Makam WR Supratman Surabaya di Jl Kenjeran saya kunjungi dengan menumpang sebuah taksi setelah sebelumnya berkunjung ke Makam Peneleh. Kami melewati jalan belakang makam agar tidak perlu memutar terlalu jauh, namun pintu belakang dan samping Makam WR Supratman digembok ketika saya sampai di makam.
Rumah kuncen yang berada di dekat makam saya temukan tidak lama setelah bertanya ke penduduk setempat, dan beruntung saat itu ia ada di rumah. Beberapa saat kemudian saya sudah berada di dalam kompleks Makam WR Supratman yang cukup luas dan terawat. Di sebelah kanan ada cungkup berbentuk joglo tempat jasad WR Supratman disemayamkan, sedangkan di pelataran sebelah kiri patung terdapat prasasti lain yang berisikan riwayat komponis pencipta Lagu Kebangsaan Republik Indonesia ini.
Sebuah tengara yang dipahat di bawah patung WR Supratman yang menyebutkan peresmian pemugaran Makam WR Supratman yang dilakukan Presiden Megawati pada 18 Mei 2003. Pemindahan jasad WR Supratman dari pemakaman umum di Kapasan ke lokasi sekarang ini terjadi pada tahun 1954.
Pemandangan kompleks Makam WR Supratman sesaat setelah saya masuk dari pintu samping kanan makam, dengan patung WR Supratman tengah bermain biola tampak dikejauhan, membelakangi prasasti yang berisi tiga bait lagu Indonesia Raya ciptaannya. Pada prasasti yang berisi riwayat hidupnya disebutkan bahwa Wage Rudolf Supratman lahir Senin Wage 9 Maret 1903 di Jatinegara Jakarta, beragama Islam dan tidak berpartai. Lalu pada 1914 WR Supratman mulai diasuh kakak iparnya WM van Eldik (Sastromihardjo) di Makassar, dimana ia belajar memetik gitar dan menggesek biola.
Tahun 1919 WR Supratman masuk sekolah guru di Makassar dan diangkat menjadi guru, kemudian mendirikan jazz band "Black and White" di Makassar dibawah binaan WM van Eldik hingga 1924. Selanjutnya pada 1924 WR Supratman ke Surabaya, kemudian ke Bandung dan menjadi wartawan surat kabar Kaoem Moeda. Sebagai wartawan surat kabar Sinpo, di tahun 1926 WR Supratman rajin mengunjungi rapat-rapat pergerakan nasional di gedung pertemuan Gang Kenari Jakarta (sekarang Museum MH Thamrin) dan mulai menciptakan lagu Indonesia Raya yang selesai dikerjakannya pada 1928. Semula refrein lagu Indonesia Raya ditulisnya "Indones, Indones, Merdeka, Merdeka" dan sejak itu ia dikejar-kejar oleh polisi Hindia Belanda.
Kongres Pemuda Indonesia ke-II di Jakarta pada 27-28 Oktober 1928 (lihat tulisan Museum Sumpah Pemuda) menghasilkan kebulatan tekad Sumpah Pemuda, yaitu Satu Tanah Air Indonesia, Satu Bangsa Indonesia, Satu Bahasa Indonesia, serta diputuskan mengakui lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Dalam Kongres itu dinyanyikan lagu Indonesia Raya dengan iringan gesekan biola WR Supratman, namun tetap dilarang untuk dinyanyikan dengan menggunakan kalimat pertama Refrein lagu yang semula, sampai tentara Jepang mengizinkan tahun 1944 boleh dinyanyikan lagi dengan menggunakan kata-kata "Merdeka, Merdeka".
Patung WR Supratman seukuran utuh di kompleks Makam WR Supratman terlihat agung, dan lingkungan sekelilingnya juga terlihat asri dengan pohon-pohon kamboja rimbun yang berbunga merah dan putih. Makam WR Supratman memang menjadi lebih lengkap dan bermakna dengan adanya patung serta prasasti riwayat hidupnya. Adapun prasasti di belakang patung berisi tiga syair lagu Indonesia Raya versi aselinya, yang ditulis menggunakan ejaan lama.
