Percikan

Usaha Kuliner Harus Tutup Saat Bulan Puasa?

Ada himbauan dari seorang petinggi MUI Kabupaten Bekasi yang membuat kening berkerut kisut, yaitu agar para pemilik usaha kuliner menutup usahanya di siang hari selama bulan puasa.

Ia adalah Sekretaris Umum MUI Kabupaten Bekasi bernama KH Muhiddin Kamal yang perkataannya di Cikarang berikut ini dikutip oleh kantor berita Antara, "Saya mengimbau kepada pemilik usaha kuliner agar menghormati bulan suci Ramadan dengan menutup tempat usaha pada siang hari selama Ramadan."

Himbauan semacam ini bukan hanya terjadi kali ini saja, namun sudah berulang disuarakan oleh sejumlah pihak menjelang bulan puasa di tahun-tahun silam. Bahkan di jaman ormas radikal masih berjaya, kerap terjadi razia warung, meski jendelanya sudah ditutup gorden agar tak mencolok dari luar.

Sudah terlalu banyak orang yang membahas bahwa mengapa menghimbau, atau lebih ekstrim mewajibkan, para pengusaha kuliner untuk menutup lapak usahanya di siang hari selama bulan Ramadan adalah tidak bijak, serta justru merendahkan dan membuat malu orang Islam sendiri.

Tidak bijak oleh sebab itu menutup rejeki orang yang justru sedang butuh lebih banyak penghasilan menjelang mudik lebaran untuk bayar THR dsb. Ada banyak orang yang tetap butuh tempat kuliner karena tak berpuasa atau sedang berhalangan, dan mengapa kita orang Islam yang berpuasa tetapi orang lain yang harus berkorban untuk kita? Konyol bukan?

Himbauan itu juga merupakan indikasi ketidakpercayaan diri pada kekuatan iman si penghimbau atau kepada umat di daerahnya yang akan lumer jika mereka melihat warung, restoran, atau cafe buka di siang hari. Ini tentu saja merendahkan keimanan orang Islam sendiri yang seolah begitu rapuhnya.

Padahal ketika orang sedang berpuasa, meski ia duduk berhadapan dan berbincang dengan orang yang sedang makan makanan lezat sekalipun ia akan sama sekali tak tergoda. Terbit liur pun tidak. Itulah kekuatan niat dan iman yang akan membuat orang hormat, bukan dengan cara menghimbau atau mengemis untuk dihormati.

Godaan makanan sangatlah kecil artinya oleh sebab mereka yang berpuasa kebanyakan tahu pasti bahwa selepas maghrib maka perut mereka akan kenyang kembali, sangat kenyang malah. Kalau pun sedang cekak uang, cukup pergi ke masjid terdekat yang menyediakan santapan buka puasa.

Bagaimana dengan si melarat yang melihat warung buka setiap hari namun tak ada uang di kantong untuk membeli nasi dan lauk, dan setelah maghrib pun tak ada kepastian apa yang mereka bisa makan? Apakah mereka juga harus menghimbau agar warung ditutup saja setiap hari untuk menghormati kelaparan perutnya?

Coba sejenak pikirkan warga non-muslim yang sedikitnya 5x sehari mendengar suara adzan dari berbagai masjid di mana pun mereka sedang berada. Apakah mereka protes karena suara itu mengganggu keimanan mereka? Kalau pun ada yang protes, lebih kepada kebisingan TOA, bukan karena takut keimanan mereka terganggu. Tambah kuat iman iya.

Itulah sebabnya mengapa keimanan penganut agama minoritas umumnya jauh lebih kuat dibandingkan yang dari mayoritas. Mereka tak manja. Ujian yang datang setiap hari tidak melemahkan keimanan, namun sebaliknya. Di negara di mana orang Islam minoritas pun umumnya demikian juga.

Esensi atau hakikat puasa dilupakan ketika orang sibuk dengan hal tak penting yang justru merugikan orang yang berpuasa, seperti himbauan menutup usaha kuliner saat bulan puasa ini. Alih-alih berani menghadapi godaan dan menguji kekuatan iman untuk memperkuatnya, malah mereka memilih bersembunyi atau berupaya menghilangkan godaannya.

Alih-alih berpuasa menjadi lebih rela berkorban untuk kepentingan orang lain, eh malah meminta orang berkorban untuk kepentingan mereka sendiri.

Menghormati bulan puasa bukanlah dengan cara menutup rejeki orang, namun dengan memperkuat keimanan diri dan umat, meningkatkan kepekaan sosial kepada si miskin, memperkuat ibadah riil dengan berbuat lebih banyak kebaikan kepada orang lain, dan berani menghadapi segala godaan.

Jangan kedatangan bulan Ramadan membuat orang malah menjadi susah yang justru membuat bulan suci ini menjadi kehilangan makna dan berkahnya.



Bagikan ke:
Facebook, Twitter, WhatsApp, Telegram, Email. Print!.

, seorang pejalan musiman dan penyuka sejarah. Penduduk Jakarta yang sedang tinggal di Cikarang Utara. Traktir BA secangkir kopi. Secangkir saja ya! Maret 28, 2022.