujung belakang area Taman Budaya Tionghoa Indonesia, di kawasan Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur. Museum ini berbagi tempat dengan Museum Peranakan Indonesia tanpa adanya sekat pemisah jelas diantara keduanya. Begitu pun bangunannya cukup megah dan anggun dengan ruang terbuka di bagian tengahnya.
Lokasi Museum Cheng Ho TMII Jakarta tepat berada di sebelah kanan bangunan bergaya Tulou (rumah tanah) yang di dalamnya terdapat Museum Tionghoa Indonesia dan Museum Hakka Indonesia. Ketiga museum itu, serta Museum Peranakan Indonesia, beririsan isinya satu dengan yang lainnya, dan saya kira keempatnya masih dalam proses mencari bentuk akhir yang lebih pas.
Di bagian depan Museum Cheng Ho TMII Jakarta terdapat tengara papan nama dipasang tepat di atas pintu masuk, dalam dua bahasa. Pada tembok sebelah kanan adalah tengara Museum Peranakan Indonesia, sedangkan plakat di sebelah kiri berisi keterangan nama penyumbang gedung ini yaitu HM Yos Soetomo, keturunan Tionghoa yang masuk Islam pada tahun 1972 dan disebut sebagai orang terkaya di Kalimantan Timur yang tetap rendah hati.
Patung Laksamana Cheng Ho dengan jubah berkibar yang terbuat dari beton atau semen putih bertekstur halus tampak berdiri di seberang Museum Cheng Ho menghadap ke arah danau, tanpa ada ruang cukup di depan atau samping kiri-kanannya untuk bisa memotret wajah patung.
Pengunjung hanya bisa memotretnya dari seberang danau menggunakan lensa tele atau dengan drone. Di belakang bawah patung terdapat toreh dua aksara Tionghoa, aksara Latin berbunyi Cheng Ho dan tahun 1371 - 1435, yang adalah masa hidupnya selama 64 tahun.
Pintu terbuka lebar dan tak ada tiket yang harus dibayar untuk masuk ke dalam ruangan museum ini. Di dalam ruangan museum terdapat lukisan wajah Laksamana Cheng Ho dengan jubah dan topi bersusun serta sepenggal kisah kehidupannya.
Bagian tengah Museum Cheng Ho merupakan area terbuka dengan atap tembus pandang sehingga cahaya matahari dan rembulan bebas masuk ke dalam ruangan. Batu-batu putih dan kelabu ditebar di lekukan segi empat untuk memberi kesan bersih dan lapang. Sejumlah pot dengan tanaman perdu tampak belum begitu dipelihara dan ditata dengan baik.
Suku Hui merupakan keturunan kawin campur suku Han dengan bangsa Persia dan Arab yang berlangsung sejak jaman Dinasti Tang pertama (618–690). Suku Hui adalah salah satu suku bangsa terbesar di Tiongkok yang secara fisik mirip dengan suku Han namun dengan cara hidup berbeda.
Ketika Kaisar Ming pertama mengerahkan pasukannya untuk mempersatukan Tiongkok setelah runtuhnya Dinasti Yuan (Mongol, 1297-1368), Provinsi Yunnan diserbu dan ditaklukkan oleh pasukan Ming. Ayahnya tewas dalam serangan itu.
Cheng Ho yang masih berusia 11 tahun ditawan dan kemudian dijadikan kasim istana di Beijing dimana ia lalu mengabdi pada Raja Muda Zu, putera keempat Kaisar Ming. Karena kesetian dan pengabdiannya hingga mempertaruhkan nyawa untuk melindungi sang pangeran membuatnya dianugerahi nama keluarga Zheng.
Karenanya Cheng Ho juga dikenal sebagai Zheng He, dengan nama Islam Haji Mahmud Shams, sedangkan nama aslinya adalah Ma He atau Ma Sanbao. Jika menjumpai orang Tionghoa bermarga Ma, maka tentulah ia keturunan suku Hui dan kemungkinan besar beragama Islam. Cheng Ho mengadopsi anak tertua kakak laki-lakinya, yang dianugerahi pangkat turun temurun di lingkungan Pasukan Penjaga Kekaisaran.
Dalam salah satu ekspedisinya Cheng Ho disebut berhasil menangkap bajak laut Chen Zhuyi di Palembang dan mengangkat Si Jinqin sebagai pejabat perdamaian di Palembang pada tahun 1407. Eskpedisi Laksamana Cheng Ho berlangsung dalam kurun waktu 27 tahun (1405 - 1433) dengan 7 pelayaran ke selatan.