Pada kolom pertama tertulis : Indonesia tanah airkoe, Tanah Toempah darahkoe. Disanalah akoe berdiri, Mendjaga pandoe iboekoe. Indonesia kabangsaankoe, Kebangsaan tanah airkoe. Marilah kita berseroe: "Indonesia bersatoe". Hiduplah tanahkoe, Hiduplah negrikoe. Bangsakoe, djiwakoe, semoea. Bangoenlah rajatnja, Bangunlah badannja, Oentoek Indonesia Raja. Refrein: Indones', Indones', Moelia, Moelia. Tanahkoe, negrikoe jang koetjinta. Indones, Indones, Moelia, Moelia. Hidoeplah Indonesia Raja."
Pada kolom kedua tertulis : "Indonesia tanah jang moelia, Tanah kita jang kaja. Disanalah akoe hidoep, Oentoek s'lama-lamanja. Indonesia tanah poesaka, Poesaka kita semoeanja. Marilah kita berseroe : "Indonesia bersatoe". Soeboerlah tanahnja, Soeboerlah djiwanja. Bangsanja, rajatnja, semoea. Sedarlah hatinja, Sedarlah boedinja. Oentoek Indonesia Raja. Refrein: Indones', Indones', Moelia, Moelia. Tanahkoe, negrikoe jang kutjinta. Indones, Indones, Moelia, Moelia. Hidoeplah Indonesia Raja"
Sedangkan pada kolom terakhir tertulis : "Indonesia tanah jang soetji, Bagi kita disini. Disanalah kita berdiri, Mendjaga iboe sedjati. Indonesia tanah berseri, Tanah jang terkoetjintai. Marilah bernjanji: "Indonesia bersatoe". S'lamatlah rajatnya, S'lamatlah poetranja. Poelaoenja, laoetnja, semoea. Madjoelah negerinja, Madjoelah Pandoenja. Oentoek Indonesia Raja. Refrein: Indones', Indones', Moelia, Moelia. Tanahkoe, negrikoe, jang koetjinta. Indones', Indones', Moelia, Moelia. Hidoeplah Indonesia Raja"
Makam WR Supratman di dalam cungkup terlihat unik, dengan bentuk siluet biola pada bagian tengahnya, batu nisan tunggal dengan ornamen matahari, penggalan not balok serta potongan syair Lagu Indonesia Raya di bawahnya. Langit-langit cungkup makamnya terbuat dari kayu dan diukir indah dengan sebuah lampu gantung di tengahnya.
Dari tahun 1930-1937 WR Supratman berpindah-pindah tempat hingga di tahun 1937 ia dibawa oleh saudaranya ke Surabaya dalam keadaan sakit. Tanggal 7 Agustus 1938 (Minggu Wage) ketika sedang memimpin pandu-pandu KBI menyiarkan lagu "Matahari Terbit" di NIROM (Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij) Jl Embong Malang Surabaya, ia ditangkap dan ditahan di penjara Kalisosok.
Tanggal 17 Agustus 1938 (Rabu Wage) WR Supratman meninggal dunia di Jl Mangga 21 Surabaya tanpa isteri dan anak karena memang belum menikah dan dimakamkan di kuburan umum Kapas Jl Kenjeran Surabaya secara agama Islam. Pesan terakhirnya yang ditulis dalam ejaan lama, yaitu "Nasibkoe soedah begini inilah jang disoekai oleh pemerintah Hindia Belanda. Biarlah saja meninggal, saja ichlas. Saja toch soedah beramal, berdjoang dengan carakoe, dengan biolakoe. Saja jakin Indonesia pasti Merdeka."
Lagu-lagu ciptaan WR Supratman, yaitu Lagu Kebangsaan Indonesia Raya (1928), Indonesia Iboekoe (1928), Bendera Kita Merah Poetih (1928), Bangoenlah Hai Kawan (1929), Raden Adjeng Kartini (1929), Mars KBI (Kepandoean Bangsa Indonesia, 1930). Di Timoer Matahari (1931), Mars PARINDRA (1937), Mars Soerja Wirawan (1937), Matahari Terbit (Agustus 1938), dan Selamat Tinggal (belum selesai, 1938)
Sedangkan buku sastera ciptaannya, yaitu Perawan Desa (1929), Darah Moeda, dan Kaoem Panatik. Pada 1930 Buku Perawan Desa disita oleh Polisi Hindia Belanda dan dilarang beredar. Peraturan Pemerintah No. 44 / 1958 bertanggal 26 Juni 1958 menetapkan Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan Republik Indonesia, dan pada 10 November WR Supratman mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional, serta pada 19 Juni 1974 mendapat penghargaan Bintang Mahaputera Utama.
