Candi Sewu Klaten saya kunjungi beberapa saat setelah meninggalkan Candi Prambanan, dengan menumpang angkutan wisata yang disediakan di dalam kompleks candi, karena jaraknya cukup jauh untuk berjalan kaki, sekitar 800 meter. Candi Sewu adalah sebuah candi dari abad ke-8, atau lebih tua dari itu, yang merupakan candi Buddha terbesar setelah Candi Borobudur.
Candi yang ada di kompleks Candi Sewu ini sesungguhnya hanya ada 257 buah. Namun namanya menjadi Candi Sewu karena dihubungkan dengan legenda Bandung Bondowoso dan Loro Jonggrang. Kata sewu memang sering menggantikan ungkapan 'sangat banyak'. Uniknya, Candi Prambanan yang sering disebut Candi Loro Jonggrang adalah candi Hindu, sedangkan Candi Sewu adalah candi Buddha.
Jelas kedua nama itu bukan nama asli. Namun jika dilihat sepintas, ada kemiripan pada bentuk kedua candi itu. Candi Sewu masuk ke dalam wilayah Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Tepatnya di Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan. Candi Prambanan pun sebenarnya masuk ke dalam dua wilayah, yaitu Kabupaten Sleman dan Kabupaten Klaten, namun sering dimasukkan ke dalam wilayah Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengunjung candi sepertinya memang kebanyakan datang dari arah sana.
Candi Sewu Klaten dilihat dari lintasan kendaraan wisata yang melayani penumpang dari area di Candi Prambanan ke area dimana Candi Sewu berada. Ketika foto diambil, tiang-tiang besi penyangga candi tampak masih mencuat di sana-sini, menandakan bahwa Candi Sewu masih dalam perbaikan setelah gempa dahsyat yang terjadi pada tahun 2006.
Umumnya candi di Jawa rusak karena dua sebab utama, gempa bumi murni yang dahsyat karena pergerakan tanah dan gempa bumi vulkanik terkait letusan gunung berapi. Namun candi juga bisa rusak oleh sebab ditelantarkan penguasa dan kemudian dikanibal batunya oleh penduduk sekitar, dan bisa pula rusak karena perang.
Pada tahun 1960, di kompleks Candi Sewu Klaten ini ditemukan sebuah prasasti bertahun 714 Caka atau 792 M, yang menyebutkan dilakukannya penyempurnaan bangunan suci bernama Manjus'rigra. Nama bangunan dalam prasasti itu diduga sebagai nama asli Candi Sewu. Manjusri adalah salah satu Boddhisatawa.
Dugaan itu boleh jadi benar adanya, oleh karena setidaknya kecil kemungkinannya penguasa waktu itu menggunakan nama Candi Sewu sebagai nama candi. Hanya ketika setelah candi rusak dan terlantar serta tak tersedia dokumen yang memadai tentang candi ini maka orang pun menyematkan nama Candi Sewu sebagai ungkapan banyaknya candi yang ada di sana.
Gadis-gadis remaja tampak tengah bermain di area taman yang luas dan hijau dengan latar Candi Sewu di belakang sana. Sampah daun gugur di latar depan, nampak kontras dengan rumput di latar belakang yang rapi dan bersih. Pepohonan yang banyak dan rimbun memang memerlukan perawatan dan pembersihan yang tak mengenal waktu.
Bagian badan dan atas candi di kompleks Candi Sewu yang terbuat dari batu andesit ini terlihat berbeda dengan yang ada di kompleks Candi Prambanan, berhiaskan pilaster, arca dewa dan relief tumbuhan, bersudut 20, berdiameter 29 meter, dengan tinggi 30 meter.
Pilaster adalah merupakan elemen arsitektur yang ditemukan dalam arsitektur klasik yang dibuat untuk memberikan tampilan pilar pendukung dan guna lebih memberikan kesan yang kuat batas dinding. Pilaster umumnya hanya berfungsi sebagai ornamen atau hiasan.
