Lokasi Makam Ki Gede Penatas Angin Doro Pekalongan berada di ujung pedukuhan dekat hutan karet. Jalan di hutan karet itu, 2 km ke lokasi, bisa dilewati mobil dengan tebing di kanan dan jurang di kiri. Jalan desa sesudah itu juga sempit, namun ada bahu jalan di beberapa titik.
Halaman luar Makam Ki Gede Penatas Angin Doro Pekalongan yang luas berjarak 200 meter dari Gua Batu. Di sisi kiri halaman ada warung sederhana, yang belakangan kami singgahi untuk mendinginkan tenggorok kering dan untuk mengganjal perut dengan beberapa makanan ringan.
Di warung makan itu pula kami sempat menunggu kuncen Makam Ki Gede Penatas Angin Doro Pekalongan, yang sayangnya tak juga muncul. Bagusnya kami sempat bertemu dan berkenalan dengan anak muda pemilik warung, yang kemudian berbaik hati untuk menemani kami dan menjadi penunjuk jalan menuju situs Baron Sekeber yang lokasinya lumayan jauh.
Dalam perjalanan dari area parkir ke cungkup Makam Ki Gede Penatas Angin Doro Pekalongan kami melewati sebuah musholla yang berukuran tidak begitu besar, namun cukup untuk menampung beberapa shaf jamaah. Tulisan dengan huruf Arab di sisi kiri berbunyi "Musholla Darussalam", dan di bawahnya ada keterangan tempat: Dukuh Kopeng, Pungangan, Doro.
Kedi, anak muda pemilik warung itu bercerita, meskipun semula enggan karena bukan juru kunci, bahwa Ki Gede Penatas Angin adalah ulama penyebar agama Islam yang suatu ketika harus berhadapan dengan Baron Sekeber yang berusaha menghalanginya. Mereka terlibat pertempuran sengit, namun Baron Sekeber bisa dikalahkan dan kemudian menjadi batu.
Saat saya berkunjung ke Makam Raja-Raja Demak, di sana ada Makam Kyai R Natas Angin yang bernama asli Daeng Mangemba Nattisoang dan dikenal pula sebagai Pangeran Penatas Angin atau Sunan Ngatas Angin. Ayahnya adalah Raja Gowa ke-9 bernama Karaeng Tumapa’risi Kalonna yang memerintah pada 1491 – 1527. Mungkin keduanya merujuk pada orang yang sama.
Ada kolam dengan air jernih yang berada di samping musholla bagian depan kompleks Makam Ki Gede Penatas Angin Doro Pekalongan. Sejumlah ikan tampak berenang-renang di dalam kolam. Pada jaman dahulu, sebelum listrik masuk desa, di dekat masjid hampir selalu ada kolam ikan yang juga digunakan sebagai tempat bersuci sebelum masuk ke masjid.
Kemudian kami melewati sebuah pendopo sederhana di sisi sebelah kanan, melewati gapura yang dibuat hanya separoh, dan selanjutnya menuruni undakan berkelok di samping sebatang pohon yang besar dan tinggi. Di sebelah kanan beberapa orang tengah membuat tembok keliling makam. Agak jauh di kiri terlihat cungkup Makam Ki Gede Penatas Angin Doro Pekalongan.
Jalan yang dipasang paving blok ke cungkup makam, dipisahkan antara jalan masuk dan keluar. Pemisahan ini akan sangat bermanfaat ketika ada keramaian tahunan, yaitu khol Ki Gede Penatas Angin yang dilakukan setiap hari Kamis sesudah berlangsungya Hari Raya Idul Adha.
Di ujung jalan berpaving ini terdapat gapura dengan tiga pilar berkubah. Cungkup Makam Ki Gede Penatas Angin Doro Pekalongan memiliki atap berbentuk limasan tumpang dengan kemuncak menyerupai mahkota raja.
Setelah melewati gapura lengkung berpilar kubah itu, di luar cungkup di sebelah kiri terdapat beberapa buah makam sederhana yang berada di bawah rindang pohon. Hanya saja tak ada tengara nama pada jirat kuburnya.
