Foto Museum Pengkhianatan PKI

Diorama di Museum Pengkhianatan PKI Lubang Buaya Jakarta yang menggambarkan apa yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Tiga Daerah yang terjadi pada tanggal 4 November 1945. Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan oleh Soekarno - Hatta di Jakarta pada 17 Agustus 1945, kelompok komunis bawah tanah mulai menyusupi ormas dan gerakan pemuda, seperti Angkatan Pemuda Indonesia (API) dan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI).

Diorama at The Museum of PKI Betrayal depicting what became known as the Three Regions Incident that occurred on November 4, 1945. After the proclamation of independence of the Republic of Indonesia was announced by Soekarno-Hatta in Jakarta on August 17, 1945, underground communist groups began to infiltrate mass organizations and youth movements, such as the Indonesian Youth Force (API) and the Indonesian Youth Force (AMRI).



Diorama Aksi Teror Gerombolan Ce' Mamat, 9 Desember 1945. Ce’ Mamat adalah gembong gerakan komunis pada tahun 1926 yang juga Ketua Komite Nasional Indonesia Serang. Orang itu menuduh pemerintah RI Banten sebagai kelanjutan kolonial, dan menghasut rakyat agar tidak percaya kepada pejabat pemerintah. Pada 17 Oktober 1945 Ce’ Mamat membentuk Dewan Pemerintahan Rakyat Serang, merebut pemerintahan Karesidenan Banten, dan menyusun pemerintahan model Soviet.

Ce 'Mamat Mob Terror Action Diorama, December 9, 1945. Ce' Mamat was the leader of communist movement in 1926 who was also the Chairman of the Indonesian National Committee of Serang. The man accused the government of the Republic of Indonesia of Banten of being a colonial continuation, and incited the people not to trust government officials. On October 17, 1945 Ce 'Mamat formed the Serang People's Government Council, seized the Banten Residency government, and formed a Soviet model government.



Diorama Aksi Kekerasan Pasukan Ubel-Ubel di Sepatan Tangerang, 12 Desember 1945. Dimulai pada 18 Oktober 1945, Badan Direktorium Dewan Pusat pimpinan Ahmad Khairun dengan dukungan gembong komunis bawah tanah mengambil alih kekuasaan pemerintah RI Tangerang dari Bupati Agus Padmanegara.

Mereka membubarkan aparatur pemerintah desa sampai kabupaten, menolak mengakui pemerintah pusat, membentuk Laskar Hitam atau Laskar Ubel-Ubel karena berpakaian serba hitam dan memakai ikat kepala. Mereka melakukan aksi teror dengan merampok harta dan membunuh penduduk Tangerang dan sekitarnya, seperti Mauk, Kronjo, Kresek, Sepatan. Pada 12 Desember 1945, dibawah pimpinan Usman, Laskar Ubel-Ubel merampok penduduk Desa Sepatan, melakukan pembunuhan, termasuk membunuh tokoh nasional Oto Iskandar Dinata di Mauk.

Diorama of the Violent Action of the Ubel-Ubel Troops in Sepatan Tangerang, 12 December 1945. Starting on 18 October 1945, the Directory of the Central Council led by Ahmad Khairun, with the support of the underground communist kingpin, took over the power of the Indonesian government of Tangerang from Regent Agus Padmanegara.

They dispersed the village to district government apparatus, refused to recognize the central government, formed Laskar Hitam (Black Paramilitary troops) or Laskar Ubel-Ubel because they were dressed completely in black and wearing a headband. They carried out acts of terror by robbing property and killing residents of Tangerang and its surroundings, such as Mauk, Kronjo, Kresek, Sepatan. On December 12, 1945, under the leadership of Usman, Laskar Ubel-Ubel robbed the residents of Sepatan Village, committing assassinations, including the killing of national figure Oto Iskandar Dinata in Mauk.



Diorama Museum Pengkhianatan PKI Lubang Buaya tentang revolusi sosial yang terjadi di Langkat pada 9 Maret 1946. Persoalannya adalah karena berdirinya Republik Indonesia masih belum diterima sepenuhnya oleh kerajaan-kerajaan Sumatera Timur. Ketidakpuasan rakyat yang timbul dan menuntut penghapusan kerajaan dimanfaatkan PKI serta Pesindo untuk mengambil alih kekuasaan secara kekerasan. Revolusi sosial dimulai pada 3 Maret 1946.

Pembunuhan terjadi di Rantau Prapat, Sunggal, Tanjung Balai dan Pematang Siantar di hari itu. Pada 5 Maret 1946 Kerajaan Langkat resmi dibubarkan dan berada dibawah pemerintahan RI Sumatera Timur, namun pada malam 9 Maret 1946 massa PKI pimpinan Usman Parinduri dan Marwan menyerang Istana Sultan Langkat Darul Aman di Tanjung Pura. Istana diduduki massa PKI, beberapa keluarga Sultan dibunuh, Sultan beserta keluarganya dibawa ke Batang Sarangan.

The diorama of the Museum of PKI Betrayal about the social revolution that took place in Langkat on March 9, 1946. The problem was that the establishment of the Republic of Indonesia had not been fully accepted by the kingdoms of East Sumatra. The people's dissatisfaction that arose and demanded the abolition of the kingdom was used by the PKI and Pesindo to take power by force. The social revolution began on March 3, 1946.

The killings took place in Rantau Prapat, Sunggal, Tanjung Balai and Pematang Siantar that day. On March 5, 1946, the Langkat Kingdom was officially disbanded and was under the Indonesian government of East Sumatra, but on the night of March 9, 1946, PKI mass led by Usman Parinduri and Marwan attacked the Sultan Langkat Darul Aman Palace in Tanjung Pura. The palace was occupied by PKI masses, several of the Sultan's family were killed, the Sultan and his family were taken to Batang Sarangan.



Pemogokan Buruh Sarbupri di Delanggu, 23 Juni 1948. Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri), organisasi buruh PKI yang beranggotakan 15.000 buruh pabrik goni di 7 perusahaan pemerintah di Delanggu, Klaten, melancarkan pemogokan total pada 23 Juni 1948 untuk menuntut kenaikan upah. Aksi pemogokan berakhir pada 18 Juli 1948 setelah partai-partai politik mengeluarkan pernyataan menyetujui Program Nasional.

Sarbupri Workers' Strike in Delanggu, 23 June 1948. The Plantation Workers Union of the Republic of Indonesia (Sarbupri), a PKI labor organization with 15,000 members of jute factory workers in 7 government companies in Delanggu, Klaten, launched a total strike on 23 June 1948 to demand a wage increase. The strike ended on 18 July 1948 after the political parties issued a statement approving the National Program.



Diorama Pengacauan Surakarta, 19 Agustus 1948. Ketika berlangsung pasar malam Sriwedari pada 19 Agustus 1948 dalam rangkaian peringatan Kemerdekaan RI, PKI membakar ruang pameran Jawatan Pertambangan guna mengalihkan perhatian TNI agar gerakan pemberontakan PKI di Madiun bisa berjalan lancar. Rembetan api dapat dicegah, namun timbul kepanikan pengunjung sehingga 22 orang menderita luka-luka.

The diorama of the chaos of Surakarta, 19 August 1948. During the Sriwedari night market on 19 August 1948 in the series of commemoration of Indonesian Independence, the PKI burned the Mining Service exhibition room to distract the TNI (army) so that the PKI rebellion movement in Madiun could run smoothly. The spread of fire was prevented, but there was panic among the visitors so that 22 people were injured.



Diorama Pemberontakan PKI d Madiun, 18 September 1948. Pada saat RI sibuk menghadapi Belanda, PKI melancarkan kampanye politik menyerang pemerintah, melakukan aksi teror, mengadu domba angkatan bersenjata dan melakukan sabotase ekonomi. Gagal menjatuhkan kabinet Hatta dengan cara parlementer, komunis membentuk Front Demokrasi Rakyat, melakukan aksi-aksi politik serta tindak kekerasan. Musso (Muso Manowar), atau Paul Mussotte, yang baru kembali dari Moskow dan mengambil alih pimpinan PKI, menuduh Soekarno-Hatta menyelewengkan perjuangan bangsa Indonesia. Ia menawarkan "Jalan baru Untuk Republik Indonesia".

Pada saat perhatian pemerintah dan Angkatan Perang terpusat untuk menghadapi Belanda, PKI melakukan kampanye menyerang politik pemerintah, melakukan aksi-aksi teror, mengadu domba kekuatan bersenjata, juga sabotase ekonomi. Dini hari 18 September 1948, ditandai 3 letusan pistol, PKI memulai pemberontakan Madiun. Pasukan Seragam Hitam menyerbu, menguasai tempat-tempat penting dalam kota, termasuk gedung Karesidenan Madiun. Di gedung ini PKI mengumumkan berdirinya "Soviet Republik Indonesia" serta membentuk Pemerintahan Front Nasional. Sejumlah petinggi militer, pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat pun dibunuh.

Diorama of PKI Rebellion in Madiun, 18 September 1948. While Indonesia was busy facing the Dutch, PKI launched a political campaign against the government, carried out acts of terror, pitted the armed forces against each other and carried out economic sabotage. Failed to overthrow the Hatta cabinet by way of parliamentary means, the communists formed the People's Democratic Front, carried out political actions and acts of violence. Musso (Muso Manowar), or Paul Mussotte, who had just returned from Moscow and took over the leadership of the PKI, accused Soekarno-Hatta of diverting the Indonesian struggle. It offers a "new path for the Republic of Indonesia".

At a time when attention of the government and the Armed Forces was focused on confronting the Dutch, PKI carried out a campaign to attack government politics, carried out acts of terror, pitting armed forces against each other, as well as economic sabotage. Early in the morning of 18 September 1948, marked by 3 gun shots, the PKI started the Madiun rebellion. The Black Uniforms invaded, taking over important places in the city, including the Madiun Residency building. In this building the PKI announced the establishment of the "Soviet Republic of Indonesia" and formed the National Front Government. A number of high-ranking military officers, government officials and community leaders were killed.



Diorama Pembunuhan di Kawedanan Ngawen, Blora, 20 September 1948. Markas Kepolisian Distrik Ngawen diserang pasukan PKI pada 18 September 1948, dan menahan 31 anggota polisi. Pada 20 September 1948, atas perintah Komandan Pasukan PKI Blora, tujuh diantaranya dibunuh secara bergantian dengan menjepit leher mereka dengan dua batang bambu yang dipegang dua orang. Mayat ketujuh orang itu lalu dibuang ke kakus di belakang kawedanan dan ditembak.

Diorama of the Murder in Kawedanan Ngawen, Blora, 20 September 1948. The Ngawen District Police Headquarter was attacked by PKI troops on 18 September 1948, and detained 31 police officers. On September 20, 1948, on the orders of the PKI Blora Commander, seven of them were killed alternately by pinning their necks with two bamboo sticks held by two people. The bodies of the seven people were then thrown into the latrine behind the kawedanan and were shot.



