Barangkali tidak ada survei, setidaknya sejauh yang saya ketahui, atau wawancara ke khalayak untuk menjawab pertanyaan mengapa orang Indonesia mendukung Rusia dalam konflik mereka dengan Ukraina.
Namun di linimasa berbagai platform sosial media, dukungan terhadap Rusia itu nyata. Dukungan terhadap NATO bahkan bisa dikatakan tidak terlihat sama sekali, setidaknya di sosial media yang saya ikuti.
Meski tak lama setelah Rusia menyerang Ukraina, Presiden Jokowi men-tweet untuk hentikan perang namun beliau tak menyebut nama. Saya melihat itu lebih sebagai ungkap kegelisahan sesaat, karena menghentikan perang tentu tak bisa lewat tweet.
Kegelisahan itu wajar oleh sebab walau secara geografis Rusia dan Ukraina sangat jauh dari Indonesia, namun ketika keterhubungan global sudah sedemikian erat maka dampak negatif perang terhadap ekonomi lokal sudah pasti ada, dan itu bisa menjadi pemicu kerawanan sosial politik.
Sebagai catatan, sosial media yang saat ini saya masih sering ikuti hanyalah Twitter dan TikTok, serta YouTube. Meski ada akun Facebook dan Instagram namun sudah cukup lama saya tak menyentuhnya.
Di Twitter pun sebenarnya sudah pasif, dan lebih banyak klik tombol like ke tweet orang untuk menunjukkan dukungan kepada mereka dalam melawan narasi kaum intoleran, radikalis dan para penyembah khilafah.
Sementara TikTok yang awalnya hanya untuk hiburan, belakangan juga cukup ramai dengan konten politik, yang diantaranya adalah cuplikan opini dan informasi faktual tentang konflik di Ukraina ini.
Mengapa orang Indonesia mendukung Rusia dalam konflik dengan Ukraina salah satunya adalah tentu karena sosok Vladimir Putin sendiri, yang memberi kesan berani, tegas, dan narasinya yang lugas, tanpa basa-basi, dengan argumen sangat logis mengapa ia harus melakukan aksi militer di Ukraina.
Di lain pihak, NATO, terutama US, memang dalam posisi lemah baik secara moral maupun riil faktual oleh karena, langsung atau tidak, merekalah yang telah membuat Rusia tak punya pilihan selain harus bertindak keras untuk mengamankan wilayahnya dari ancaman NATO.
Selain itu, US dan para sekutunya tak punya legitimasi moral untuk mengecam serangan Rusia, oleh sebab apa yang telah mereka lakukan sebelumnya di banyak negara, terutama Irak, Libya, Syria, Yaman, dan Afghanistan, selain tentu berlarutnya masalah Palestina karena dukungan mereka yang membuta tuli ke Israel.
Konflik di Ukraina mestinya bisa menyadarkan para petinggi pemerintahan di US dan sekutunya bahwa citra mereka di banyak negara di dunia telah hancur lebur. Sangat sulit untuk percaya kepada mereka selama masih memakai standar moral ganda dan selalu ikut campur dalam urusan negara lain secara sangat buruk.
Ketika US dan sekutunya tak punya landasan logis dan moral sama sekali untuk menyerang negara-negara lain, selain motif ekonomi dengan mengorbankan jutaan nyawa manusia, maka Rusia jelas memiliki alasan kuat dan masuk akal dalam melakukan serangan ke Ukraina karena itu menyangkut keberlangsungannya sebagai bangsa.
Sebagai negara Non-Blok, Indonesia tentu tidak dalam posisi memusuhi atau masuk ke blok US dan sekutunya, demikian pula tidak boleh condong ke blok Rusia, atau China. Indonesia jelas harus tetap pada posisi netral, di tengah, namun harus jernih dalam menilai situasi, kokoh dalam pendirian, dan aktif dalam ikut mencari solusi yang bisa diterima oleh semua pihak agar perang bisa diakhiri.
Sikap Indonesia yang tetap mengundang Rusia dalam KTT G20 di Bali pada November 2022 mendatang sudah sangat tepat. Sikap Australia dan US yang meminta agar Rusia dikucilkan, bahkan dikeluarkan dari G20, jelas sangat merugikan dan semakin melemahkan citra kedua negara itu di mata rakyat Indonesia dan dunia.
Jangan sampai ada kesan mereka mendikte atau menekan pemerintah Indonesia, apalagi memboikot pertemuan G20 di Bali jika permintaan mereka tak dipenuhi. Indonesia tak bisa ditekan dengan cara seperti itu. Indonesia memang tidak punya senjata nuklir seperti Rusia dan India, namun meremehkan rakyat Indonesia adalah salah besar.