Saat melangkah mendekati cungkup Makam Ki Gede Penatas Angin Doro Pekalongan, terlihat bahwa di cungkup makam ini tengah dilakukan proses renovasi, hanya saja pekerjaan perbaikan itu sepertinya terhenti. Ini menimbulkan sedikit pertanyaan, karena beberapa orang justru tengah membuat tembok keliling, tidak menyelesaikan cungkup terlebih dahulu.
Di dalam cungkup Makam Ki Gede Penatas Angin Doro Pekalongan terdapat tiga buah makam berjejer yang badan makam serta nisannya dipisahkan oleh tumpukan bata merah yang disusun ke atas begitu saja, sepertinya tanpa perekat semen. Di sekelilingnya diberi pagar besi, dengan sebuah pintu di sisi kirinya. Pagar besi itu ditutup dengan kelambu kain mori.
Semua nisan di bagian sebelah kiri, kemungkinan adalah bagian kepala mayit, dibungkus dengan kain mori putih, sedangkan semua nisan yang ada disebelah kanan dibungkus dengan kain berwarna hijau. Di bagian atas pagar keliling dipasang kain beludru berjumbai kuning bertuliskan huruf Arab, yang sepertinya adalah sebagian dari Asmaul Husna.
Konon Baron Sekeber dalam versi Pekalongan (dan juga Pati) adalah orang Belanda yang memiliki kesaktian tinggi. Sebutan baron adalah gelar kebangsawanan orang Jerman, dan menurut Dr HJ de Graff gelar itu baru dikenal oleh orang Jawa setelah ada Gubernur Jenderal VOC Gustaaf Willem Baron van Imhoff (menjabat 23 Juli 1736 – 12 Maret 1740).
Jika demikian maka nama baron belum lagi dikenal pada masa Ki Gede Penatas Angin itu. Ada kemungkinan tokoh Baron Sekeber dalam kisah legenda itu merujuk pada seorang pendeta kepercayaan lama yang mencoba menahan penyebaran Islam di kala itu. Dugaan ini berdasar pada kenyataan bahwa batu arca Baron Sekeber di dukuh ini adalah arca Dwarapala.
Halaman luar Makam Ki Gede Penatas Angin Doro Pekalongan yang luas berjarak 200 meter dari Gua Batu. Di sisi kiri halaman ada warung sederhana, yang belakangan kami singgahi untuk mendinginkan tenggorok kering dan untuk mengganjal perut dengan beberapa makanan ringan.
Di warung makan itu pula kami sempat menunggu kuncen Makam Ki Gede Penatas Angin Doro Pekalongan, yang sayangnya tak juga muncul. Bagusnya kami sempat bertemu dan berkenalan dengan anak muda pemilik warung, yang kemudian berbaik hati untuk menemani kami dan menjadi penunjuk jalan menuju situs Baron Sekeber yang lokasinya lumayan jauh.
Dalam perjalanan dari area parkir ke cungkup Makam Ki Gede Penatas Angin Doro Pekalongan kami melewati sebuah musholla yang berukuran tidak begitu besar, namun cukup untuk menampung beberapa shaf jamaah. Tulisan dengan huruf Arab di sisi kiri berbunyi "Musholla Darussalam", dan di bawahnya ada keterangan tempat: Dukuh Kopeng, Pungangan, Doro.
Kedi, anak muda pemilik warung itu bercerita, meskipun semula enggan karena bukan juru kunci, bahwa Ki Gede Penatas Angin adalah ulama penyebar agama Islam yang suatu ketika harus berhadapan dengan Baron Sekeber yang berusaha menghalanginya. Mereka terlibat pertempuran sengit, namun Baron Sekeber bisa dikalahkan dan kemudian menjadi batu.
Saat saya berkunjung ke Makam Raja-Raja Demak, di sana ada Makam Kyai R Natas Angin yang bernama asli Daeng Mangemba Nattisoang dan dikenal pula sebagai Pangeran Penatas Angin atau Sunan Ngatas Angin. Ayahnya adalah Raja Gowa ke-9 bernama Karaeng Tumapa’risi Kalonna yang memerintah pada 1491 – 1527. Mungkin keduanya merujuk pada orang yang sama.