Candi Sewu mengalami kerusakan berat akibat gempa yang terjadi pada tahun 2006, dan keadaannya cukup menyedihkan pada awal tahun 2009 ketika saya berkunjung ke sana. Semoga letusan Merapi beberapa waktu lalu tidak semakin memperparah keadaannya. Kondisi saat ini mestinya sudah jauh lebih baik dan rapih ketimbang ketika saya berkunjung waktu itu.
Seorang pengunjung tengah melewati sebuah arca Buddha tanpa kepala di sebuah reruntuhan candi di kompleks Candi Sewu. Tampaknya masih diperlukan pekerjaan besar untuk melakukan restorasi besar-besaran pada candi-candi yang rusak di kompleks Candi Sewu ini.
Sepasang Arca Dwarapala berukuran setinggi 2,3 meter duduk dengan lutut tertekuk di atas pilar batu setinggi 1 meter di jalan masuk. Di latar belakang, di tengah belakang, adalah Candi Induk yang berukuran paling besar, dengan 8 Candi Apit, dan 240 Candi Perwara. Di dalam Candi Induk di kompleks Candi Sewu ini terdapat satu bilik utama dan empat buah bilik penampil.
Arca Dwarapala yang menggenggam gada dan mulutnya menyungging senyum ini dikerjakan dengan sangat halus oleh pematungnya. Keterampilan semacam itu meski bisa dipelajari namun memerlukan bakat kesabaran, ketelitian dan pengabdian untuk mengerjakannya.
Dwarapala adalah patung penjaga gerbang atau pintu masuk ke sebuah tempat suci di dalam ajaran Siwa dan Buddha untuk melindungi tempat suci yang berada di dalamnya dari pengaruh jahat. Dwarapala yang berbentuk raksasa biasanya diletakkan di bagian kiri dan kanan pilar pintu masuk, dengan memegang gada pasa posisi bayangan cermin.
Candi yang ada di kompleks Candi Sewu ini sesungguhnya hanya ada 257 buah. Namun namanya menjadi Candi Sewu karena dihubungkan dengan legenda Bandung Bondowoso dan Loro Jonggrang. Kata sewu memang sering menggantikan ungkapan 'sangat banyak'. Uniknya, Candi Prambanan yang sering disebut Candi Loro Jonggrang adalah candi Hindu, sedangkan Candi Sewu adalah candi Buddha.
Jelas kedua nama itu bukan nama asli. Namun jika dilihat sepintas, ada kemiripan pada bentuk kedua candi itu. Candi Sewu masuk ke dalam wilayah Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Tepatnya di Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan. Candi Prambanan pun sebenarnya masuk ke dalam dua wilayah, yaitu Kabupaten Sleman dan Kabupaten Klaten, namun sering dimasukkan ke dalam wilayah Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengunjung candi sepertinya memang kebanyakan datang dari arah sana.
Candi Sewu Klaten dilihat dari lintasan kendaraan wisata yang melayani penumpang dari area di Candi Prambanan ke area dimana Candi Sewu berada. Ketika foto diambil, tiang-tiang besi penyangga candi tampak masih mencuat di sana-sini, menandakan bahwa Candi Sewu masih dalam perbaikan setelah gempa dahsyat yang terjadi pada tahun 2006.
Umumnya candi di Jawa rusak karena dua sebab utama, gempa bumi murni yang dahsyat karena pergerakan tanah dan gempa bumi vulkanik terkait letusan gunung berapi. Namun candi juga bisa rusak oleh sebab ditelantarkan penguasa dan kemudian dikanibal batunya oleh penduduk sekitar, dan bisa pula rusak karena perang.