Diorama Muso Tertembak Mati, 31 Oktober 1948. Pada 1 Oktober 1948, TNI menguasai Dungus yang dijadikan PKI sebagai basis setelah kekalahan mereka di Madiun. Pemimpin dan pasukan PKI lari ke arah selatan, berusaha menguasai Ponorogo, namun gagal. Musso dan Amir Sjarifuddin lari menuju gunung Gambes, dikawal oleh dua batalyon yang cukup kuat. Mereka berpisah di tengah perjalanan. Musso bersama dua orang pengawalnya menyamar sebagai penduduk desa, tiba di Balong pada pagi 31 Oktober 1948, ia menembak mati seorang anggota Polisi yang memeriksanya.

Dengan naik dokar rampasan diiringi pengawal bersepeda, hari itu juga ia tiba di desa Semanding, Kecamatan Somoroto. Ia menembak seorang perwira TNI yang mencegatnya, namun tidak mengenai sasaran. Karena tidak bisa menjalankan kendaraan TNI rampasan, Musso lari masuk desa, bersembunyi di sebuah blandong (tempat mandi) milik seorang penduduk. Pasukan TNI yang mengepungnya memerintahkan supaya ia menyerah, namun Musso melawan. Ia mati tertembak dalam peristiwa itu.

Diorama of Muso was Shot Dead, October 31, 1948. On October 1, 1948, the TNI took control of Dungus, which was used by the PKI as a base after their defeat in Madiun. PKI leaders and troops fled to the south, trying to take control of Ponorogo, but failed. Musso and Amir Sjarifuddin ran towards Mount Gambes, escorted by two strong battalions. They separated on the way. Musso and his two bodyguards, disguised as villagers, arrived in Balong on the morning of 31 October 1948, when he shot dead a member of the Police who was examining him.

Riding the booty buggy accompanied by a cycling guard, that very day he arrived at Semanding Village, Somoroto District. He shot a TNI officer who intercepted him, but did not hit the target. Unable to run the spoiled TNI vehicle, Musso ran into the village, hiding in a blandong (bath) belonging to a resident. The TNI troops surrounding him ordered him to surrender, but Musso fought back. He was shot dead in the incident.



Pembunuhan Massal di Tirtomoyo, 4 Oktober 1948. Meski Madiun telah direbut oleh pasukan TNI, namun gerombolan PKI masih terus melakukan tindak kekejaman terhadap lawan-lawan politiknya. Di daerah Wonogiri mereka melakukan teror terhadap rakyat dan menculik sejumlah pejabat pamong praja seperti bupati, wedana, polisi, ulama dan rakyat lainnya. Para tawanan yang seluruhnya berjumlah 212 orang disekap di ruangan bekas laboratorium dan gudang dinamit di Bukit Tirtomoyo.

Sejak tanggal 4 Oktober 1948 sebagian tawanan mulai dibunuh setelah terlebih dahulu mengalami siksaan. Ada yang langsung disembelih, ditusuk dengan bambu runcing dan bayonet, atau lehernya dijerat dengan kawat, bahkan ada yang dilempari batu sampai mati dalam keadaan tangan terikat. Pembunuhan yang menelan 56 korban jiwa itu akhirnya bisa dihentikan setelah diserbu oleh Batalyon Nasuhi dan Kompi S Militaire Academic (MA) pada sore hari tanggal 14 Oktober 1948. Sergapan didahului dengan serangan yang dilakukan tiga orang kadet MA yang berhasil melumpuhkan penjaga tahanan, dan membuat gerombolan PKI terkejut, panik, dan melarikan diri.

Mass Murder in Tirtomoyo, October 4, 1948. Although Madiun was captured by TNI troops, PKI gangs continued to commit atrocities against their political opponents. In the Wonogiri area they carried out terror against the people and kidnapped a number of civil service officials such as the regent, wedana, police, clerics and other people. The prisoners, totaling 212 people, were held in a former laboratory and dynamite warehouse at Tirtomoyo Hill.

Since October 4, 1948, some prisoners began to be killed after they first experiencing torture. Some were immediately slaughtered, stabbed with sharp bamboo and bayonets, or had their necks tied with wire, and some were even stoned to death while their hands were tied. The killings that claimed 56 lives were finally stopped after being attacked by the Nasuhi Battalion and the S Militaire Academic (MA) Company on the afternoon of October 14, 1948. The attack was preceded by an attack by three MA cadets who managed to paralyze the prison guards and make a mob. The PKI was shocked, panicked, and fled.



Satu rombongan pengunjung, tampaknya sebuah keluarga, tengah mengamati salah satu diorama di Museum Pengkhianatan PKI Lubang Buaya. Tersedianya informasi yang cukup lengkap di bawah masing-masing diorama sangat membantu bagi pengunjung. Pembuatan diorama juga dilakukan dengan baik dan bisa menggambarkan peritsiwa yang terjadi.


A group of visitors, apparently a family, is observing one of the dioramas at the Lubang Buaya PKI Betrayal Museum. The availability of complete information under each diorama is very helpful for visitors. The making of dioramas were also done well and could describe the events that occured.



Penangkapan Amir Syarifudin, 29 November 1948. Setelah berpisah dari Musso, melalui perjalanan panjang dan sulit, Amir Sjarifuddin tiba di daerah Purwodadi dan bersembunyi di gua Macan di Gunung Pegat, Kecamatan Klambu. Semula polisi keamanan yang menjaga garis demarkasi Demak-Dempet-Gendong, tidak jauh dari tempat persembunyiannya, adalah orang-orang komunis, sehingga ia merasa aman.

Setelah TNI melucuti Polisi Keamanan itu dan melancarkan operasi-operasi pembersihan di sekitar daerah Klambu, posisi Amir Sjarifuddin pun terjepit. Pada 22 Nopember 1948 pasukan pengawalnya menyerah, dan Senin sore 29 Nopember 1948 tempat persembunyiannya dikepung TNI. Amir Sjarifuddin dan beberapa tokoh PKI lainnya pun menyerah dan diserahkan kepada komandan Brigade-12 di Kudus.

The arrest of Amir Syarifudin, 29 November 1948. After separating from Musso, and after a long and difficult journey, Amir Sjarifuddin arrived in Purwodadi area and hid in the Macan cave on Mount Pegat, Klambu District. Originally the security police guarding the Demak-Dempet-Gendong demarcation line, not far from its hiding place, were communists, so he felt safe.

After the TNI disarmed the Security Police and launched cleanup operations around the Klambu area, Amir Sjarifuddin's position was pinched. On 22 November 1948 his guards surrendered, and Monday afternoon 29 November 1948 his hiding place was surrounded by TNI. Amir Sjarifuddin and several other PKI figures surrendered and were handed over to the 12 Brigade commander in Kudus.



Diorama Serangan Gerombolan PKI di Markas Polisi Tanjung Priok, 6 Agustus 1951. Sesudah Pengakuan Kedaulatan RI, sisa-sisa PKI membentuk gerombolan bersenjata Sunari di Jawa Timur, Merapi-Merbabu Compleks di Jawa Tengah, dan gerombolan Eteh di Jakarta. Pada 6 Agustus 1951 pukul 19.00 WIB, gerombolan bersenjata Eteh berkekuatan puluhan orang dengan memakai ikat kepala bersimbol burung merpati dan palu arit menyerang asrama Mobile Brigade Polisi di Tanjung Priok untuk merebut senjata. Dua anggota polisi mengalami luka-luka parah dan seorang wanita penghuni asrama juga menderita luka-luka. Gerombolan Eteh berhasil merampas 1 bren, 7 karaben mauser dan 2 pistol.

Diorama of the attack of the PKI gang at the Tanjung Priok Police Headquarters, 6 August 1951. After the Recognition of Indonesian Sovereignty, the remnants of the PKI formed the Sunari armed gang in East Java, the Merapi-Merbabu Complex in Central Java, and the Eteh gang in Jakarta. On August 6, 1951 at 19.00 WIB, an armed group of Eteh with the strength of dozens wearing headbands bearing the dove symbol and hammer and sickle attacked the Mobile Brigade Police hostel in Tanjung Priok to seize weapons. Two police officers were seriously injured and a woman who lived in the hostel was also injured. The Eteh gang managed to seize 1 bren, 7 mauser carbines and 2 pistols.



Diorama Peristiwa Tanjung Morawa, 16 Maret 1953. Pada 1953, Pemerintah RI Karesidenan Sumatera Timur berencana membuat sawah percontohan di area bekas perkebunan tembakau di Desa Perdamaian, Tanjung Morawa, namun rencana ini ditentang oleh para penggarap yang telah menempati area itu. Pada 16 Maret 1953 ketika petugas pemerintah, dengan dikawal polisi, mentraktor area tersebut, massa tani yang didalangi Barisan Tani Indonesia (ormas PKI) melakukan tindakan brutal.

Diorama of the Tanjung Morawa Incident, March 16, 1953. In 1953, the Indonesian Government of the East Sumatra Residency planned to build a rice field pilot project in a former tobacco plantation area in Perdamaian Village, Tanjung Morawa, but the plan was opposed by the cultivators who had occupied the area. On March 16, 1953 when government officials, escorted by the police, contracted the area, the peasants who were masterminded by the Barisan Tani Indonesia (PKI mass organization) committed a brutal act.



Diorama Penangkapan DN Aidit, 22 November 1965. Pada 1 Oktober 1965 tengah malam, Ketua CC PKI D.N.Aidit melarikan diri ke Jawa Tengah yang merupakan basis utama PKI. Tanggal 2 Oktober 1965 ia berada di Yogyakarta, dan berpindah-pindah tempat ke Semarang dan Solo untuk menghindari operasi pengejaran oleh RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat, sekarang Kopassus). Ia bersembunyi di sebuah rumah di kampung Sambeng Gede yang merupakan basis Serikat Buruh Kereta Api (SBKA), organisasi massa di bawah pengaruh PKI.

Tempat persembunyian D.N. Aidit ini akhirnya diketahui oleh ABRI melalui operasi intelijen. Pada 22 Nopember 1965 pukul 01.30 pagi rumah persembunyian D.N. Aidit digrebek oleh anggota Komando Pelaksanaan Kuasa Perang (Pekuper) Surakarta. Penangkapan hampir gagal ketika pemilik menyatakan D.N. Aidit telah meninggalkan rumahnya. Kecurigaan timbul setelah anggota Pekuper menemukan sandal yang masih baru, koper dan radio. Setelah penggeledahan dilanjutkan, dua orang Pekuper menemukan D.N. Aidit yang bersembunyi di balik lemari, dan ia pun dibawa ke Markas Pekuper di Loji Gandrung, Surakarta.