Ini adalah riwayat hidup terlengkap dari semua makam yang pernah saya kunjungi, dan ditatah pula pada sebuah dinding batu, sehingga selain sangat membantu bagi pejalan juga bisa bertahan lama. Selain yang tertulis di makamnya, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa WR Soepratman dilahirkan pada 19 Maret 1903 di Dukuh Trembelang, Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Purworejo, Jawa Tengah, yang diperkuat keputusan Pengadilan Negeri Purworejo pada 29 Maret 2007. Hanya saja tanggal 9 Maret telah diresmikan oleh Megawati Soekarnoputri saat menjabat Presiden RI sebagai Hari Musik Nasional.
Dalam buku yang ditulis Anthony C Hutabarat berjudul "Wage Rudolf Soepratman" disebutkan bahwa ketika ia ke Bandung untuk melihat sidang pengadilan Soekarno pada 1930 di Pengadilan Distrik Bandung, sekarang Gedung Indonesia Menggugat, Bung Karno yang baru saja menginjakkan kaki di depan pintu pengadilan melihatnya dan spontan mengucapkan kata-kata: “Daar hebt je de komponis van Indonesia Raya? Strijd voort voor Onze Vrijheid Meneer Soepratman. Merdeka!”, yang artinya "Bukankah anda pencipta lagu Indonesia Raya? Berjuang teruslah demi kemerdekaan kita Tuan Soepratman. Merdeka!", dan pandangan seluruh pengunjung yang hadir dalam ruang pengadilan itu pun tertuju kepadanya, yang dibalasnya dengan senyum dan anggukan kepala.
Adalah ketika lagu Indonesia Raya direkam di piringan hitam oleh Lokananta Solo pada 1929, dan diperdengarkan di mana-mana, WR Soepratman dipanggil oleh Procureur General (Jaksa Agung), dan kata-kata “Merdeka, Merdeka” dalam lagu itu pun secara resmi dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda. Perjuangan memang tidak selalu harus menggunakan senjata pemusnah untuk menghancurkan lawan, dan biola bagi WR Soepratman adalah alat perjuangan yang dengannya ia bisa menyumbangkan sebuah mahakarya bagi bangsa dan negara. Sebuah lagu yang mampu membuat hati bergetar dan air mata pun merebak saat menyanyikan "bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya...".
Bagikan ke: Facebook, Twitter, WhatsApp, Telegram, Email. Print!
Rumah kuncen yang berada di dekat makam saya temukan tidak lama setelah bertanya ke penduduk setempat, dan beruntung saat itu ia ada di rumah. Beberapa saat kemudian saya sudah berada di dalam kompleks Makam WR Supratman yang cukup luas dan terawat. Di sebelah kanan ada cungkup berbentuk joglo tempat jasad WR Supratman disemayamkan, sedangkan di pelataran sebelah kiri patung terdapat prasasti lain yang berisikan riwayat komponis pencipta Lagu Kebangsaan Republik Indonesia ini.
Sebuah tengara yang dipahat di bawah patung WR Supratman yang menyebutkan peresmian pemugaran Makam WR Supratman yang dilakukan Presiden Megawati pada 18 Mei 2003. Pemindahan jasad WR Supratman dari pemakaman umum di Kapasan ke lokasi sekarang ini terjadi pada tahun 1954.
Pemandangan kompleks Makam WR Supratman sesaat setelah saya masuk dari pintu samping kanan makam, dengan patung WR Supratman tengah bermain biola tampak dikejauhan, membelakangi prasasti yang berisi tiga bait lagu Indonesia Raya ciptaannya. Pada prasasti yang berisi riwayat hidupnya disebutkan bahwa Wage Rudolf Supratman lahir Senin Wage 9 Maret 1903 di Jatinegara Jakarta, beragama Islam dan tidak berpartai. Lalu pada 1914 WR Supratman mulai diasuh kakak iparnya WM van Eldik (Sastromihardjo) di Makassar, dimana ia belajar memetik gitar dan menggesek biola.