Pada tahun 1960, di kompleks Candi Sewu Klaten ini ditemukan sebuah prasasti bertahun 714 Caka atau 792 M, yang menyebutkan dilakukannya penyempurnaan bangunan suci bernama Manjus'rigra. Nama bangunan dalam prasasti itu diduga sebagai nama asli Candi Sewu. Manjusri adalah salah satu Boddhisatawa.
Dugaan itu boleh jadi benar adanya, oleh karena setidaknya kecil kemungkinannya penguasa waktu itu menggunakan nama Candi Sewu sebagai nama candi. Hanya ketika setelah candi rusak dan terlantar serta tak tersedia dokumen yang memadai tentang candi ini maka orang pun menyematkan nama Candi Sewu sebagai ungkapan banyaknya candi yang ada di sana.
Gadis-gadis remaja tampak tengah bermain di area taman yang luas dan hijau dengan latar Candi Sewu di belakang sana. Sampah daun gugur di latar depan, nampak kontras dengan rumput di latar belakang yang rapi dan bersih. Pepohonan yang banyak dan rimbun memang memerlukan perawatan dan pembersihan yang tak mengenal waktu.
Bagian badan dan atas candi di kompleks Candi Sewu yang terbuat dari batu andesit ini terlihat berbeda dengan yang ada di kompleks Candi Prambanan, berhiaskan pilaster, arca dewa dan relief tumbuhan, bersudut 20, berdiameter 29 meter, dengan tinggi 30 meter.
Pilaster adalah merupakan elemen arsitektur yang ditemukan dalam arsitektur klasik yang dibuat untuk memberikan tampilan pilar pendukung dan guna lebih memberikan kesan yang kuat batas dinding. Pilaster umumnya hanya berfungsi sebagai ornamen atau hiasan.
Candi Sewu mengalami kerusakan berat akibat gempa yang terjadi pada tahun 2006, dan keadaannya cukup menyedihkan pada awal tahun 2009 ketika saya berkunjung ke sana. Semoga letusan Merapi beberapa waktu lalu tidak semakin memperparah keadaannya. Kondisi saat ini mestinya sudah jauh lebih baik dan rapih ketimbang ketika saya berkunjung waktu itu.
Seorang pengunjung tengah melewati sebuah arca Buddha tanpa kepala di sebuah reruntuhan candi di kompleks Candi Sewu. Tampaknya masih diperlukan pekerjaan besar untuk melakukan restorasi besar-besaran pada candi-candi yang rusak di kompleks Candi Sewu ini.
Sepasang Arca Dwarapala berukuran setinggi 2,3 meter duduk dengan lutut tertekuk di atas pilar batu setinggi 1 meter di jalan masuk. Di latar belakang, di tengah belakang, adalah Candi Induk yang berukuran paling besar, dengan 8 Candi Apit, dan 240 Candi Perwara. Di dalam Candi Induk di kompleks Candi Sewu ini terdapat satu bilik utama dan empat buah bilik penampil.
Arca Dwarapala yang menggenggam gada dan mulutnya menyungging senyum ini dikerjakan dengan sangat halus oleh pematungnya. Keterampilan semacam itu meski bisa dipelajari namun memerlukan bakat kesabaran, ketelitian dan pengabdian untuk mengerjakannya.
Dwarapala adalah patung penjaga gerbang atau pintu masuk ke sebuah tempat suci di dalam ajaran Siwa dan Buddha untuk melindungi tempat suci yang berada di dalamnya dari pengaruh jahat. Dwarapala yang berbentuk raksasa biasanya diletakkan di bagian kiri dan kanan pilar pintu masuk, dengan memegang gada pasa posisi bayangan cermin.
Candi Sewu Klaten
Alamat : Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Klaten, Jawa Tengah. Lokasi GPS : -7.7439398, 110.4926562, Waze. Peta Wisata Klaten, Tempat Wisata di Klaten, Hotel di KlatenSponsored Link
Sponsored Link
Sponsored Link
Bagikan ke:
Facebook, Twitter, WhatsApp, Telegram, Email. Print!.