Ma Huan mencatat setidaknya Cheng Ho singgah lima kali di Sumatera (Palembang, Deli, Aceh) dan Jawa (Jakarta, Semarang, Surabaya, Tuban, dan Cirebon). Sekitar 11.000 anak buah Cheng Ho tidak kembali ke Tiongkok, baik karena meninggal atau tertinggal dan kemudian bermukim di sejumlah tempat seperti di Malaka, Sumatera, dan Jawa.
Sebuah poster di Museum Cheng Ho TMII Jakarta menyebutkan bahwa dalam buku yang terbit pada 1421 berjudul "The Year China Discovered The World" karya Gavin Menzes disebutkan kapal-kapal ekspedisi Cheng Ho telah lebih dahulu dipakai menjelajah benua Eropa dan Amerika (sebelum Columbus "menemukannya") hingga ke kutub utara dan selatan.
Pada buku "Zheng He and the Treasure Fleet 1405-1433" karya Paul Rozaria disebut bahwa pada ekspedisi pertama Cheng Ho membawa 317 kapal dengan awak 27.870 orang. Ekspedisi ketiga membawa 48 kapal dengan 30.000 awak, ekspedisi keempat 63 kapal 28.560 awak, dan pada ekspedisi terakhir ada 300 kapal dengan 27.550 awak. Kalau angka ini benar, maka pada ekspedisi ketiga dan keempat tentulah ada kapal-kapal yang berukuran besar. Ada yang menyebut Cheng Ho wafat pada 1433, selama atau segera setelah ekspedisi ke-7, namun ada pula yang meyakini ia meninggal pada 1435.
Lantaran banyak anak buah kapalnya asal suku Hui yang beragama Islam maka tak heran ekspedisi itu juga turut berperan dalam penyebaran agama Islam melalui perkawinan dengan penduduk dimana mereka singgah, termasuk di kawasan Nusantara.
Selain museum ini, ada sejumlah masjid dan kelenteng yang menggunakan nama Cheng Ho atau memiliki keterkaitan erat dengannya. Diantaranya adalah Masjid Cheng Hoo Surabaya yang kecil namun cantik, Masjid Cheng Ho Purbalingga dengan warna bangunan lebih berani, Kelenteng Sam Poo Kong Semarang yang artistik, Kelenteng Sam Po Tay Jin Tangerang, dan Kelenteng Bahtera Bhakti Jakarta yang unik.
Meski jenazahnya tak jelas dimana (ada yang menyebut disemayamkan di laut selatan India), namun sebuah makam dibangun untuk Cheng Ho di lereng selatan Bukit Sapi, Nanjing. Makam aslinya berbentuk tapal kuda, akan tetapi pada tahun 1985 dibangun kembali mengikuti gaya makam Muslim.
Alamat Museum Cheng Ho berada di Taman Budaya Tionghoa Indonesia, Kompleks Taman Mini Indonesia Indah, Ceger, Cipayung, Jakarta Timur. Telepon 021-92363682, 0816 728846, 0813 80331338. Lokasi GPS : -6.3051519, 106.9037211, Waze. Jam buka : 09.00 - 16.00. Hari Senin dan hari libur TUTUP. Harga tiket masuk : Gratis. Pintu Masuk TMII (3 tahun ke atas) Rp 10.000, mobil Rp 10.000, Bus Rp 30.000, sepeda motor Rp. 6.000, sepeda Rp 1.000. Hotel di Jakarta Timur, Hotel Melati di Jakarta Timur, Nomor Telepon Penting, Peta Wisata Jakarta, Peta Wisata Jakarta Timur, Rute dan Jadwal Lengkap KRL Commuter Line Jabodetabek, Rute Lengkap TransJakarta, Tempat Wisata di Jakarta, Tempat Wisata di Jakarta Timur, Trayek Bus Damri Bandara Soekarno - Hatta.
Lokasi Museum Cheng Ho TMII Jakarta tepat berada di sebelah kanan bangunan bergaya Tulou (rumah tanah) yang di dalamnya terdapat Museum Tionghoa Indonesia dan Museum Hakka Indonesia. Ketiga museum itu, serta Museum Peranakan Indonesia, beririsan isinya satu dengan yang lainnya, dan saya kira keempatnya masih dalam proses mencari bentuk akhir yang lebih pas.
Di bagian depan Museum Cheng Ho TMII Jakarta terdapat tengara papan nama dipasang tepat di atas pintu masuk, dalam dua bahasa. Pada tembok sebelah kanan adalah tengara Museum Peranakan Indonesia, sedangkan plakat di sebelah kiri berisi keterangan nama penyumbang gedung ini yaitu HM Yos Soetomo, keturunan Tionghoa yang masuk Islam pada tahun 1972 dan disebut sebagai orang terkaya di Kalimantan Timur yang tetap rendah hati.