Tahun 1919 WR Supratman masuk sekolah guru di Makassar dan diangkat menjadi guru, kemudian mendirikan jazz band "Black and White" di Makassar dibawah binaan WM van Eldik hingga 1924. Selanjutnya pada 1924 WR Supratman ke Surabaya, kemudian ke Bandung dan menjadi wartawan surat kabar Kaoem Moeda. Sebagai wartawan surat kabar Sinpo, di tahun 1926 WR Supratman rajin mengunjungi rapat-rapat pergerakan nasional di gedung pertemuan Gang Kenari Jakarta (sekarang Museum MH Thamrin) dan mulai menciptakan lagu Indonesia Raya yang selesai dikerjakannya pada 1928. Semula refrein lagu Indonesia Raya ditulisnya "Indones, Indones, Merdeka, Merdeka" dan sejak itu ia dikejar-kejar oleh polisi Hindia Belanda.
Kongres Pemuda Indonesia ke-II di Jakarta pada 27-28 Oktober 1928 (lihat tulisan Museum Sumpah Pemuda) menghasilkan kebulatan tekad Sumpah Pemuda, yaitu Satu Tanah Air Indonesia, Satu Bangsa Indonesia, Satu Bahasa Indonesia, serta diputuskan mengakui lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Dalam Kongres itu dinyanyikan lagu Indonesia Raya dengan iringan gesekan biola WR Supratman, namun tetap dilarang untuk dinyanyikan dengan menggunakan kalimat pertama Refrein lagu yang semula, sampai tentara Jepang mengizinkan tahun 1944 boleh dinyanyikan lagi dengan menggunakan kata-kata "Merdeka, Merdeka".
Patung WR Supratman seukuran utuh di kompleks Makam WR Supratman terlihat agung, dan lingkungan sekelilingnya juga terlihat asri dengan pohon-pohon kamboja rimbun yang berbunga merah dan putih. Makam WR Supratman memang menjadi lebih lengkap dan bermakna dengan adanya patung serta prasasti riwayat hidupnya. Adapun prasasti di belakang patung berisi tiga syair lagu Indonesia Raya versi aselinya, yang ditulis menggunakan ejaan lama.
Pada kolom pertama tertulis : Indonesia tanah airkoe, Tanah Toempah darahkoe. Disanalah akoe berdiri, Mendjaga pandoe iboekoe. Indonesia kabangsaankoe, Kebangsaan tanah airkoe. Marilah kita berseroe: "Indonesia bersatoe". Hiduplah tanahkoe, Hiduplah negrikoe. Bangsakoe, djiwakoe, semoea. Bangoenlah rajatnja, Bangunlah badannja, Oentoek Indonesia Raja. Refrein: Indones', Indones', Moelia, Moelia. Tanahkoe, negrikoe jang koetjinta. Indones, Indones, Moelia, Moelia. Hidoeplah Indonesia Raja."
Pada kolom kedua tertulis : "Indonesia tanah jang moelia, Tanah kita jang kaja. Disanalah akoe hidoep, Oentoek s'lama-lamanja. Indonesia tanah poesaka, Poesaka kita semoeanja. Marilah kita berseroe : "Indonesia bersatoe". Soeboerlah tanahnja, Soeboerlah djiwanja. Bangsanja, rajatnja, semoea. Sedarlah hatinja, Sedarlah boedinja. Oentoek Indonesia Raja. Refrein: Indones', Indones', Moelia, Moelia. Tanahkoe, negrikoe jang kutjinta. Indones, Indones, Moelia, Moelia. Hidoeplah Indonesia Raja"
Sedangkan pada kolom terakhir tertulis : "Indonesia tanah jang soetji, Bagi kita disini. Disanalah kita berdiri, Mendjaga iboe sedjati. Indonesia tanah berseri, Tanah jang terkoetjintai. Marilah bernjanji: "Indonesia bersatoe". S'lamatlah rajatnya, S'lamatlah poetranja. Poelaoenja, laoetnja, semoea. Madjoelah negerinja, Madjoelah Pandoenja. Oentoek Indonesia Raja. Refrein: Indones', Indones', Moelia, Moelia. Tanahkoe, negrikoe, jang koetjinta. Indones', Indones', Moelia, Moelia. Hidoeplah Indonesia Raja"
Makam WR Supratman di dalam cungkup terlihat unik, dengan bentuk siluet biola pada bagian tengahnya, batu nisan tunggal dengan ornamen matahari, penggalan not balok serta potongan syair Lagu Indonesia Raya di bawahnya. Langit-langit cungkup makamnya terbuat dari kayu dan diukir indah dengan sebuah lampu gantung di tengahnya.
