Kunjungan ke Kampung Nelayan Bugis Tanjung Binga Belitung yang berada di Kecamatan Sijuk, tidak ada dalam rencana. Hanya saja ketika setelah meninggalkan Pantai Tanjung Kelayang menuju ke Pantai Bukit Berahu kami melewati perkampungan nelayan dengan lanskap yang menarik ini, saya pun meminta Bang Karna untuk meminggirkan mobil.
Kampung Nelayan Bugis di Tanjung Binga ini menjadi sangat menarik perhatian lantaran terdapat bentang area luas menjorok di atas permukaan air laut sejauh beberapa puluh meter. Area itu tersusun dari jejeran potongan batang-batang pohon kecil yang panjang. Entah batang kayu pohon apa yang digunakan untuk menyusun 'dermaga-dermaga' nelayan di Kampung Nelayan Bugis Tanjung Binga ini. Kerapatannya yang tidak merata, kadang ada lubang menganga cukup lebar bagi kaki untuk terperosok, membuat saya harus melangkah dengan hati-hati agar tidak mendapat masalah.
Di atas bentang batang kayu yang unik ini terdapat beberapa buah gubug besar terbuka yang atapnya ditutup dengan kain terpal atau seng, yang digunakan sebagai tempat nelayan mengepak ikan asin kering setelah selesai dijemur untuk dijual ke pasar atau ke pengepul. Suasana di Kampung Nelayan Bugis Tanjung Binga ini memang sangat khas dan pemandangannya pun mengesankan, sehingga menjadi tempat yang layak untuk dikunjungi selagi Anda berada di Belitung untuk melihat kegiatan keseharian mereka.
Seorang bocah tengah melintas di atas deretan batang kayu di atas laut yang terhampar luas di Kampung Nelayan Bugis Tanjung Binga. Orang-orang di Kampung Nelayan Bugis Tanjung Binga itu, yang kabarnya 90% penduduknya memang orang Bugis, cukup ramah ketika saya datangi. Tampaknya mereka telah terbiasa menerima kunjungan pejalan.
Selain menjadi perlintasan jalan menuju gubug dan kapal nelayan, area yang luas ini juga digunakan untuk menjemur ikan yang diasinkan, menghampar jala jika sedang tidak digunakan dan memperbaikinya jika mengalami kerusakan. Namun saya tidak melihat ikan yang tengah dijemur di sana, mungkin hasil tangkapan yang baru belum lagi datang.
Suku Bugis yang bermukim di Tanjung Binga ini sebagian besar berasal dari Kecamatan Salomekko, di wilayah Bone bagian Selatan. Sebagian besar pekerjaan mereka adalah penangkap ikan yang hasilnya setelah dipak dijual ke Tanjung Pandan, atau dibawa ke Jakarta. Meskipun suasananya tenang, Kampung Nelayan Bugis Tanjung Binga ini tampak hidup.
Di ujung bentang batang kayu adalah tempat kapal-kapal merapat untuk menurunkan perbekalan ketika akan melaut dan menaikkan hasil tangkapan ikan ketika mereka pulang. Jajaran tiang-tiang kayu yang menancap ke dasar laut sebagai penyangga dermaga Kampung Nelayan Bugis Tanjung Binga itu menjadi pemandangan tersendiri yang cukup menarik perhatian.
Pejalan juga bisa menyewa kapal di Kampung Nelayan Bugis Tanjung Binga ini untuk pergi melancong ke pulau-pulau. Ke Pulau Burung, misalnya, hanya membutuhkan waktu 5-10 menit dari dermaga Tanjung Binga ini. Tidak sedikit jumlah kapal yang tengah beristirahat di perairan Kampung Nelayan Bugis Tanjung Binga ini, mungkin karena setiap penduduk memiliki kapal mereka sendiri.
Saat tengah berdiri di pinggiran bentang kayu, saya melihat seorang anak muda tengah mengguncang-guncang perahu menggunakan hentakan kakinya untuk mengeluarkan air yang masuk ke dalam kapal. Selagi anak muda sebelumnya mengosongkan air dari dalam perahu, seorang lagi menyiapkan jeriken dan tong untuk dibawa entah menuju ke mana. Mungkin ke salah satu pulau yang letaknya berdekatan.