Patung Laksamana Cheng Ho dengan jubah berkibar yang terbuat dari beton atau semen putih bertekstur halus tampak berdiri di seberang Museum Cheng Ho menghadap ke arah danau, tanpa ada ruang cukup di depan atau samping kiri-kanannya untuk bisa memotret wajah patung.
Pengunjung hanya bisa memotretnya dari seberang danau menggunakan lensa tele atau dengan drone. Di belakang bawah patung terdapat toreh dua aksara Tionghoa, aksara Latin berbunyi Cheng Ho dan tahun 1371 - 1435, yang adalah masa hidupnya selama 64 tahun.
Ciok say
Sepasang tempat duduk dari batu mengapit pintu masuk, dan sepasang singa (Ciok say, kilin) tampak berjaga di bagian depan. Singa betina yang sebelah kiri bermain dengan anaknya, dan singa jantan di sebelah kanan memegang bola di kakinya. Konon patung singa semacam ini pertama kali dibuat pada permulaan pemerintahan Dinasti Han Timur (23 – 220 M).Pintu terbuka lebar dan tak ada tiket yang harus dibayar untuk masuk ke dalam ruangan museum ini. Di dalam ruangan museum terdapat lukisan wajah Laksamana Cheng Ho dengan jubah dan topi bersusun serta sepenggal kisah kehidupannya.
Bagian tengah Museum Cheng Ho merupakan area terbuka dengan atap tembus pandang sehingga cahaya matahari dan rembulan bebas masuk ke dalam ruangan. Batu-batu putih dan kelabu ditebar di lekukan segi empat untuk memberi kesan bersih dan lapang. Sejumlah pot dengan tanaman perdu tampak belum begitu dipelihara dan ditata dengan baik.
Riwayat Cheng Ho
Cheng Ho adalah putera kedua dari lima bersaudara anak Haji Ma (Ma Hazhi). Ia lahir di Distrik Kunyang, Provinsi Yunan, Tiongkok, yang kebanyakan penduduknya dari Suku Hui dan beragama Islam. Agama yang dianut Suku Hui bernafaskan ajaran Konfusianis, dan membedakannya dengan suku Uygur, suku minoritas resmi di Tiongkok yang beragama Islam namun bernafas Asia Tengah.Suku Hui merupakan keturunan kawin campur suku Han dengan bangsa Persia dan Arab yang berlangsung sejak jaman Dinasti Tang pertama (618–690). Suku Hui adalah salah satu suku bangsa terbesar di Tiongkok yang secara fisik mirip dengan suku Han namun dengan cara hidup berbeda.
Ketika Kaisar Ming pertama mengerahkan pasukannya untuk mempersatukan Tiongkok setelah runtuhnya Dinasti Yuan (Mongol, 1297-1368), Provinsi Yunnan diserbu dan ditaklukkan oleh pasukan Ming. Ayahnya tewas dalam serangan itu.
Cheng Ho yang masih berusia 11 tahun ditawan dan kemudian dijadikan kasim istana di Beijing dimana ia lalu mengabdi pada Raja Muda Zu, putera keempat Kaisar Ming. Karena kesetian dan pengabdiannya hingga mempertaruhkan nyawa untuk melindungi sang pangeran membuatnya dianugerahi nama keluarga Zheng.
Karenanya Cheng Ho juga dikenal sebagai Zheng He, dengan nama Islam Haji Mahmud Shams, sedangkan nama aslinya adalah Ma He atau Ma Sanbao. Jika menjumpai orang Tionghoa bermarga Ma, maka tentulah ia keturunan suku Hui dan kemungkinan besar beragama Islam. Cheng Ho mengadopsi anak tertua kakak laki-lakinya, yang dianugerahi pangkat turun temurun di lingkungan Pasukan Penjaga Kekaisaran.
Ekspedisi Cheng Ho
Saat sang raja muda naik tahta menjadi kaisar dan bergelar Ming Cheng Zu (1368-1644), Cheng Ho dipilihnya untuk memimpin ekspedisi laut terbesar dalam sejarah Tiongkok. Tujuannya adalah untuk menata hubungan dan menanamkan pengaruh Dinasti Ming ke negara-negara di wilayah selatan seraya menyebarkan kebudayaan Tiongkok.Dalam salah satu ekspedisinya Cheng Ho disebut berhasil menangkap bajak laut Chen Zhuyi di Palembang dan mengangkat Si Jinqin sebagai pejabat perdamaian di Palembang pada tahun 1407. Eskpedisi Laksamana Cheng Ho berlangsung dalam kurun waktu 27 tahun (1405 - 1433) dengan 7 pelayaran ke selatan.