Dari tahun 1930-1937 WR Supratman berpindah-pindah tempat hingga di tahun 1937 ia dibawa oleh saudaranya ke Surabaya dalam keadaan sakit. Tanggal 7 Agustus 1938 (Minggu Wage) ketika sedang memimpin pandu-pandu KBI menyiarkan lagu "Matahari Terbit" di NIROM (Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij) Jl Embong Malang Surabaya, ia ditangkap dan ditahan di penjara Kalisosok.
Tanggal 17 Agustus 1938 (Rabu Wage) WR Supratman meninggal dunia di Jl Mangga 21 Surabaya tanpa isteri dan anak karena memang belum menikah dan dimakamkan di kuburan umum Kapas Jl Kenjeran Surabaya secara agama Islam. Pesan terakhirnya yang ditulis dalam ejaan lama, yaitu "Nasibkoe soedah begini inilah jang disoekai oleh pemerintah Hindia Belanda. Biarlah saja meninggal, saja ichlas. Saja toch soedah beramal, berdjoang dengan carakoe, dengan biolakoe. Saja jakin Indonesia pasti Merdeka."
Lagu-lagu ciptaan WR Supratman, yaitu Lagu Kebangsaan Indonesia Raya (1928), Indonesia Iboekoe (1928), Bendera Kita Merah Poetih (1928), Bangoenlah Hai Kawan (1929), Raden Adjeng Kartini (1929), Mars KBI (Kepandoean Bangsa Indonesia, 1930). Di Timoer Matahari (1931), Mars PARINDRA (1937), Mars Soerja Wirawan (1937), Matahari Terbit (Agustus 1938), dan Selamat Tinggal (belum selesai, 1938)
Sedangkan buku sastera ciptaannya, yaitu Perawan Desa (1929), Darah Moeda, dan Kaoem Panatik. Pada 1930 Buku Perawan Desa disita oleh Polisi Hindia Belanda dan dilarang beredar. Peraturan Pemerintah No. 44 / 1958 bertanggal 26 Juni 1958 menetapkan Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan Republik Indonesia, dan pada 10 November WR Supratman mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional, serta pada 19 Juni 1974 mendapat penghargaan Bintang Mahaputera Utama.
Ini adalah riwayat hidup terlengkap dari semua makam yang pernah saya kunjungi, dan ditatah pula pada sebuah dinding batu, sehingga selain sangat membantu bagi pejalan juga bisa bertahan lama. Selain yang tertulis di makamnya, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa WR Soepratman dilahirkan pada 19 Maret 1903 di Dukuh Trembelang, Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Purworejo, Jawa Tengah, yang diperkuat keputusan Pengadilan Negeri Purworejo pada 29 Maret 2007. Hanya saja tanggal 9 Maret telah diresmikan oleh Megawati Soekarnoputri saat menjabat Presiden RI sebagai Hari Musik Nasional.
Dalam buku yang ditulis Anthony C Hutabarat berjudul "Wage Rudolf Soepratman" disebutkan bahwa ketika ia ke Bandung untuk melihat sidang pengadilan Soekarno pada 1930 di Pengadilan Distrik Bandung, sekarang Gedung Indonesia Menggugat, Bung Karno yang baru saja menginjakkan kaki di depan pintu pengadilan melihatnya dan spontan mengucapkan kata-kata: “Daar hebt je de komponis van Indonesia Raya? Strijd voort voor Onze Vrijheid Meneer Soepratman. Merdeka!”, yang artinya "Bukankah anda pencipta lagu Indonesia Raya? Berjuang teruslah demi kemerdekaan kita Tuan Soepratman. Merdeka!", dan pandangan seluruh pengunjung yang hadir dalam ruang pengadilan itu pun tertuju kepadanya, yang dibalasnya dengan senyum dan anggukan kepala.
Adalah ketika lagu Indonesia Raya direkam di piringan hitam oleh Lokananta Solo pada 1929, dan diperdengarkan di mana-mana, WR Soepratman dipanggil oleh Procureur General (Jaksa Agung), dan kata-kata “Merdeka, Merdeka” dalam lagu itu pun secara resmi dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda. Perjuangan memang tidak selalu harus menggunakan senjata pemusnah untuk menghancurkan lawan, dan biola bagi WR Soepratman adalah alat perjuangan yang dengannya ia bisa menyumbangkan sebuah mahakarya bagi bangsa dan negara. Sebuah lagu yang mampu membuat hati bergetar dan air mata pun merebak saat menyanyikan "bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya...".