Sementara itu di sisi sebelah kanan Kampung Nelayan Bugis Tanjung Binga terlihat seorang anak muda berbaju hijau sudah siap untuk mengangkut jeriken ke dalam perahu yang airnya baru saja dikosongkan oleh pemuda lainnya. Menengok ke sebelah kiri ada dua buah perahu cadik di perairan Kampung Nelayan Bugis Tanjung Binga yang tampak seperti burung Albatros gagah tengah mengembangkan sayapnya. Cadik bugis (watik) digunakan untuk memberi keseimbangan pada kapal ketika menghadapi angin dan gelombang laut yang kurang ramah saat melaut.
Tradisi perahu cadik juga pernah dikenal dan berjaya di Jawa, seperti terlihat pada sebuah relief di Candi Borobudur yang kemudian dikenal sebagai Perahu Cadik Borobudur, dan replikanya bisa ditemui di Museum Bahari, Jakarta. Sayang tradisi maritim di Jawa hancur setelah era Sultan Agung, dan sejak itu Jawa tidak lagi memiliki galangan kapal yang besar dan armada laut yang tangguh.
Ketika melangkahkan kaki meninggalkan bibir laut menuju ke kendaraan, terlihat kesibukan tengah berlangsung di sebuah tenda pengepakan ikan, sementara dua orang ibu tengah bercengkerama beserta anak-anaknyanya. Kaki pun kemudian melangkah mendekat, dan setelah lebih dulu menyapa seorang ibu dan pria yang tengah bekerja, saya pun melangkah masuk ke dalam tenda.
Satu boks penuh ikan asin terlihat sudah siap ditutup dan dilakban. Boks-boks lainnya tampak telah tertutup rapat, tinggal dikirim dari ke pembeli langganan mereka. Perairan Belitung rupanya masih memberi berkah yang cukup kepada para nelayan Bugis di Tanjung Binga ini, membuat kebutuhan hidup mereka bisa tercukupi dengan baik.
Kampung Nelayan Bugis di Tanjung Binga ini menjadi sangat menarik perhatian lantaran terdapat bentang area luas menjorok di atas permukaan air laut sejauh beberapa puluh meter. Area itu tersusun dari jejeran potongan batang-batang pohon kecil yang panjang. Entah batang kayu pohon apa yang digunakan untuk menyusun 'dermaga-dermaga' nelayan di Kampung Nelayan Bugis Tanjung Binga ini. Kerapatannya yang tidak merata, kadang ada lubang menganga cukup lebar bagi kaki untuk terperosok, membuat saya harus melangkah dengan hati-hati agar tidak mendapat masalah.
Di atas bentang batang kayu yang unik ini terdapat beberapa buah gubug besar terbuka yang atapnya ditutup dengan kain terpal atau seng, yang digunakan sebagai tempat nelayan mengepak ikan asin kering setelah selesai dijemur untuk dijual ke pasar atau ke pengepul. Suasana di Kampung Nelayan Bugis Tanjung Binga ini memang sangat khas dan pemandangannya pun mengesankan, sehingga menjadi tempat yang layak untuk dikunjungi selagi Anda berada di Belitung untuk melihat kegiatan keseharian mereka.
Seorang bocah tengah melintas di atas deretan batang kayu di atas laut yang terhampar luas di Kampung Nelayan Bugis Tanjung Binga. Orang-orang di Kampung Nelayan Bugis Tanjung Binga itu, yang kabarnya 90% penduduknya memang orang Bugis, cukup ramah ketika saya datangi. Tampaknya mereka telah terbiasa menerima kunjungan pejalan.
Selain menjadi perlintasan jalan menuju gubug dan kapal nelayan, area yang luas ini juga digunakan untuk menjemur ikan yang diasinkan, menghampar jala jika sedang tidak digunakan dan memperbaikinya jika mengalami kerusakan. Namun saya tidak melihat ikan yang tengah dijemur di sana, mungkin hasil tangkapan yang baru belum lagi datang.
