Memasuki Desa Linggoasri di Kecamatan Kajen kami melihat tanda Pura Kalingga Satya Dharma Pekalongan, dan memutuskan untuk mampir. Pura paling jarang saya kunjungi. Selain sedikit, biasanya pura tidak seterbuka masjid dan kelenteng terhadap pejalan, kecuali di Bali.
Pada sebagian besar kasus, ramah tidaknya tempat ibadah bergantung pengurusnya. Hanya saja ada sebagian dari kadar keramahan atau ketidakramahan tempat ibadah yang dipengaruhi oleh bagaimana sikap dan penghormatan para pengunjung luar pada kesucian tempat ibadah itu. Akses menuju ke Pura Kalingga Satya Dharma Pekalongan dari jalan besar cukup lebar, hanya saja tidak mulus dan merupakan jalan tanah yang diperkeras dengan susunan batu.
Di sejumlah titik susunan batu itu agak besar dan kasar, sehingga perlu hati-hati ketika melewatinya. Gapura masuk berada sekitar 90 meter dari tepian jalan raya, arah ke Utara. Ukuran Pura Kalingga Satya Dharma Pekalongan ini tidak begitu besar. Jaba jero atau utama mandala berukuran sekitar 25 x 25 meter, sedangkan jaba tengah berukuran sekitar 6 x 25 meter. Piodalan atau ulang tahun pura diselenggarakan setiap tahunnya yang jatuh pada hari Minggu Kliwon pada bulan Juli.
Gapura candi bentar Pura Kalingga Satya Dharma Pekalongan yang memisahkan jaba luar dengan madya mandala (bagian tengah pura). Candi bentar adalah bentuk gapura bayangan cermin yang bagian atasnya tidak terhubung. Pada kedua sisi gapura terdapat lambang swastika putih berdasar hijau. Ornamen gapura ini terbilang sederhana, dan puncak bagian kirinya tampak patah.
Di sebelah kiri bawah adalah tengara nama pura yang terlihat sudah mulai kusam dan luntur tulisannya. Tengara di tempat terbuka seperti ini yang terpapar cuaca panas, dingin dan hujan memang cepat berubah dan karenanya pengurus yang baik akan selalu memperbaruinya setiap tahunnya. Biasanya menjelang upacar besar.
Pada dinding sebelah kiri ada tulisan larangan masuk ke dalam pura tanpa ijin pengurus. Hanya saja tak seorang pun tampak di lokasi saat itu. Di latar belakang, di belakang gapura candi bentar, tampak gapura paduraksa dengan ornamen lebih baik yang memisahkan madya mandala dengan utama mandala (jaba jero). Gapura paduraksa itu juga disebut kori agung.
Penampakan pada candi bentar dan kori agung yang berbentuk gapura paduraksa di belakang sana. Pagar yang terbuat dari ram-raman besi itu tak digembok, sehingga saya bisa membukanya dan masuk ke jaba tengah dengan berharap akan dapat bertemu salah satu pengurus. Sayang di dalam area tak tampak ada orang, dan tak pula yang datang mendekati pura.
Meskipun bisa saja masuk ke area yang paling dalam, yang disebut jaba jero atau utama mandala, namun ada rasa sungkan karena adanya larangan di tembok gapura candi bentar itu. Bagaimana pun saya masih bisa melihat area bagian dalam Pura Kalingga Satya Dharma Pekalongan tanpa perlu masuk ke dalamnya, tentu saja dengan keterbatasan sudut pandang.
Bisa dimengerti adanya aturan seperti itu karena pura, sebagaimana masjid, kelenteng dan gereja atau wihara, adalah pada dasarnya merupakan tempat ibadah, tempat dimana umat memuja dan bersembahyang ke Yang Mahakuasa, bukan tempat wisata. Hanya saja ada ketertarikan alamiah untuk berkunjung ke pura dan kelenteng oleh karena umumnya ada banyak ornamen menarik di dalamnya.
Pemandangan pada sejumlah bangunan yang berada di area jaba jero atau utama mandala Pura Kalingga Satya Dharma Pekalongan, tempat dimana biasanya umat bersembahyang dan berdoa. Di bagian depan terdapat dua buah bale tanpa penutup yang umumnya dipakai ketika ada upacara ritual keagamaan. Pada puncak atap terdapat kemuncak berwujud mahkota.
Di ujung belakang area tampak berderet tiga buah padmasana, tempat untuk bersembahyang dan menaruh sajian. Di ujung kanan ukurannya paling kecil dengan sebuah relung pada tingkat ketiga dan pada badannya terdapat ornamen bunga dan lambang swastika. Di kirinya lebih besar ukurannya dan ada relief sepasang naga. Sedangkan di ujung kiri berbentuk kori agung.
Pandangan utuh pada kori agung yang memisahkan jaba tengah dengan jaba jero Pura Kalingga Satya Dharma Pekalongan sempat saya ambil fotonya, dengan pintu berukir dedaunan, bebungaan, dan Kala. Di atas pintu juga terdapat relief Kala dengan warna dominan hijau coklat putih dan hitam. Di sebelah kiri kanan undakan terdapat sepasang arca Dwarapala dengan gada di salah satu tangannya.
Pura ini dibangun pemerintah pada Januari 1982 sebagai ganti dari pura aslinya yang dibangun masyarakat di lokasi strategis dengan pemandangan elok di Dukuh Yosorejo pada Maret 1975, oleh sebab di lokasi pura lama digunakan untuk kawasan wisata. Hal yang patut disesalkan karena setiap tempat ibadah, apa pun agamanya, mestinya mendapat lokasi yang terbaik.