Ada kolam dengan air jernih yang berada di samping musholla bagian depan kompleks Makam Ki Gede Penatas Angin Doro Pekalongan. Sejumlah ikan tampak berenang-renang di dalam kolam. Pada jaman dahulu, sebelum listrik masuk desa, di dekat masjid hampir selalu ada kolam ikan yang juga digunakan sebagai tempat bersuci sebelum masuk ke masjid.
Kemudian kami melewati sebuah pendopo sederhana di sisi sebelah kanan, melewati gapura yang dibuat hanya separoh, dan selanjutnya menuruni undakan berkelok di samping sebatang pohon yang besar dan tinggi. Di sebelah kanan beberapa orang tengah membuat tembok keliling makam. Agak jauh di kiri terlihat cungkup Makam Ki Gede Penatas Angin Doro Pekalongan.
Jalan yang dipasang paving blok ke cungkup makam, dipisahkan antara jalan masuk dan keluar. Pemisahan ini akan sangat bermanfaat ketika ada keramaian tahunan, yaitu khol Ki Gede Penatas Angin yang dilakukan setiap hari Kamis sesudah berlangsungya Hari Raya Idul Adha.
Di ujung jalan berpaving ini terdapat gapura dengan tiga pilar berkubah. Cungkup Makam Ki Gede Penatas Angin Doro Pekalongan memiliki atap berbentuk limasan tumpang dengan kemuncak menyerupai mahkota raja.
Setelah melewati gapura lengkung berpilar kubah itu, di luar cungkup di sebelah kiri terdapat beberapa buah makam sederhana yang berada di bawah rindang pohon. Hanya saja tak ada tengara nama pada jirat kuburnya.
Saat melangkah mendekati cungkup Makam Ki Gede Penatas Angin Doro Pekalongan, terlihat bahwa di cungkup makam ini tengah dilakukan proses renovasi, hanya saja pekerjaan perbaikan itu sepertinya terhenti. Ini menimbulkan sedikit pertanyaan, karena beberapa orang justru tengah membuat tembok keliling, tidak menyelesaikan cungkup terlebih dahulu.
Di dalam cungkup Makam Ki Gede Penatas Angin Doro Pekalongan terdapat tiga buah makam berjejer yang badan makam serta nisannya dipisahkan oleh tumpukan bata merah yang disusun ke atas begitu saja, sepertinya tanpa perekat semen. Di sekelilingnya diberi pagar besi, dengan sebuah pintu di sisi kirinya. Pagar besi itu ditutup dengan kelambu kain mori.
Semua nisan di bagian sebelah kiri, kemungkinan adalah bagian kepala mayit, dibungkus dengan kain mori putih, sedangkan semua nisan yang ada disebelah kanan dibungkus dengan kain berwarna hijau. Di bagian atas pagar keliling dipasang kain beludru berjumbai kuning bertuliskan huruf Arab, yang sepertinya adalah sebagian dari Asmaul Husna.
Konon Baron Sekeber dalam versi Pekalongan (dan juga Pati) adalah orang Belanda yang memiliki kesaktian tinggi. Sebutan baron adalah gelar kebangsawanan orang Jerman, dan menurut Dr HJ de Graff gelar itu baru dikenal oleh orang Jawa setelah ada Gubernur Jenderal VOC Gustaaf Willem Baron van Imhoff (menjabat 23 Juli 1736 – 12 Maret 1740).
Jika demikian maka nama baron belum lagi dikenal pada masa Ki Gede Penatas Angin itu. Ada kemungkinan tokoh Baron Sekeber dalam kisah legenda itu merujuk pada seorang pendeta kepercayaan lama yang mencoba menahan penyebaran Islam di kala itu. Dugaan ini berdasar pada kenyataan bahwa batu arca Baron Sekeber di dukuh ini adalah arca Dwarapala.