Diorama of the Arrest of DN Aidit, 22 November 1965. On 1 October 1965 at midnight, the Chairman of the PKI CC, D.N.Aidit, fled to Central Java which was the main base of the PKI. On 2 October 1965 he was in Yogyakarta, and moved to Semarang and Solo to avoid pursuit operations by the RPKAD (Army Para Commandos Regiment, now Kopassus). He hid in a house in the village of Sambeng Gede which was the basis of the Railway Workers Union (SBKA), a mass organization under the influence of the PKI.

The D.N. Aidit's hideout was finally found out by ABRI through an intelligence operation. On November 22, 1965 at 01.30 am D.N. Aidit's safe house was raided by members of the Surakarta War Power Implementation Command (Pekuper). The arrest almost failed when the owner stated D.N. Aidit had left his home. Suspicion arose after Pekuper members found new sandals, a suitcase and a radio. After the search was continued, two of Pekuper's men found D.N. Aidit was hiding behind a cupboard, and he was taken to the Pekuper Headquarters at Loji Gandrung, Surakarta.



Diorama Rakyat Jakarta Menyambut Pembubaran PKI, 12 Maret 1966. Pada malam tanggal 11 Maret 1966 Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) Soeharto menerima Surat Perintah yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno, yang berisi wewenang untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu guna menjamin pemulihan keamanan dan ketertiban.

Pada 12 Maret 1966 Letjen Soeharto atas nama Presiden Panglima Tertinggi ABRI / Mandataris MPRS / Pimpinan Besar Revolusi mengeluarkan keputusan tentang Pembubaran PKI dan organisasi-organisasi massanya yang seazas, bernaung dan berlindung di bawah PKI, dan PKI dinyatakan sebagai organisasi yang terlarang di seluruh wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Keputusan itu diumumkan melalui RRI pada pukul 06.00 tanggal 12 Maret 1965. Massa rakyat Jakarta mengadakan pawai kemenangan di jalan-jalan dan membawa poster-poster sebagai ungkapan rasa gembira dan terima kasih.

Diorama of the Jakarta People Welcoming the Disbandment of the PKI, March 12, 1966. On the night of March 11, 1966, the Minister/Commander of the Army (Men/Pangad) Soeharto received an Order which became known as the March 11 Order (Supersemar) from President Soekarno, which contained the authority to take all necessary measures to ensure the restoration of security and order.

On March 12, 1966 Lieutenant General Soeharto on behalf of the President Commander-in-Chief of ABRI / Mandataris of the MPRS / Great Leader of the Revolution issued a decision regarding the dissolution of the PKI and its mass organizations which took shelter and took refuge under the PKI, and the PKI was declared a banned organization in all territories of Republic of Indonesia. The decision was announced by RRI (national radio station) at 6:00 a.m. on March 12, 1965. Mobs of the people of Jakarta held a victory parade in the streets and carried posters as expressions of joy and gratitude.



Halaman Museum Pengkhianatan PKI dilihat dari lorong penghubung dengan Ruang Relik Museum Monumen Pancasila Sakti. Jalan ke Monumen Pancasila Sakti ada di ujung foto di atas. Foto yang kedua diambil pada 2018, memperlihatkan ada perbedaan pada bagian sebelah kiri yang sebelumnya taman kini telah ada jalan beratap joglo bagi tamu untuk turun dari kendaraan.

The courtyard of the PKI Betrayal Museum is seen from the hallway connecting the Relic Room of the Pancasila Sakti Monument Museum. The road to the Pancasila Sakti Monument is at the end of the photo above. The second photo, taken in 2018, shows that there's a difference on the left side where previously was a park now had a joglo roof road for guests to get off from the vehicle.



Gedung Museum Pengkhianatan PKI yang terdiri dari dua lantai. Semuanya ada 34 diorama di gedung ini.

The PKI Betrayal Museum building consists of two floors. There were 34 diorama in all areas of the building.



Pandangan pada halaman depan Museum Pengkhianatan PKI setelah mengalami renovasi dengan penambahan sejumlah peraga dengan penataan yang terlihat lebih modern dibandingkan sebelumnya. Foto terakhir adalah pendopo tempat disimpannya koleksi kendaraan bersejarah yang pernah digunakan pada peristiwa terkait dengan G30S/PKI.

A view on the front yard of the PKI Betrayal Museum after undergoing renovation with the addition of a number of displays with an arrangement that looked more modern than before. The last photo was the pavilion where the collection of historical vehicles that had been used during events related to G30S/PKI.



Prasasti yang menandai peresmian Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) oleh Presiden Republik Indonesia Soeharto, pada 1 Oktober 1992.

Inscription marking the inauguration of the PKI (Communist) Betrayal Museum by the President of the Republic of Indonesia Soeharto, on October 1, 1992.



Pemandangan pada bagian depan ruangan Museum Pengkhianatan PKI yang seingat saya dulu tak ada, jadi saya kira merupakan salah satu dari bagian yang mengalami renovasi dan membuat museum sempat ditutup untuk kunjungan umum selama beberapa waktu. Di sebelah kiri adalah pesawat televisi layar datar ukuran besar untuk menonton film dokumenter yang diputar atas permintaan pengunjung, dengan cukup memencet tombol.

A view on the front area of the PKI Betrayal Museum room that formerly wasn't exsisted, so I think it's one of the parts that underwent renovation and the museum was closed for public visits for some time. On the left is a large flat-screen television for watching documentaries played at the request of visitors, by simply pressing a button.



Foto dokumentasi Museum Pengkhianatan PKI berukuran besar yang memperlihatkan para korban tewas oleh keganasan pemberontakan PKI Madiun pada tahun 1948.

A large documentary photo of the PKI Pengkhianatan Museum showing the victims killed by the ferocity of the PKI Madiun rebellion in 1948.



Foto kolase yang memperlihatkan suasana saat penggalian dan pengangkatan jenazah korban keganasan pemberontakan G30S/PKI di Lubang Buaya, Jakarta Timur, tahun 1965. Orang yang mengangkat jenazah dari dalam sumur adalah Sersan Saparimin (Anggota Kipam KKO TNI-AL). Sedangkan yang diangkat dari dalam sumur adalah jenazah Mayjen TNI S. Parman (Asisten I Men / Pangad), jenazah Brigjen TNI D.I. Pandjaitan, disaksikan oleh Mayjen TNI Soeharto, Pangkostrad waktu itu.

Collage photo showing the atmosphere during the excavation and removal of the bodies of victims of the violent G30S / PKI rebellion at Lubang Buaya, East Jakarta, in 1965. The person who lifted the bodies from the well was Sgt. Saparimin (Kipam KKO TNI-AL member). While for the bodies lifted from the well were of Maj. Gen. TNI S. Parman (Assistant I Men / Pangad), Brigadier General TNI DI Pandjaitan, witnessed by Maj. Gen. Soeharto, Pangkostrad (army strategic reserved commander) at that time.



Foto kolase yang menggambarkan suasana ketika berlangsung Sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) terhadap tokoh-tokoh pemimpin pemberontakan G30S/PKI yang berlangsung tahun 1966-1967. Pada foto ada Letkol Ali Said SH (Hakim Ketua Mahmilub saat peradilan Dr. Subandrio), Nyono bin Sastrorejo (Sekretaris Komite PKI Jakarta Raya), Syam Kamaruzaman (Ketua Biro Khusus PKI), Dr. Subandrio (Wakil Perdana Menteri / Menteri Luar Negeri), Marsekal Madya Oemar Dhani (Menteri / Panglima Angkatan Udara), Mayor Udara Suyono (Komandan Pasukan Pengaman Pangkalan Angkatan Udara yang memimpin latihan militer di Lubang Buaya), Sudisman (Anggota Polit Biro Comitte Central PKI), Brigjen Soepardjo (Panglima Komando Tempur IV Kostrad), Serda Giyadi (yang menembak Letjen TNI A. Yani), Wirjomartono (Anggota Comtte Central PKI), Letkol Untung (Danyon Kawal Kehormatan Cakrabirawa yang memimpin gerakan militer G30S/PKI, Suryati (Anggota Gerwani yang dilatih di Desa Lubang Buaya).

Collage photo depicting the scene during the Extraordinary Military Court (Mahmilub) Session against leaders of the G30S / PKI rebellion which took place in 1966-1967. In the photo, Lt. Col. Ali Said SH (Chief Judge of the Mahmilub during the trial of Dr. Subandrio), Nyono bin Sastrorejo (Secretary of the Greater Jakarta PKI Committee), Syam Kamaruzaman (Chairman of the PKI Special Bureau), Dr. Subandrio (Deputy Prime Minister / Minister of Foreign Affairs), Air Marshal Oemar Dhani (Minister / Commander of the Air Force), Air Major Suyono (Commander of the Air Force Base Security Force leading the military training at Lubang Buaya), Sudisman (Member of Political Bureau of the PKI Central Committee) ), Brigadier General Soepardjo (Commander of Kostrad IV Combat Command), Serda Giyadi (who shot Lt. Gen. A. Yani), Wirjomartono (Member of the PKI Central Committee), Lt. Col. Untung (Danyon Kawal Cakrabirawa Honor who led the G30S / PKI military movement, Suryati (Member Gerwani who was trained in Lubang Buaya Village).



Foto dokumentasi yang memperlihatkan tokoh-tokoh Gerakan Tiga Daerah yang ditahan di Penjara Wirogunan, Yogyakarta, pada tahun 1946.

Documentary photo showing figures of the Three Regions Movement detained in Wirogunan Prison, Yogyakarta, in 1946.



Pembebasan Gorang-Gareng, 28 September 1948. Ketika PKI melakukan pemberontakan di Madiun, mereka menculik lawan-lawan politik, ulama, tokoh masyarakat, pamong praja, dan polisi. Penculikan itu juga dilakukan di daerah lain, termasuk di Gorang-Gareng yang ada di sebelah Barat Daya Madiun dimana terdapat Pabrik Gula Rejosari yang menjadi markas pasukan komunis. Di pabrik gula itu PKI mengumpulkan sejumlah tawanannya. Saat itu pemerintah dan rakyat setempat tak berdaya melawan tindakan sewenang-wenang pihak komunis.

Pada tanggal 28 September 1948, Batalyon Sambas yang sedang bergerak untuk membebaskan Kota Madiun tiba di Gorang-Gareng. Mereka berhasil mematahkan perlawanan pasukan PKI yang mencoba menghadang gerak maju pasukan TNI. TNI berhasil membebaskan para tawanan yang belum sempat dibunuh oleh PKI. Pasukan TNI juga menemukan puluhan orang yang telah tewas dibunuh oleh PKI, termasuk yang dibunuh di Pabrik Gula Rejosari.

Liberation of Gorang-Gareng, 28 September 1948. When the PKI launched a rebellion in Madiun, they kidnapped political opponents, clerics, community leaders, civil service and police. The kidnappings were also carried out in other areas, including in Gorang-Gareng which is southwest of Madiun where there's the Rejosari Sugar Factory which was the headquarters of the communist forces. At the sugar factory the PKI gathered a number of its prisoners. At that time the government and local people were powerless against the communists' arbitrary actions.