Pada sebagian besar kasus, ramah tidaknya tempat ibadah bergantung pengurusnya. Hanya saja ada sebagian dari kadar keramahan atau ketidakramahan tempat ibadah yang dipengaruhi oleh bagaimana sikap dan penghormatan para pengunjung luar pada kesucian tempat ibadah itu. Akses menuju ke Pura Kalingga Satya Dharma Pekalongan dari jalan besar cukup lebar, hanya saja tidak mulus dan merupakan jalan tanah yang diperkeras dengan susunan batu.
Di sejumlah titik susunan batu itu agak besar dan kasar, sehingga perlu hati-hati ketika melewatinya. Gapura masuk berada sekitar 90 meter dari tepian jalan raya, arah ke Utara. Ukuran Pura Kalingga Satya Dharma Pekalongan ini tidak begitu besar. Jaba jero atau utama mandala berukuran sekitar 25 x 25 meter, sedangkan jaba tengah berukuran sekitar 6 x 25 meter. Piodalan atau ulang tahun pura diselenggarakan setiap tahunnya yang jatuh pada hari Minggu Kliwon pada bulan Juli.
Gapura candi bentar Pura Kalingga Satya Dharma Pekalongan yang memisahkan jaba luar dengan madya mandala (bagian tengah pura). Candi bentar adalah bentuk gapura bayangan cermin yang bagian atasnya tidak terhubung. Pada kedua sisi gapura terdapat lambang swastika putih berdasar hijau. Ornamen gapura ini terbilang sederhana, dan puncak bagian kirinya tampak patah.
Di sebelah kiri bawah adalah tengara nama pura yang terlihat sudah mulai kusam dan luntur tulisannya. Tengara di tempat terbuka seperti ini yang terpapar cuaca panas, dingin dan hujan memang cepat berubah dan karenanya pengurus yang baik akan selalu memperbaruinya setiap tahunnya. Biasanya menjelang upacar besar.
Pada dinding sebelah kiri ada tulisan larangan masuk ke dalam pura tanpa ijin pengurus. Hanya saja tak seorang pun tampak di lokasi saat itu. Di latar belakang, di belakang gapura candi bentar, tampak gapura paduraksa dengan ornamen lebih baik yang memisahkan madya mandala dengan utama mandala (jaba jero). Gapura paduraksa itu juga disebut kori agung.
Penampakan pada candi bentar dan kori agung yang berbentuk gapura paduraksa di belakang sana. Pagar yang terbuat dari ram-raman besi itu tak digembok, sehingga saya bisa membukanya dan masuk ke jaba tengah dengan berharap akan dapat bertemu salah satu pengurus. Sayang di dalam area tak tampak ada orang, dan tak pula yang datang mendekati pura.
Meskipun bisa saja masuk ke area yang paling dalam, yang disebut jaba jero atau utama mandala, namun ada rasa sungkan karena adanya larangan di tembok gapura candi bentar itu. Bagaimana pun saya masih bisa melihat area bagian dalam Pura Kalingga Satya Dharma Pekalongan tanpa perlu masuk ke dalamnya, tentu saja dengan keterbatasan sudut pandang.
Bisa dimengerti adanya aturan seperti itu karena pura, sebagaimana masjid, kelenteng dan gereja atau wihara, adalah pada dasarnya merupakan tempat ibadah, tempat dimana umat memuja dan bersembahyang ke Yang Mahakuasa, bukan tempat wisata. Hanya saja ada ketertarikan alamiah untuk berkunjung ke pura dan kelenteng oleh karena umumnya ada banyak ornamen menarik di dalamnya.
Pemandangan pada sejumlah bangunan yang berada di area jaba jero atau utama mandala Pura Kalingga Satya Dharma Pekalongan, tempat dimana biasanya umat bersembahyang dan berdoa. Di bagian depan terdapat dua buah bale tanpa penutup yang umumnya dipakai ketika ada upacara ritual keagamaan. Pada puncak atap terdapat kemuncak berwujud mahkota.
Di ujung belakang area tampak berderet tiga buah padmasana, tempat untuk bersembahyang dan menaruh sajian. Di ujung kanan ukurannya paling kecil dengan sebuah relung pada tingkat ketiga dan pada badannya terdapat ornamen bunga dan lambang swastika. Di kirinya lebih besar ukurannya dan ada relief sepasang naga. Sedangkan di ujung kiri berbentuk kori agung.
Pandangan utuh pada kori agung yang memisahkan jaba tengah dengan jaba jero Pura Kalingga Satya Dharma Pekalongan sempat saya ambil fotonya, dengan pintu berukir dedaunan, bebungaan, dan Kala. Di atas pintu juga terdapat relief Kala dengan warna dominan hijau coklat putih dan hitam. Di sebelah kiri kanan undakan terdapat sepasang arca Dwarapala dengan gada di salah satu tangannya.
Pura ini dibangun pemerintah pada Januari 1982 sebagai ganti dari pura aslinya yang dibangun masyarakat di lokasi strategis dengan pemandangan elok di Dukuh Yosorejo pada Maret 1975, oleh sebab di lokasi pura lama digunakan untuk kawasan wisata. Hal yang patut disesalkan karena setiap tempat ibadah, apa pun agamanya, mestinya mendapat lokasi yang terbaik.
Pura Kalingga Satya Dharma Pekalongan
Alamat : Desa Linggoasri, Kecamatan Kajen, Kabupaten Pekalongan. Lokasi GPS : -7.10157, 109.58385, Waze. Info Wisata Pekalongan: Hotel di Pekalongan, Tempat Wisata di Pekalongan, Peta Wisata Pekalongan.Sponsored Link
Sponsored Link
Sponsored Link
Bagikan ke:
Facebook, Twitter, WhatsApp, Telegram, Email. Print!.