Suku Bugis yang bermukim di Tanjung Binga ini sebagian besar berasal dari Kecamatan Salomekko, di wilayah Bone bagian Selatan. Sebagian besar pekerjaan mereka adalah penangkap ikan yang hasilnya setelah dipak dijual ke Tanjung Pandan, atau dibawa ke Jakarta. Meskipun suasananya tenang, Kampung Nelayan Bugis Tanjung Binga ini tampak hidup.
Di ujung bentang batang kayu adalah tempat kapal-kapal merapat untuk menurunkan perbekalan ketika akan melaut dan menaikkan hasil tangkapan ikan ketika mereka pulang. Jajaran tiang-tiang kayu yang menancap ke dasar laut sebagai penyangga dermaga Kampung Nelayan Bugis Tanjung Binga itu menjadi pemandangan tersendiri yang cukup menarik perhatian.
Pejalan juga bisa menyewa kapal di Kampung Nelayan Bugis Tanjung Binga ini untuk pergi melancong ke pulau-pulau. Ke Pulau Burung, misalnya, hanya membutuhkan waktu 5-10 menit dari dermaga Tanjung Binga ini. Tidak sedikit jumlah kapal yang tengah beristirahat di perairan Kampung Nelayan Bugis Tanjung Binga ini, mungkin karena setiap penduduk memiliki kapal mereka sendiri.
Saat tengah berdiri di pinggiran bentang kayu, saya melihat seorang anak muda tengah mengguncang-guncang perahu menggunakan hentakan kakinya untuk mengeluarkan air yang masuk ke dalam kapal. Selagi anak muda sebelumnya mengosongkan air dari dalam perahu, seorang lagi menyiapkan jeriken dan tong untuk dibawa entah menuju ke mana. Mungkin ke salah satu pulau yang letaknya berdekatan.
Sementara itu di sisi sebelah kanan Kampung Nelayan Bugis Tanjung Binga terlihat seorang anak muda berbaju hijau sudah siap untuk mengangkut jeriken ke dalam perahu yang airnya baru saja dikosongkan oleh pemuda lainnya. Menengok ke sebelah kiri ada dua buah perahu cadik di perairan Kampung Nelayan Bugis Tanjung Binga yang tampak seperti burung Albatros gagah tengah mengembangkan sayapnya. Cadik bugis (watik) digunakan untuk memberi keseimbangan pada kapal ketika menghadapi angin dan gelombang laut yang kurang ramah saat melaut.
Tradisi perahu cadik juga pernah dikenal dan berjaya di Jawa, seperti terlihat pada sebuah relief di Candi Borobudur yang kemudian dikenal sebagai Perahu Cadik Borobudur, dan replikanya bisa ditemui di Museum Bahari, Jakarta. Sayang tradisi maritim di Jawa hancur setelah era Sultan Agung, dan sejak itu Jawa tidak lagi memiliki galangan kapal yang besar dan armada laut yang tangguh.
Ketika melangkahkan kaki meninggalkan bibir laut menuju ke kendaraan, terlihat kesibukan tengah berlangsung di sebuah tenda pengepakan ikan, sementara dua orang ibu tengah bercengkerama beserta anak-anaknyanya. Kaki pun kemudian melangkah mendekat, dan setelah lebih dulu menyapa seorang ibu dan pria yang tengah bekerja, saya pun melangkah masuk ke dalam tenda.
Satu boks penuh ikan asin terlihat sudah siap ditutup dan dilakban. Boks-boks lainnya tampak telah tertutup rapat, tinggal dikirim dari ke pembeli langganan mereka. Perairan Belitung rupanya masih memberi berkah yang cukup kepada para nelayan Bugis di Tanjung Binga ini, membuat kebutuhan hidup mereka bisa tercukupi dengan baik.
Kampung Nelayan Bugis Tanjung Binga
Alamat : Desa Tanjung Binga, Kecamatan Sijuk, Belitung. Lokasi GPS : -2.59777, 107.62872, Waze. Hotel di Belitung, Tempat Wisata di Belitung, Peta Wisata Belitung.Sponsored Link
Sponsored Link
Sponsored Link
Bagikan ke:
Facebook, Twitter, WhatsApp, Telegram, Email. Print!.