On September 28, 1948, the Sambas Battalion, which was moving to liberate Madiun City, arrived at Gorang-Gareng. They succeeded in breaking the resistance of the PKI troops who were trying to block the advancing TNI troops. The TNI succeeded in freeing the prisoners who had not been killed by the PKI. TNI troops also found dozens of people who had been killed by the PKI, including those killed at the Rejosari Sugar Factory.



Penghancuran PKI di Sooko, 28 September 1948. Setelah gagal merebut Kota Trenggalek, Batalyon Maladi Yusuf membuat kubu pertahanan di Desa Sooko di kaki Gung Wilis, Ponorogo. Di sana juga ada pasukan PKI di bawah pimpinan Soebardi, dan pasukan Panjang Djokopriyono yang membuat pertahanan PKI semakin kuat. Lawan-lawan politik PKI, termasuk Asisten Wedono (Camat) Sooko, telah lebih dulu mereka bersihkan.

Akhirnya kubu pertahanan PKI di Desa Sooko itu diserbu pasukan TNI dari dua arah oleh Kompi Sumadi dari Batalyon Sunandar dan Kompi Sabirin Mochtar dari Batalyon Mujayin pada 28 September 1948. Kompi Sumadi melakukan penyerbuan dari arah selatan dan berhasil merebut Thuk Puyangan, sebuah bukit yang tidak jauh dari markas komando PKI. Sementara itu kompi Sabirin Muchtar menyerbu dari arah utara. Kubu pertahanan pemberontak PKI akhirnya berhasil dihancurkan setelah melalui pertempuran sengit yang berlangsung sejak jam 10.00 pagi hingga senja.

PKI destruction in Sooko, September 28, 1948. After failing to take Trenggalek City, the Maladi Yusuf Battalion established a stronghold in Sooko Village at the foot of Gung Wilis, Ponorogo. There were also PKI troops under the leadership of Soebardi and Panjang Djokopriyono's troops which made the PKI's defense even stronger. PKI's political opponents, including Assistant Wedono (Camat) Sooko, had already been cleaned up.

Finally, the PKI stronghold in Sooko Village was attacked by TNI troops from two directions by Company Sumadi from the Sunandar Battalion and Company Sabirin Mochtar from the Mujayin Battalion on September 28, 1948. Sumadi Company made an attack from the south and succeeded in capturing Thuk Puyangan, a hill not far away from the PKI command headquarters. Meanwhile, Sabirin Muchtar's company attacked from the north. The PKI rebel stronghold was finally destroyed after going through fierce fighting that lasted from 10:00 am to dusk.



Pembantaian di Dungus, 1 Oktober 1948. Pada 30 Oktober 1948, tokoh-tokoh dan pasukan PKI yang telah terdesak akhirnya meninggalkan Madiun dan membuat basis pertahanan di Desa Kresek, Kecamatan Wungu, Kawedanan Dungus, sebelah tenggara Kota Madiun, dengan membawa tawanan yang terdiri dari para perwira TNI dan Polisi, pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat. Ketika Dungus diserbu TNI dari kompi Sampurno pada 1 Oktober 1948 yang datang dari arah Sawahan di lereng timur Gunung Wilis, hampir semua tawanan itu dibantai PKI dengan cara ditembak atau dipenggal kepalanya. Pembantaian dilakukan di sebuah rumah milik penduduk dan di area sekitarnya. Mayat korban dikubur dalam lubang besar dangkal atau dibuang ke sungai.

The massacre in Dungus, October 1, 1948. On October 30, 1948, PKI elites and troops who had been cornered finally left Madiun and made a defense base in Kresek Village, Wungu District, Kawedanan Dungus, southeast of Madiun City, carrying prisoners consisting of TNI and Police officers, government officials and community leaders. When Dungus was attacked by the TNI from the Sampurno company on October 1, 1948, coming from the direction of Sawahan on the eastern slope of Mount Wilis, almost all of the prisoners were slaughtered by the PKI by being shot or beheaded. The massacres were carried out in a house owned by residents and in the surrounding area. The bodies of victims were buried in large shallow holes or thrown into rivers.



Suasana di salah satu lorong Museum Pengkhianatan PKI dengan panel-panel berisi diorama 3 dimensi yang membuat orang bisa melihat dari segala arah dengan sudut pandang yang berbeda. Sayang sekali pantulan kaca membuat pengambilan foto menjadi relatif sulit.

A vew in one of the hallways of the PKI Betrayal Museum with panels containing 3-dimensional dioramas that allow people to see from all directions with different points of view. It's a shame that the reflection of the glass makes me difficult in taking photos.



Sebelah kiri atas adalah perangko bergambar Presiden Soekarno dengan tulisan "Republik Rakyat Indonesia". Perangko itu telah disiapkan dan akan diedarkan jika saja pemberontakan PKI pada 30 September 1965 berhasil mengambil alih pemerintahan. Perangko itu berharga mulai dari Rp6 hingga Rp500. Setelah kudeta digagalkan, perangko-perangko itu muncul di pedagang-pedagang perangko di Hong Kong. Sebelah kanan adalah seragam tentara pemberontak PARAKU.

On the top left is a postage stamp with the image of President Soekarno with the words "Republik Rakyat Indonesia". This stamp had been prepared and would be circulated if the PKI rebellion on September 30, 1965 succeeded in taking over the government. The stamps cost from Rp. 6 to Rp. 500. After the coup was foiled, the stamps appeared at stamp dealers in Hong Kong. On the right is the uniform of the PARAKU rebel army.



Koleksi Museum Pengkhianatan PKI berupa bendera yang dirampas dari PGRS (Pasukan Gerilya Rakyat Serawak).

Collection of the PKI Betrayal Museum in the form of a flag confiscated from PGRS (Sarawak Guerrilla Guards).



Lahirnya MKTBP PKI, 14 Maret 1954. Meski kekuatan bersenjata PKI telah dihancurkan ketika memberontak di Madiun pada tahun 1948, namun PKI tidak dibubarkan oleh pemerintah. Dibawah pimpinan tokoh muda seperti DN Aidit, sejak tahun 1950 PKI bangkit kembali dan mulai menanamkan pengaruh di berbagai kalangan. Untuk meraih kekuasaan politik, PKI menyusun metode perjuangan bernama Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan (MKTBP). Metode yang dirumuskan dalam Kongres Nasional V PKI pada tanggal 14 Maret 1954 itu antara lain berisi perjuangan gerilya di desa yang terdiri dari kaum buruh dan tani miskin, perjuangan revolusioner kaum buruh di kota terutama buruh angkutan, dan ketiga bekerja intensif di kalangan musuh utama terutama di kalangan Angkatan Bersenjata (ABRI).

MKTB merupakan metode perjuangan yang tertutup. Untuk mencapai sasaran tersebut PKI menyusupkan kader-kadernya ke dalam tubuh ABRI. Pelaksanaan metode ketiga MKTBP hanya dilakukan oleh kader-kader PKI yang benar-benar terpilih dan sangat terbatas. Biro khusus PKI adalah badan pelaksana dari metode ketiga untuk menggalang unsur pimpinan dan anggota ABRI supaya bersikap netral, simpati, dan memihak PKI.

The birth of the PKI MKTBP, March 14, 1954. Although the PKI's armed forces had been crushed when they rebelled in Madiun in 1948, the PKI was not dissolved by the government. Under the leadership of young figures such as DN Aidit, since 1950 the PKI rose again and began to exert influence in various circles. In order to gain political power, the PKI developed a method of struggle called the Combined Three Forms of Struggle Method (MKTBP). The method formulated in the 5th PKI National Congress on March 14, 1954, including guerrilla struggle in village consisting of poor workers and peasants, the revolutionary struggle of workers in the city, especially transportation workers, and thirdly working intensively among main enemies, especially the Armed Forces (ABRI).

MKTB is a closed method of struggle. In order to achieve the goal, PKI infiltrated its cadres into ABRI. The implementation of the third method of MKTBP was only carried out by PKI cadres who were really selected and very limited. The PKI special bureau was the implementing agency of the third method to mobilize elements of the leadership and members of ABRI to be neutral, sympathetic, and took side with PKI.



DN Aidit Diadili, 25 Februari 1955. Sejak tahun 1952, PKI dibawah pimpinan DN Aidit meningkatkan agitasi dan propaganda di segala bidang, diantaranya dengan mengeluarkan Statemen Politbiro CC PKI pada tanggal 13 September 1953 yang berjudul "Peringati Peristiwa Madiun secara intern !". Statemen yang dimuat di koran PKI Harian Rakyat tanggal 14 September 1953 itu PKI secara terang-terangan dan sengaja menghina pemerintah RI dengan menyatakan bahwa pemberontakan Madiun tahun 1948 bukan dilakukan oleh PKI tetapi akibat provokasi pemerintah Hatta.

Statemen itu hakekatnya adalah agitasi dan propraganda PKI untuk membersihkan diri guna mencari dukungan massa. Untuk mempertanggungjawabkan statemen itu, Sekretaris Jenderal Politbiro CC PKI DN Aidit dihadapkan ke Pengadilan Negeri Jakarta. Sidang peradilan dimulai pada tanggal 25 November 1954 dan berakhir 31 Maret 1955 DN Aidit dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman.

DN Aidit on trial, February 25, 1955. Since 1952, the PKI under the leadership of DN Aidit increased agitation and propaganda in all fields, including by issuing the PKI CC Politburo Statement on September 13, 1953 entitled "Internally Commemorating the Madiun Incident!". The statement published in the PKI Harian Rakyat newspaper on September 14, 1953, the PKI openly and deliberately insulted the Indonesian government by stating that the Madiun rebellion in 1948 was not carried out by PKI but as a result of provocation by the Hatta government.

The statement was essentially PKI's agitation and propaganda to cleanse itself in order to seek mass support. To account for this statement, the Secretary General of the Politburo CC PKI DN Aidit was brought to Jakarta District Court. The judicial hearing started on November 25, 1954 and ended March 31, 1955 DN. Aidit was found guilty and sentenced.



Kampanye Budaya PKI, 25 Maret 1963. Selain ingin menguasai politik, PKI juga menggarap bidang lainnya termasuk sastra dan budaya yang dilakukan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) bersama lembaga yang ada di bawahnya seperti Lembaga Sastra, Lembaga Film dan Lembaga Drama.

Secara sistematis mereka memasukkan faham komunisme ke dalam seni dan sastra, mempolitikkan budayawan dengan semboyan "Politik adalah Panglima" serta mendiskreditkan para sastrawan dan budayawan non-komunis. Usaha itu dilakukan melalui media massa PKI dan di berbagai pertemuan, salah satunya Konferensi Nasional I Lembaga Sastra Indonesia di Medan pada tanggal 22-25 Maret 1963.