Ma Huan mencatat setidaknya Cheng Ho singgah lima kali di Sumatera (Palembang, Deli, Aceh) dan Jawa (Jakarta, Semarang, Surabaya, Tuban, dan Cirebon). Sekitar 11.000 anak buah Cheng Ho tidak kembali ke Tiongkok, baik karena meninggal atau tertinggal dan kemudian bermukim di sejumlah tempat seperti di Malaka, Sumatera, dan Jawa.
Sebuah poster di Museum Cheng Ho TMII Jakarta menyebutkan bahwa dalam buku yang terbit pada 1421 berjudul "The Year China Discovered The World" karya Gavin Menzes disebutkan kapal-kapal ekspedisi Cheng Ho telah lebih dahulu dipakai menjelajah benua Eropa dan Amerika (sebelum Columbus "menemukannya") hingga ke kutub utara dan selatan.
Pada buku "Zheng He and the Treasure Fleet 1405-1433" karya Paul Rozaria disebut bahwa pada ekspedisi pertama Cheng Ho membawa 317 kapal dengan awak 27.870 orang. Ekspedisi ketiga membawa 48 kapal dengan 30.000 awak, ekspedisi keempat 63 kapal 28.560 awak, dan pada ekspedisi terakhir ada 300 kapal dengan 27.550 awak. Kalau angka ini benar, maka pada ekspedisi ketiga dan keempat tentulah ada kapal-kapal yang berukuran besar. Ada yang menyebut Cheng Ho wafat pada 1433, selama atau segera setelah ekspedisi ke-7, namun ada pula yang meyakini ia meninggal pada 1435.
Pengaruh Cheng Ho
Sebuah poster di Museum Cheng Ho TMII menyebut peninggalan (pengaruh) Cheng Ho di Nusantara, diantaranya pada arsitektur Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh (abad ke-17), Masjid Lawang Kidul Palembang (abad ke-4), Masjid Sendang Tuban (abad ke-7), Masjid Kebon Jeruk Jakarta (abad ke-8), dan Masjid Agung Demak (abad ke-9). Di Samudera Pasai Aceh, Cheng Ho menghadiahkan Lonceng Raksasa "Cakra Donya" pada Sultan Aceh, juga cindera mata kepada Raja Majapahit serta Sultan Cirebon.Lantaran banyak anak buah kapalnya asal suku Hui yang beragama Islam maka tak heran ekspedisi itu juga turut berperan dalam penyebaran agama Islam melalui perkawinan dengan penduduk dimana mereka singgah, termasuk di kawasan Nusantara.
Selain museum ini, ada sejumlah masjid dan kelenteng yang menggunakan nama Cheng Ho atau memiliki keterkaitan erat dengannya. Diantaranya adalah Masjid Cheng Hoo Surabaya yang kecil namun cantik, Masjid Cheng Ho Purbalingga dengan warna bangunan lebih berani, Kelenteng Sam Poo Kong Semarang yang artistik, Kelenteng Sam Po Tay Jin Tangerang, dan Kelenteng Bahtera Bhakti Jakarta yang unik.
Meski jenazahnya tak jelas dimana (ada yang menyebut disemayamkan di laut selatan India), namun sebuah makam dibangun untuk Cheng Ho di lereng selatan Bukit Sapi, Nanjing. Makam aslinya berbentuk tapal kuda, akan tetapi pada tahun 1985 dibangun kembali mengikuti gaya makam Muslim.
Alamat Museum Cheng Ho berada di Taman Budaya Tionghoa Indonesia, Kompleks Taman Mini Indonesia Indah, Ceger, Cipayung, Jakarta Timur. Telepon 021-92363682, 0816 728846, 0813 80331338. Lokasi GPS : -6.3051519, 106.9037211, Waze. Jam buka : 09.00 - 16.00. Hari Senin dan hari libur TUTUP. Harga tiket masuk : Gratis. Pintu Masuk TMII (3 tahun ke atas) Rp 10.000, mobil Rp 10.000, Bus Rp 30.000, sepeda motor Rp. 6.000, sepeda Rp 1.000. Hotel di Jakarta Timur, Hotel Melati di Jakarta Timur, Nomor Telepon Penting, Peta Wisata Jakarta, Peta Wisata Jakarta Timur, Rute dan Jadwal Lengkap KRL Commuter Line Jabodetabek, Rute Lengkap TransJakarta, Tempat Wisata di Jakarta, Tempat Wisata di Jakarta Timur, Trayek Bus Damri Bandara Soekarno - Hatta.
Sponsored Link
Sponsored Link
Sponsored Link
Bagikan ke:
Facebook, Twitter, WhatsApp, Telegram, Email. Print!.