Namun di linimasa berbagai platform sosial media, dukungan terhadap Rusia itu nyata. Dukungan terhadap NATO bahkan bisa dikatakan tidak terlihat sama sekali, setidaknya di sosial media yang saya ikuti.
Meski tak lama setelah Rusia menyerang Ukraina, Presiden Jokowi men-tweet untuk hentikan perang namun beliau tak menyebut nama. Saya melihat itu lebih sebagai ungkap kegelisahan sesaat, karena menghentikan perang tentu tak bisa lewat tweet.
Kegelisahan itu wajar oleh sebab walau secara geografis Rusia dan Ukraina sangat jauh dari Indonesia, namun ketika keterhubungan global sudah sedemikian erat maka dampak negatif perang terhadap ekonomi lokal sudah pasti ada, dan itu bisa menjadi pemicu kerawanan sosial politik.
Sebagai catatan, sosial media yang saat ini saya masih sering ikuti hanyalah Twitter dan TikTok, serta YouTube. Meski ada akun Facebook dan Instagram namun sudah cukup lama saya tak menyentuhnya.
Di Twitter pun sebenarnya sudah pasif, dan lebih banyak klik tombol like ke tweet orang untuk menunjukkan dukungan kepada mereka dalam melawan narasi kaum intoleran, radikalis dan para penyembah khilafah.
Sementara TikTok yang awalnya hanya untuk hiburan, belakangan juga cukup ramai dengan konten politik, yang diantaranya adalah cuplikan opini dan informasi faktual tentang konflik di Ukraina ini.
Mengapa orang Indonesia mendukung Rusia dalam konflik dengan Ukraina salah satunya adalah tentu karena sosok Vladimir Putin sendiri, yang memberi kesan berani, tegas, dan narasinya yang lugas, tanpa basa-basi, dengan argumen sangat logis mengapa ia harus melakukan aksi militer di Ukraina.
Di lain pihak, NATO, terutama US, memang dalam posisi lemah baik secara moral maupun riil faktual oleh karena, langsung atau tidak, merekalah yang telah membuat Rusia tak punya pilihan selain harus bertindak keras untuk mengamankan wilayahnya dari ancaman NATO.
Selain itu, US dan para sekutunya tak punya legitimasi moral untuk mengecam serangan Rusia, oleh sebab apa yang telah mereka lakukan sebelumnya di banyak negara, terutama Irak, Libya, Syria, Yaman, dan Afghanistan, selain tentu berlarutnya masalah Palestina karena dukungan mereka yang membuta tuli ke Israel.
Konflik di Ukraina mestinya bisa menyadarkan para petinggi pemerintahan di US dan sekutunya bahwa citra mereka di banyak negara di dunia telah hancur lebur. Sangat sulit untuk percaya kepada mereka selama masih memakai standar moral ganda dan selalu ikut campur dalam urusan negara lain secara sangat buruk.
Ketika US dan sekutunya tak punya landasan logis dan moral sama sekali untuk menyerang negara-negara lain, selain motif ekonomi dengan mengorbankan jutaan nyawa manusia, maka Rusia jelas memiliki alasan kuat dan masuk akal dalam melakukan serangan ke Ukraina karena itu menyangkut keberlangsungannya sebagai bangsa.
Sebagai negara Non-Blok, Indonesia tentu tidak dalam posisi memusuhi atau masuk ke blok US dan sekutunya, demikian pula tidak boleh condong ke blok Rusia, atau China. Indonesia jelas harus tetap pada posisi netral, di tengah, namun harus jernih dalam menilai situasi, kokoh dalam pendirian, dan aktif dalam ikut mencari solusi yang bisa diterima oleh semua pihak agar perang bisa diakhiri.
Sikap Indonesia yang tetap mengundang Rusia dalam KTT G20 di Bali pada November 2022 mendatang sudah sangat tepat. Sikap Australia dan US yang meminta agar Rusia dikucilkan, bahkan dikeluarkan dari G20, jelas sangat merugikan dan semakin melemahkan citra kedua negara itu di mata rakyat Indonesia dan dunia.
Jangan sampai ada kesan mereka mendikte atau menekan pemerintah Indonesia, apalagi memboikot pertemuan G20 di Bali jika permintaan mereka tak dipenuhi. Indonesia tak bisa ditekan dengan cara seperti itu. Indonesia memang tidak punya senjata nuklir seperti Rusia dan India, namun meremehkan rakyat Indonesia adalah salah besar.
Sponsored Link
Sponsored Link
Sponsored Link
Bagikan ke:
Facebook, Twitter, WhatsApp, Telegram, Email. Print!.