Konferensi tidak hanya membahas masalah budaya yang harus bernafaskan komunisme tetapi juga membahas politik yang menuntut segera dibentuk kabinet gotong royong agar tokoh-tokoh PKI duduk di dalamnya. Di bidang sastra dikeluarkan tuntutan agar buku-buku terbitan Balai Pustaka benar-benar seirama dengan Manifesto Politik (Manipol). Konferensi juga sangat mendukung setiap kegiatan olah raga dan pertemuan-pertemuan bernafas internasional yang berkiblat pada negara-negara komunis. Konferensi tersebut merupakan bagian dari kampanye budaya PKI. Untuk menunjukkan kekuatannya, sehabis konferensi mereka mengadakan pawai alegoris berkeliling Kota Madiun.

PKI Cultural Campaign, March 25, 1963. Apart from wanting to master politics, the PKI also worked on other fields including literature and culture carried out by the People's Cultural Institute (Lekra) together with other institutions under it such as the Literary Institute, the Film Institute and the Drama Institute.

They systematically incorporated communism into art and literature, politicized humanists with the slogan of "Politics is Commander" and discredited non-communist writers and humanists. The effort was made through the PKI mass media and at various meetings, one of which was the First National Conference of the Indonesian Literature Institute in Medan on March 22-25, 1963.

The conference not only discussed cultural issues that had to breathe communism but also discussed politics which demanded a mutual cooperation cabinet so that PKI figures sit in it. In the field of literature, a demand was issued that the books published by Balai Pustaka were in line with the Political Manifesto (Manipol). The conference was also very supportive of every sporting activity and meetings with an international breath oriented to the communist countries. The conference was part of the PKI's cultural campaign. To show their strength, after the conference they held an allegorical parade around Madiun City.



Rongrongan PKI terhadap ABRI (1964 - 1965). Kampanye meperburuk citra ABRI sudah dilakukan PKI sejak masa Perang Kemerdekaan tahun 1945 - 1949 untuk memecahbelah kekompakan ABRI, memandulkan peran sosial - politik ABRI, menghapuskan jati diri ABRI sebagai pejuang - prajurit dan prajurit - pejuang, yang pada akhirnya bertujuan untuk menguasai ABRI.

Secara terbuka kampanye anti-ABRI, khususnya TNI AD, berlatar belakang pada kecemburuan PKI di kalangan rakyat. Berbagai macam cara kampanye anti-ABRI telah dilakukan PKI, seperti tuduhan, isu, provokasi, fitnah politik, yang dilemparkan ke tengah-tengah masyarakat oleh bagian propaganda dan media massa PKI.

Sejak tahun 1964, aksi kampanye PKI semakin meningkat sebagai bagian dari "ofensif revolusionernya". Tindak kekerasan aksi sepihak, tuntutan pembubaran aparat teritorial, isu nasakomisasi ABRI, isu Angkatan V, dokumen palsu Gilchrist adalah wujud aslinya. Sebagai puncak kampanye fitnahnya adalah isu Dewan Jenderal pada tahun 1965 yang bermuara pada pemberontakan G30S/PKI.

Salah satu aksi kampanye dari bawah, antara lain disampaikan pada Kongres Persatuan Pamong Desa Indonesia (PPDI) suatu organisasi massa PKI, pada tanggal 3 Agustus 1964 di Gedung Serikat Buruh Kereta Api Manggarai, Jakarta.

The PKI's efforts to undermine the Armed Forces (1964 - 1965). The campaign to tarnish the image of the Armed Forces had been carried out by PKI since the War of Independence in 1945 - 1949 to divide the solidarity of the Armed Forces, neutralize the social - political role of the Armed Forces, eliminate the Armed Forces as warrior soldiers and soldier warriors, which ultimately aimed to take control of the Armed Forces.

Openly anti-ABRI campaign, especially to TNI AD (army), is based on the jealousy of the PKI among the people. Various ways in which the anti-ABRI campaign had been carried out by PKI, such as accusations, false issues, provocations, political slander, which are thrown into the community by the propaganda and mass media section of PKI.

Since 1964, PKI campaign had been on the rise as part of its "revolutionary offensive". Unilateral acts of violence, demands for the dissolution of territorial apparatus, the issue of nasakomacy (nationalism, religion, communism) of the Armed Forces, the issue of Force V, Gilchrist's false documents were the manifestations. Culmination of the defamation campaign was the issue of the General Assembly in 1965 which culminated in the G30S / PKI uprising.

One of the campaign actions from below, among others, was delivered at the Congress of the Indonesian Village Workers Association (PPDI) a PKI mass organization, on August 3, 1964 at the Manggarai Railway Labor Union Building, Jakarta.



Peristiwa Kanigoro, 13 Januari 1965. Walaupun PKI berhasil menakut-nakuti partai-partai politik dan organisasi massa Islam, tetapi mereka gagal melumpuhkan pengikut-pengikut partai dan organisasi massa tersebut. Partai politik dan organisasi massa Islam juga melakukan usaha untuk membendung intimidasi dan penyusupan pengaruh komunis ke dalam tubuh organisasi mereka dengan cara memperkuat keislaman dan ketakwaan para anggotanya.

Usaha seperti itu dilakukan antara lain oleh Pelajar Islam Indonesia (PII) Jawa Timur di Desa Kanigoro, Kecamatan Kediri. Mereka menyelenggarakan pelatihan mental pada bulan Januari 1965. Namun ketika pelatihan sedang berlangsung, pada subuh tanggal 13 Januari 1965 kompleks pesantren tempat pelatihan diadakan diserang massa Pemuda Rakyat (PR) dan Barisan Tani Indonesia (BTI).

Massa komunis tidak hanya menyiksa para peserta latihan, mereka juga menginjak-injak kitab suci Al-Quran sambil mengeluarkan ucapan-ucapan yang menghina agama Islam. Beberapa peserta latihan, pria dan wantia, serta tokoh-tokoh agama setempat mereka tangkap. Berkat campur tangan camat Keras, para korban penangkapan dibebaskan hari itu juga, tetapi pelaksanaan mental training terpaksa dibatalkan.

The Kanigoro Incident, January 13, 1965. Although PKI succeeded in frightening political parties and mass Islamic organizations, they failed to cripple followers of these mass parties and organizations. Political parties and mass Islamic organizations have also made efforts to stem the intimidation and infiltration of communist influence into their organizations by strengthening the Islam and piety of their members.

Such efforts were made, among others, by the Indonesian Islamic Students (PII) East Java in Kanigoro Village, Kediri District. They held mental training in January 1965. However, while the training was ongoing, at dawn on January 13, 1965 the pesantren complex where the training was held was attacked by a mob of Pemuda Rakyat (PR) and Barisan Tani Indonesia (BTI).

The communist mobs not only tortured the trainees, they also trampled on the holy book of the Koran while uttering insulting remarks about Islam. Some of the trainees, men and women, as well as local religious leaders were arrested. Thanks to the interference of the Camat Keras, the victims of the arrest were released that day, but the mental training had to be canceled.



Peristiwa Bandar Betsi, 14 Mei 1965. Untuk menggagalkan rencana pemerintah di bidang land reform, PKI dan organisasi massanya melancarkan aksi sepihak dengan menguasai secara tidak sah tanah negara di beberapa tempat. Salah satunya di Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) Karet-IX Bandar Betsi, Pematang Siantar.

Pada tanggal 14 Mei 1965, 200 anggota Barisan Tani Indonesia (BTI), Pemuda Rakyat (PR), dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) menanami secara liar tanah milik perkebunan penanaman karet. Pembantu Letnan Dua (Pelda) Sujono, seorang prajurit TNI-AD yang dikaryakan di PPN Karet IV bersama tiga temannya sedang bertugas mengeluarkan traktor yang terperosok sehari sebelumnya di dekat tanah tersebut. Ia memperingatkan massa supaya menghentikan penanaman liar itu. Namun peringatan diabaikan, bahkan Pelda Sujono dikeroyok dan dipukuli dengan berbagai benda, termasuk benda tajam, sehingga ia jatuh terlentang di atas tanah. Saat itu juga kepalanya dicangkul oleh seorang anggota BTI yang membuatnya tewas di tempat.

The Bandar Betsi incident, May 14, 1965. To thwart the government's plans for land reform, the PKI and its mass organizations launched unilateral actions by illegally controlling state land in several places. One of them is the State Plantation Company (PPN) Karet-IX Bandar Betsi, Pematang Siantar.

On May 14, 1965, 200 members of Barisan Tani Indonesia (Indonesia Farmer Front), Pemuda Rakyat (People Youth), and the Indonesian Women's Movement (Gerwani) illegally planted land belonging to a rubber plantation. Second Lieutenant (Pelda) Sujono, a TNI-AD soldier who was employed at PPN Karet IV with three of his friends were on duty to remove the tractor that had fallen the day before near the land. He warned the masses to stop the illegal planting. But the warning was ignored, even Pelda Sujono was assaulted and beaten with various objects, including sharp objects, so that he fell on his back on the ground. At that moment his head was hoeed by a BTI member who killed him instantly.



Diorama Pawai Ofensif Revolusioner PKI di Jakarta, 23 Mei 1965. Setelah merasa kuat, PKI mulai melancarkan ofensif revolusioner yang bertujuan untuk menggalang dan mempengaruhi massa agar berpihak kepadanya. Unjuk kekuatan ofensif revolusioner itu diwujudkan dalam aksi-aksi kekerasan seperti sabotase, aksi sepihak, aksi teror, tuntutan pembentukan Kabinet Nasakom dan Angkatan Kelima, agitasi dan propaganda mengenai hal-hal yang dianggap menghalangi program mereka.

Dengan dalih melaksanakan Manipol-Usdek, PKI berusaha membubarkan organisasi-organisasi lainnya seperti Manifes Kebudayaan. Patung tokoh-tokoh komunis internasional dan tokoh-tokoh PKI dipamerkan di jalan-jalan raya secara terbuka. Unjuk kekuatan kepada masyarakat ini dimuat secara besar-besaran di media massa dan di berbagai macam pertemuan. Kepada masyarakat didengungkan bahwa kekuatan PKI adalah nomor satu di dunia di luar kubu Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina.

Unjuk kekuatan besar-besaran dilakukan secara serentak di seluruh Indonesia pada peringatan hari ulang tahun PKI ke-45 tanggal 23 Mei 1965. Puncak peringatan diselenggarakan di Jakarta dalam bentuk "Rapat Raksasa" di Stadion Utama dimana hadir sejumlah utusan komunis internasional. Pada saat itu Ketua CC PKI DN Aidit mengomandokan kepada massa PKI untuk meningkatkan "Ofensif revolusioner sampai ke puncaknya".

Diorama of the PKI Revolutionary Offensive Parade in Jakarta, 23 May 1965. After feeling strong, PKI began to launch a revolutionary offensive move aimed at mobilizing and influencing the masses to side with it. The display of revolutionary offensive power was manifested in acts of violence such as sabotage, unilateral acts, acts of terror, demands for the formation of the Nasakom Cabinet and the Fifth Force, agitation and propaganda regarding matters deemed to be blocking their program.

Under the pretext of implementing the Manipol-Usdek (political manifest), the PKI tried to disband other organizations such as the Cultural Manifesto. Statues of international communist figures and PKI figures were displayed on the main roads openly. The demonstration of strength to the public was published massively in the mass media and at various meetings. The public was told that the strength of the PKI was number one in the world outside the strongholds of the Soviet Union and the People's Republic of China.

Massive demonstrations of force were held simultaneously throughout Indonesia on the commemoration of the 45th anniversary of the PKI on 23 May 1965. The highlight of the commemoration was held in Jakarta in the form of a "Giant Meeting" at the Main Stadium where a number of international communist delegates were present. At that time the Chairman of the PKI CC, DN Aidit, instructed the PKI masses to increase the "revolutionary offensive to its peak".



Diorama Penyerbuan Gubernuran Jawa Timur, 27 September 1965. Dengan alasan akan menyampaikan resolusi penurunan harga 9 bahan pokok, Gerwani yang mengatasnamakan "Gabungan Organisasi Wanita Surabaya" pimpinan isteri Walikota meminta Gubernur Jawa Timur Wiyono untuk bertemu, dan disetujui akan diterima pada pukul 10.00, tanggal 27 Desember 1965. Namun yang datang pada hari itu adalah massa PKI dari PR, BTI, CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) dan Gerwani, yang membuat kerusuhan, merusak berbagai peralatan kantor, dan bahkan berusaha menangkap gubernur. Kerusuhan baru berhasil diatasi setelah didatangkan bantuan dari ABRI.

Diorama of Raid of the East Java Governorate, September 27, 1965. With the reason to deliver a resolution to reduce prices of 9 basic commodities, Gerwani, on behalf of the "Surabaya Women's Organization Association" led by the Mayor's wife asked the Governor of East Java Wiyono to meet, and it was agreed that he would be accepted at 10:00, dated December 27, 1965. But what came on that day were PKI masses from PR, BTI, CGMI (Indonesian Student Movement Concentration) and Gerwani, who rioted, damaged various office equipments, and even tried to arrest the governor. The riots were only successfully resolved after assistance from ABRI (armed forces) was brought in.



Diorama Penguasaan Kembali Gedung RRI Pusat, 1 Oktober 1965. Selain menculik dan membunuh para petinggi TNI Angkatan Darat, pasukan PKI juga menguasai Gedung Pusat Telekomunikasi dan Gedung Radio Republik Indonesia Pusat pada dinihari 1 Oktober 1965. Melalui seorang penyiar RRI yang membacakan teks dibawah todongan pistol, PKI mengumumkan telah menyelamatkan negara dari kudeta "Dewan Jenderal". Tengah hari mereka mengumumkan pembentukan Dewan Revolusioner sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara, dan pendemisioneran kabinet. Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto yang telah mengambil alih sementara pimpinan Angkatan Darat kemudian memerintahkan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) untuk merebut kembali kedua gedung tersebut. Operasi militer yang dimulai pada pukul 18.30 dengan mengerahkan kekuatan satu kompi RPKAD dalam waktu 20 menit berhasil menguasai kembali kedua obyek vital tersebut. Pada pukul 20.00 tanggal 1 Oktober 1965 RRI Pusat sudah dapat menyiarkan pidato radio Mayjen Soeharto yang menjelaskan adanya usaha kudeta yang dilakukan oleh PKI melalui G30S.

Diorama of Regaining control of RRI (national radio station) Central Building, October 1, 1965. In addition to kidnapping and killing high-ranking Army officers, PKI troops also took control of the Central Telecommunications Building and the Central Republic of Indonesia Radio Building in the morning of October 1, 1965. Through an RRI broadcaster who read text at gunpoint, PKI announced that it had saved the country from the "Council of Generals" coup. At noon they announced the formation of the Revolutionary Council as the supreme power holder of the country, and the cabinet was disbanded. Pangkostrad Maj. Gen. Soeharto, who had temporarily taken over the leadership of the Army, then ordered the RPKAD (Army Commando Regiment) to reclaim the two buildings. The military operation, which began at 18.30 with the deployment of a company of RPKAD within 20 minutes, succeeded in regaining control of the two vital objects. At 20.00 on 1 October 1965 the Central RRI was able to broadcast Major General Soeharto's radio speech explaining the coup attempt by the PKI through the G30S.



Diorama Peristiwa Kentungan Yogyakarta, 21 Oktober 1965. Sebagai bagian dari aksi makar G30S, Pasukan PKI menyerbu dan menguasai Markas Korem 072 dan RRI Yogyakarta pada 1 Oktober 1965, dan mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi. Komandan Korem 072 Kolonel Katamso dan Kepala Staf Letkol Sugiyono diculik pada sore harinya dan dibawa ke Kentungan. Mereka dipukul dengan kunci mortir, dan tubuhnya dimasukkan ke dalam sebuah lubang. Jenazah mereka baru ditemukan pada 21 Oktober 1965.

Diorama of the Yogyakarta Kentungan Incident, 21 October 1965. As part of the G30S treason, PKI troops attacked and took control of the Military Command Headquarters 072 and RRI Yogyakarta on October 1, 1965, and announced the formation of the Revolutionary Council. Korem (military resort command) 072 commander Colonel Katamso and Chief of Staff Lt. Col. Sugiyono were kidnapped in the afternoon and taken to Kentungan. They were hit with mortar keys, and their bodies were inserted into a hole. Their bodies were found on October 21, 1965.



Diorama Rapat Umum Front Pancasila, 9 November 1965. Tidak adanya tindakan tegas dari Presiden Sukarno terhadap PKI yang mendalangi G30S menimbulkan reaksi di kalangan masyarakat. Berbagai golongan masyarakat menuntut supaya PKI dan semua organisasi massanya dibubarkan. Mereka tergabung dalam Komando Aksi Pengganyangan Kontra Revolusi (G.30.S/PKI) yang pada tanggal 23 Oktober 1965 berganti nama menjadi Front Pancasila. Bersama dengan Front Pancasila, kesatuan-kesatuan aksi itu melakukan demonstrasi untuk menuntuk pembubaran PKI dan semua organisasi massa di bawahnya. Rapat Raksasa diselenggarakan di Lapangan Banteng pada 23 Oktober 1965, dimana Front Pancasila membuat resolusi yang menuntut pembubaran PKI dan semua organisasi massa di bawahnya, serta mengadili tokoh-tokoh PKI. Resolusi disampaikan kepada wakil pemerintah yang hadir di tempat itu.

Diorama of the Pancasila Front General Meeting, 9 November 1965. The absence of firm action from President Sukarno against the PKI which was masterminded the G30S had generated reactions among the public. Various groups in society demanded that PKI and all its mass organizations be dissolved. They were members of the Counter-Revolutionary Crusade Action Command (G.30.S / PKI) which on October 23, 1965 changed its name to the Pancasila Front. Together with the Pancasila Front, these action units held demonstrations demanding the dissolution of PKI and all the mass organizations under it. The Giant Meeting was held at Lapangan Banteng on October 23, 1965, during which the Pancasila Front made a resolution demanding the dissolution of the PKI and all the mass organizations under it, as well as bringing PKI leaders to justice. The resolution was submitted to the government representatives who were present at the venue.



Sidang Mahkamah Militer Luar Biasa, 14 Februari 1966. Untuk menumpas G30S/PKI, pemerintah melancarkan operasi militer dan operasi yustisi. Sebagai wujud yustisi, pemerintah mengaktifkan kembali lembaga Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) sebagai lembaga peradilan yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara khususnya tokoh-tokoh utama penggerak G30S/PKI. Sidang pertama Mahmilub diselenggarakan pada 14 Februrari 1966 untuk mengadili Nyono bin Sastro Rejo, anggota Politbiro CC PKI. Nyono dijatuhi hukuman mati karena terbukti bersalah sebagai perencana dan penggerak G.30.S/PKI.

Extraordinary Military Court Session, February 14, 1966. To crush G30S/PKI, the government launched military operations and justisi operations. As a form of justice, the government reactivated the Extraordinary Military Court (Mahmilub) as a judicial institution that had the authority to examine and adjudicate cases, especially the main figures driving the G30S / PKI. The first Mahmilub trial was held on February 14, 1966 to try Nyono bin Sastro Rejo, a member of the PKI CC Politburo. Nyono was sentenced to death because he was found guilty of being the planner and activist of the G.30.S / PKI.



Operasi Trisula di Blitar Selatan, 20 Juli 1968. Setelah dibubarkan, sisa-sisa PKI membangun kembali partai dengan cara membentuk basis-basis gerilya yang disebut Comite Proyek (Compro). Melalui Compo Blitar Selatan, PKI membentuk Central Comite dan Comite Daerah Besar Jawa Timur. Mereka menyusun kekuatan bersenjata, mengintensifkan latihan militer, membuat kubu pertahanan berupa ruangan bawah tanah (ruba) memanfaatkan gua-gua alam, serta melakukan agitasi dan propaganda.

Setelah mengetahui kegiatan mereka, Kodam VIII/Brawijaya segera membentuk Komando Satuan Tugas Trisula yang diperkuat oleh kesatuan TNI-AU, Polri, Hansip/Wanra serta aparatur terkait dengan tugas melaksanakan operasi militer untuk menumpas gerakan tersebut. Pada 20 Juli 1968 salah satu bagian dari Satuan Tugas Trisula dengan dibantu Hansip/Wanra melancarkan operasi pembersihan di Desa Sumberjati, Kecamatan Lodoyo, Blitar Selatan. Sasaran operasi adalah gua alam yang ada di desa itu, dan mereka berhasil metangkap 11 orang PKI, salah satu diantaranya adalah Rewang anggota CC PKI gaya baru.

Operation Trisula in South Blitar, 20 July 1968. After being disbanded, the remnants of the PKI rebuilt the party by forming guerrilla bases called the Project Committee (Compro). Through the Compo South Blitar, PKI formed the Central Committee and the Great Regional Committee of East Java. They organized armed forces, intensified military training, made fortifications in the form of underground rooms (ruba) using natural caves, and carried out agitation and propaganda.

After learning of their activities, Kodam (military district command) VIII / Brawijaya immediately formed a Trisula Task Force Command which was strengthened by the TNI-AU (Air Force), Polri (Police), Hansip / Wanra (civil defence) units and related apparatus with the task of carrying out military operations to quell the movement. On July 20, 1968 a part of the Trisula Task Force, assisted by Hansip / Wanra, launched a cleaning operation in Sumberjati Village, Lodoyo District, South Blitar. The target of the operation was a natural cave in the village, and they succeeded in arresting 11 PKI people, one of which was Rewang, a new-style CC PKI member.



Penumpasan Gerakan PKI Ilegal Iramani di Purwodadi, 27 Januari 1973. Seorang kader PKI yang bernama Samsudin, alias Iramani, membina sejumlah mantan tahanan G.30.S/PKI sejak 1968, membentuk Comite Pangkalan Mobil dan Prajurit Gerilya (Praga) di daerah Purwodadi, dan berhasil membina 7.000 orang. Untuk menjaga kerahasiaan, mereka dibagi dalam kelompok-kelompok kecil untuk melakukan perampokan, pembunuhan serta intimidasi terhadap penduduk dan mantan tahanan G30S/PKI.

Namun operasi intel dan operasi teritorial yang dilakukan ABRI bersama rakyat di Kabupaten Grobogan, Sragen dan Boyolali berhasil mempersempit ruang gerak mereka. Oleh karena di daerah Purwodadi tidak mungkin bertahan, mereka bergerak pindah ke daerah Boyolali. Pada 27 Januari, mereka keluar dari hutan Perahu menuju ke hutan Bubak, melintasi jalan raya Solo - Purwodadi. Di Dusun Ngasem, Desa Monggot, sejumlah penduduk dibawah pimpinan Muspika Geyer dan Lurah Monggot menghadang mereka setelah rahasia mereka bocor. Dalam penghadangan itu berhasil ditangkap 29 orang anggota gerombolan Iramani.

Eradication of the Iramani Illegal PKI Movement in Purwodadi, 27 January 1973. A PKI cadre named Samsudin, alias Iramani, coached a number of former G.30.S / PKI prisoners since 1968, forming the Mobile Base Committee and Guerrilla Soldiers (Praga) in the Purwodadi area, and managed to amass 7,000 people. To maintain confidentiality, they were divided into small groups to carry out robberies, killings and intimidation of residents and former prisoners of G30S / PKI.

However, the intelligence operation and territorial operations carried out by ABRI together with the people in Grobogan, Sragen and Boyolali districts succeeded in narrowing their space. Because it was impossible in Purwodadi area to survive, they moved to Boyolali area. On January 27, they left Perahu forest towards Bubak forest, crossing Solo - Purwodadi highway. In Ngasem Hamlet, Monggot Village, a number of residents under the leadership of Muspika Geyer and Lurah Monggot confronted them after their secret was leaked. In the interception, 29 members of the Iramani gang were arrested.



Tertembak Matinya SA Sofyan, 12 Januari 1974. Sisa-sisa PKI Kalimantan Barat dibawah pimpinan SA Sofyan, mendirikan PKI gaya baru, dan mendapat dukungan dari Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) serta Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) yang berhaluan komunis. Untuk mengantisipasi serangan dari PKI gaya baru, mulai Februrai 1969 ABRI melancarkan Operasi Bersih III yang berhasil menghancurkan kekuatan para pendukung PKI gaya baru.

Operasi militer selanjutnya dengan dukungan rakyat berhasil menghancurkan pengikut SA Sofyan pada bulan Juni 1973. Setelah anggota keluarga dan beberapa pengikutnya tertangkap, SA Sofyan melarikan diri dan bersembunyi di daerah rawa-rawa Tarentang, sebelah tenggara Pontianak. Pada tanggal 12 Januari 1974, Pasukan RPKAD berhasil menemukan persembunyian SA Sofyan, dan ia tewas dalam baku tembak. Selanjutnya operasi pembersihan dan operasi gabungan dengan pasukan Malaysia berhasil menumpas Gerakan Pengacau Keamanan PGRS-Paraku. Sejak tanggal 20 November 1982 daerah Kalimantan Barat dinyatakan aman dan bersih dari sisa-sia gerombolan pengacau keamanan.

The shot to death of SA Sofyan , January 12, 1974. The remnants of West Kalimantan PKI under the leadership of SA Sofyan, founded new style of PKI, and received support from Serawak People's Guerrilla Forces (PGRS) and North Kalimantan People's Forces (Paraku) which were communist. In anticipation of attacks from the new style of PKI, starting in February 1969 ABRI launched Operation Clean III which succeeded in destroying the strength of the supporters of the new PKI.

Subsequent military operations with popular support succeeded in destroying SA Sofyan's followers in June 1973. After family members and several of his followers were captured, SA Sofyan fled and hid in the Tarentang swamps, southeast of Pontianak. On January 12, 1974, RPKAD troops managed to find the hiding place of SA Sofyan, and he was killed in a gun battle. Furthermore, the cleaning operation and joint operations with Malaysian troops succeeded in eliminating the PGRS-Paraku Security Disruptor Movement. Since November 20, 1982, the West Kalimantan area was declared safe and clean from all the security disturbing gangs.



Bagian akhir pada ruangan diorama Museum Pengkhianatan PKI Lubang Buaya, dengan tulisan ucapan terima kasih pada dinding, serta pengingat untuk tidak membiarkan peristiwa pengkhianatan semacam itu tidak terulang kembali. Peringatan itu tentu tidak hanya ditujukan bagi faham komunis, namun juga faham apa pun yang mengancam demokrasi, Pancasila serta Bhinneka Tunggal Ika. Karenanya persatuan dan kesatuan bangsa harus selalu ditingkatkan.

The final part of the diorama room of the PKI Betrayal Museum, with the words of thanks on the wall, as well as a reminder not to let such treasonous events to happen again. The warning is certainly not only aimed at communist ideas, but also for any ideas that threaten democracy, Pancasila and Bhinneka Tunggal Ika. Therefore the unity of the nation must always be improved.



Kolase foto suasan Pemakaman 7 Jenazah Pahlawan Revolusi di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada tahun 1965. Pada foto terlihat Ibu Pandjaitan, Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto, Ibu Suprapto, Ibu S Parman, dan Ibu MT Haryono.

Photo collage of the funeral scene of 7 Revolutionary Heroes in Kalibata Heroes Cemetery in 1965. In the photo, you can see Mrs. Pandjaitan, Pangkostrad Commander Maj. Gen. Soeharto, Mrs. Suprapto, Mrs. S Parman, and Mrs. MT Haryono.



Kolase foto yang memperlihatkan suasana ketika berlangsung acara pemberangkatan 7 jenazah Pahlawan Revolusi dari Markas Besar Angkatan Darat pada tahun 1965. Pada foto terlihat Jenderal TNI AH Nasution (Menko Hankam/KASAB), dan Mayjen TNI GPH Djati Kusumo.

A photo collage that shows the atmosphere during the departure of 7 bodies of Revolutionary Heroes from the Army Headquarters in 1965. In the photo, General AH Nasution (Coordinating Minister of Defense and Security / KASAB) and Maj. Gen. GPH Djati Kusumo were seen.



Lorong jembatan beratap yang menghubungkan gedung utama Museum Pengkhianatan PKI dengan Museum Paseban serta Ruang Relik Monumen Pancasila Sakti. Pemutaran film G30S/PKI bisa dilihat di depan ruang relik, dan jika ada rombongan dalam jumlah banyak bisa juga dilakukan di aula di gedung Paseban.

A covered alley bridge that connects the main building of the PKI Betrayal Museum with the Paseban Museum and the Pancasila Sakti Monument Relic Room. The G30S / PKI film screening can be seen in front of the relic room, and if there is a large group, it can also be done in the hall of the Paseban building.



Pemberontakan PKI di Cirebon, 14 Februari 1946. Dengan alasan untuk memeriahkan konferensi Laskar Merah pada Januari 1946, pimpin PKI Mr. Joesoeph dan Mr. Soeprapto mendatangkan kesatuan Laskar Merah dari Jawa Tengah dan Jawa Timur ke Cirebon sebanyak 3000 orang. Jumlah itu ditambah lagi dengan kekuatan Laskar Merah Cirebon. Mereka unjuk kekuatan dengan berbaris keliling kota dan memancing insiden dengan TRI (Tentara Republik Indonesia) dan Polisi. Pada tanggal 12 Februari 1946 Laskar Merah melucuti TRI, menguasai kota dan gedung vital seperti stasiun radio dan pelabuhan. Hotel Ribbrinck dijadikan sebagai markas untuk merebut kekuasaan pemerintah daerah.

Untuk mencegah pertumpahan darah, pimpinan Divisi II / Sunan Gunung Jati mencoba menyelesaikan peristiwa itu secara musyawarah dengan pimpinan PKI dan meminta agar senjata TRI dikembalikan. Oleh sebab PKI menolak, maka pada tanggal 14 Februari 1946 TRI melancarkan serangan untuk merebut dan menguasai kembali Kota Cirebon. Pos penjagaan PKI berhasil dilumpuhkan dan markas besar mereka di Hotel Ribbrinck dapat dikuasai. Sebagian pasukan Laskar Merah menyerahkan diri dan sebagian lagi lari. Pimpinan PKI Mr. Joesoeph dan Mr. Soeprapto ditangkap dan kemudian diajukan ke Pengadilan Militer.

PKI rebellion in Cirebon, February 14, 1946. With the reason to celebrate Laskar Merah (Red Paramilitary troops) conference in January 1946, Mr. PKI lead. Joesoeph and Mr. Soeprapto brought 3,000 Laskar Merah units from Central and East Java to Cirebon. That number was added to the strength of Laskar Merah Cirebon. They showed off their strength by marching around the city and provoking an incident with the TRI (Indonesian People Army) and the Police. On February 12, 1946 Laskar Merah disarmed TRI, taking control of cities and vital buildings such as radio stations and ports. The Ribbrinck Hotel served as a base to seize power from the local government.

To prevent bloodshed, the leadership of Division II / Sunan Gunung Jati tried to resolve the incident by deliberation with the PKI leadership and asked that the TRI weapons be returned. Because PKI refused the request, on February 14, 1946, TRI launched an attack to seize and regain control of the city of Cirebon. The PKI guard post was successfully paralyzed and their headquarters at the Ribbrinck Hotel was taken. Some of the Laskar Merah troops surrendered and some fled. PKI leader Mr. Joesoeph and Mr. Soeprapto were arrested and then submitted to the Military Court.



Tampak muka gedung Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) di Lubang Buaya setelah direnovasi dan dibukan kembali untuk umum.

The facade of the PKI (Communist) Betrayal Museum building in Lubang Buaya after being renovated and reopened to the public.



Cungkup di ujung sana adalah pendopo dengan foto Monumen Pancasila Sakti pada dindingnya, dan di sebelah kirinya ada dua pendopo berukuran lebih kecil tempat untuk menyimpan kendaraan roda empat yang pernah digunakan oleh Jenderal Ahmad Yani dan Mayjen Soeharto.

The cupola at the other end is a pavilion with a photo of the Pancasila Sakti Monument on the wall, and to the left were two smaller pavilions where the four-wheeled vehicles used by General Ahmad Yani and Major General Soeharto were stored.



Foto dokumentasi yang memperlihatkan sejumlah tokoh lainnya yang terlibat dalam Gerakan Tiga Daerah ketika ditahan di Penjara Wirogunan, Yogyakarta.

A documentary photo showing a number of other figures who were involved in the Three Regions Incident while detained at the Wirogunan Prison, Yogyakarta.



Sudut pandang diorama lainnya yang menggambarkan peristiwa Tiga Daerah.

Another diorama point of view depicting the events of the Three Regions Incident.



Foto dokumentasi Jembatan di daerah Talang yang menjadi lokasi pembunuhan dan pembuangan jasad pejabat pemerintah yang dilakukan oleh PKI dalam peristiwa Tiga Daerah.

Photo documentation of the Bridge in the Talang area which was the location of the killing and disposal of the bodies of government officials carried out by the PKI in the Three Regional Incident.

Foto dokumentasi di Museum Pengkhianatan PKI yang memperlihatkan bekas Hotel Merdeka di Pekalongan yang dulu pernah digunakan sebagai Markas Gerakan Tiga Daerah.

Photo documentation at the PKI Betrayal Museum showing the former Merdeka Hotel in Pekalongan which was once used as the headquarters of the Three Regions Movement.



Sudut pandang lainnya pada aksi pembunuhan yang dilakukan oleh gerombolan Ce' Mamat.

Another point of view on the murder action carried out by the Ce 'Mamat mob.



Sudut pandang berikutnya pada diorama pembunuhan terhadap Bupati Lebak R. Hardiwinangun yang dilakukan oleh Gerombolan Ce' Mamat.

The next point of view on the diorama of the assassination of Lebak Regent R. Hardiwinangun by Ce' Mamat gang.



Sudut pandang berikutnya pada teror pembunuhan yang dilakukan Gerombolan Ce' Mamat ketika hendak membuang jasad Bupati Lebak ke Sungai Cimancak setelah mereka bunuh.

Another view of murder terror carried out by the Ce 'Mamat horde when they were about to throw the body of the Regent of Lebak to Cimancak River after they killed him.



Foto dokumentasi Jembatan Sungai Cimancak yang menjadi tempat pembunuhan dan pembuangan jenazah Bupati Lebak oleh Gerombolan Ce' Mamat.

Photo documentation of the Cimancak River Bridge which was the place where the body of Lebak Regent was killed and dumped by Ce 'Mamat gang.



Sudut pandang berikutnya pada diorama pembunuhan dan pembuangan jenazah Bupati Lebak oleh Gerombolan Ce' Mamat.

Another view on the diorama of the murder and disposal of the body of Lebak Regent by the Ce 'Mamat Mob.



Sudut pandang pada Diorama Aksi Kekerasan Pasukan Ubel-Ubel di Sepatan Tangerang.

A view on the Diorama of the Ubel-Ubel Force Violence Action in Sepatan Tangerang.



Masih pada diorama aksi kekerasan yang dilakukan oleh pasukan Ubel-Ubel pada 12 Desember 1945, dilihat dari sudut pandang yang berbeda.

Still on the diorama of the violence committed by Ubel-Ubel troops on December 12, 1945, seen from a different perspective.



Sudut pandang yang lebih luas pada diorama kekerasan yang dilakukan Pasukan Ubel-Ubel di Tangerang.

A broader perspective on the diorama of violence carried out by Ubel-Ubel Troops in Tangerang.



Sudut pandang lainnya pada diorama yang menggambarkan peristiwa Tiga Daerah ketika massa menyerbu Kantor Kabupaten dan Markas TKR Tegal namun gagal.

Another point of view on the diorama depicting the Three Regions incident when the masses attacked Tegal Regency Office and TKR Headquarters but failed.



Sudut pandang pada diorama di Museum Pengkhianatan PKI yang menggambarkan revolusi sosial di Langkat pada 9 Maret 1946.

A viewpoint on a diorama at the PKI Betrayal Museum depicting the social revolution in Langkat on March 9, 1946.



Sudut pandang berbeda pada diorama yang menggambarkan pemogokan Buruh Sarbupri di Delanggu pada 23 Juni 1948.

A different point of view on the diorama depicting the Sarbupri Labor strike in Delanggu on 23 June 1948.



Sudut pandang dan nuansa berbeda pada diorama yang menggambarkan peristiwa Pengacauan Surakarta pada 19 Agustus 1948.

Different viewpoints and nuances in diorama depicting the chaos events in Surakarta on August 19, 1948.



Sudut pandang lain pada diorama Pemberontakan PKI di Madiun yang terjadi pada 18 September 1948.

Another point of view on the diorama of PKI Rebellion in Madiun that took place on 18 September 1948.



Sudut pandang pada diorama pembunuhan di Kawedanan Ngawen, Blora, pada 20 September 1948.

A view on the diorama of the murder at Kawedanan Ngawen, Blora, on September 20, 1948.



Sudut pandang lainnya pada diorama yang menggambarkan peristiwa ketika Batalyon Sambas sedang bergerak untuk membebaskan Kota Madiun pada tanggal 28 September 1948.

Another view on the diorama depicting the incident when the Sambas Battalion was moving to liberate Madiun City on September 28, 1948.



Sudut pandang berbeda pada diorama yang menggambarkan peristiwa pembantaian di Dungus pada 1 Oktober 1948 yang dilakukan oleh PKI.

A different view on the diorama depicting the massacre in Dungus on October 1, 1948, which was committed by PKI.



Sudut pandang berbeda pada diorama saat Muso tertembak mati pada 31 Oktober 1948 di sebuah blandong (tempat mandi) milik seorang penduduk di Desa Semanding, Kecamatan Somoroto.

A different view on the diorama when Muso was shot dead on October 31, 1948 in a blandong (bathing place) owned by a resident in Semanding Village, Somoroto District.



Sudut pandang lain pada diorama peristiwa pembunuhan massal di Tirtomoyo pada 4 Oktober 1948.

Another angle on the diorama of the mass murder incident in Tirtomoyo on October 4, 1948.



Masih pada diorama pembunuhan massal di Bukit Tirtomoyo pada sudut pandang yang berbeda.

Still on the diorama of the mass killings on Bukit Tirtomoyo from a different perspective.



Sudut pandang lainnya pada pembunuhan massal di Bukit Tirtomoyo. Para tawanan yang berjumlah 212 orang itu disekap di ruangan bekas laboratorium dan gudang dinamit di Bukit Tirtomoyo.

Another view on the mass killings on Bukit Tirtomoyo. The 212 prisoners were held in a room where the former laboratory and dynamite warehouse were located.



Masih pada diorama pembantaian para tawanan di Bukit Tirtomoyo yang dilakukan oleh gerombolan PKI.

Still on the diorama of the massacre of the prisoners at Bukit Tirtomoyo which was carried out by the PKI gang.



Sudut pandang berbeda pada diorama penangkapan Amir Syarifudin pada 29 November 1948.

A different perspective on the diorama of Amir Syarifudin's arrest on November 29, 1948.



Masih pada diorama penangkapan Amir Syarifudin dengan sudut pandang yang berbeda. Ia dan beberapa tokoh PKI lainnya diserahkan kepada komandan Brigade-12 di Kudus.

Still on the diorama of Amir Syarifudin's arrest from a different angle. He and several other PKI figures were handed over to the commander of the 12th Brigade in Kudus.



Sudut pandang lain pada diorama serangan PKI ke Markas Polisi Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada 6 Agustus 1951 pukul 19.00.

Another angle on the diorama of the PKI attack on the Tanjung Priok Police Headquarters, North Jakarta, on August 6, 1951 at 19.00.



Diorama dengan sudut pandang berbeda pada lahirnya Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan (MKTBP) PKI pada 14 Maret 1954.

Diorama with a different perspective on the birth of the PKI's Combined Three Forms of Struggle Method (MKTBP) on March 14, 1954.



Diorama dengan sudut berbeda yang menggambarkan peristiwa pada subuh tanggal 13 Januari 1965 ketika kompleks pesantren tempat pelatihan mental Pelajar Islam Indonesia diserang massa Pemuda Rakyat (PR) dan Barisan Tani Indonesia (BTI)

Diorama with a different angle depicting the events at the dawn on January 13, 1965, when the pesantren complex where the Indonesian Islamic Students mental training was attacked by a mob of Pemuda Rakyat (People Youth) and Barisan Tani Indonesia (Indonesia Farmer Front)



Sudut pandang berbeda pada diorama yang menggambarkan peristiwa Bandar Betsi pada tanggal 14 Mei 1965, dimana 200 anggota Barisan Tani Indonesia (BTI), Pemuda Rakyat (PR), dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) menanami secara liar tanah milik perkebunan penanaman karet.

A different perspective on the diorama depicting the Bandar Betsi incident on May 14, 1965, in which 200 members of the Indonesian Farmer Front (BTI), Pemuda Rakyat (PR), and the Indonesian Women's Movement (Gerwani) illegally planted land belonging to a rubber plantation.



Sudut pandang berbeda pada diorama yang menggambarkan unjuk kekuatan besar-besaran yang dilakukan secara serentak di seluruh Indonesia pada peringatan hari ulang tahun PKI ke-45 tanggal 23 Mei 1965.

A different point of view on the diorama depicting the massive show of force carried out simultaneously throughout Indonesia on the commemoration of the 45th anniversary of the PKI on 23 May 1965.



Sudut pandang berbeda pada Diorama Penyerbuan Gubernuran Jawa Timur, 27 September 1965 yang dilakukan oleh massa PKI dari PR, BTI, CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) dan Gerwani.

A different point of view on the East Java Governor's Invasion Diorama, 27 September 1965 by PKI masses from PR, BTI, CGMI (Indonesian Student Movement Concentration) and Gerwani.



Sudut pandang lainnya pada diorama ketika massa rakyat Jakarta mengadakan pawai kemenangan di jalan-jalan dan membawa poster-poster sebagai ungkapan rasa gembira dan terima kasih atas pembubaran PKI yang diumumkan melalui RRI pada pukul 06.00 tanggal 12 Maret 1965.

Another point of view on the diorama when a mass of the Jakarta people held a victory parade in the streets and carried posters as an expression of happiness and gratitude for the dissolution of the PKI announced through RRI at 06.00 on March 12, 1965.



Pandangan pada bagian depan Museum Pengkhianatan PKI setelah renovasi dan dibuka kembali untuk umum. Sebelah kiri adalah bagian depan Museum Paseban yang juga mengalami perubahan.

View of the front of the PKI Pengkhianatan Museum after renovation and reopened to the public. To the left is Paseban Museum which also experienced a change.



Pandangan pada gedung Museum Pengkhianatan PKI setelah renovasi dari lorong penghubung yang menuju ke Museum Paseban.

A view of the PKI Betrayal Museum building after renovation from the connecting hallway leading to the Paseban Museum.



Pengendara motor yang tidak mengenakan helm pelindung kepala tampak baru saja lewat di depan gerbang masuk ke kawasan Monumen Pancasila Sakti dimana di dalamnya juga terdapat Museum Pengkhianatan PKI.

Motorcyclists who did not wear helmets appeared to have just passed in front of the entrance to the Pancasila Sakti Monument area where there's also the PKI Betrayal Museum.



©2021 Ikuti