Foto Theater Imax

Lukisan keramik berukuran sangat pada dinding kiri menggambarkan Raden Inu Kertapati dari Kerajaan Kahuripan bersama kedua orang pengawalnya yang setia.

A very large ceramic painting on the left wall depicts Raden Inu Kertapati from the Kahuripan Kingdom with his two loyal bodyguards.



Lukisan keramik pada dinding kanan menggambarkan sosok Candra Kirana, puteri Kerajaan Jenggala yang dalam cerita menjelma menjadi Keong Emas. Di sebelahnya adalah mbok Rondo Dadapan.

The ceramic painting on the right wall depicts the figure of Candra Kirana, the princess of the Jenggala Kingdom who in the story turns into Golden Snail. Next to him is mbok Rondo Dadapan.



Suasana ruang tunggu Theater Imax Keong Emas yang meskipun tidak berpendingin namun nyaman lantaran langit-langitnya yang tinggi serta sirkulasi udara yang baik. Sambil menunggu pengunjung bisa melihat panel informasi yang berada di sisi kanan ruangan.

The ambiance of the Imax Keong Emas Theater's waiting room, which, although not air-conditioned, is comfortable enough because of the high ceiling and very good air circulation. While waiting, visitors can see the information panel on the right side of the room.



Ruangan di dalam gedung Theater Imax Keong Emas masih tampak anggun dan dalam kondisi yang baik, meski sudah mulai menua. Karpetnya saja yang terlihat kotor dan sudah perlu dibersihkan. Ruangan Theater Imax Keong Emas ini mampu menampung 920 orang di kelas ekonomi, dan 36 orang untuk kelas VIP / Balkon. Sedangkan Areal Parkir Kendaraan mampu menampung 235 kendaraan sedan/minibus dan 24 kendaraan bus/mikrobus.

The condition of the Imax Keong Emas Theater's interior was still looked elegant and in good shape, even though it is getting old. The carpet looked rather dirty and needed cleaning. The Imax Keong Emas Theater hall can accommodate 920 people in economy class, and 36 people for VIP / balcony class. Meanwhile, the Parking Area can accommodate 235 sedan / minibus vehicles and 24 buses / microbus vehicles.



Pandangan ke arah loket tempat pembelian karcis masuk. Terlihat sedikit di sebelah kiri adalah ruang kaca silindris tiggi dengan anak tangga yang merupakan jalan menuju balkon bagi penonton VIP.

View towards ticket box. A little to the left ther's a high cylindrical glass room with steps which is the path to the balcony for VIPs.



Tengara prasasti peresmian Teater Imax Keong Emas Taman Mini Indonesia Indah yang dilakukan oleh Presiden RI Soeharto pada 20 April 1984. Sudah cukup tua memang, namun keberadaan teater ini masih sangat relevan hingga sekarang.

The incription of inauguration of the Imax Keong Emas Theater which was carried out by the President of the Republic of Indonesia Soeharto on April 20, 1984. It's quite old, but the existence of this theater was still very relevant.



Pandangan ruang tunggu dari sisi kiri dengan jarak agak jauh memperlihatkan lukisan keramik Raden Inu Kertapati dengan kedua pengawalnya pada dinding sebelah kiri. Di bawahnya ada ruang informasi dan tempat pemesanan tiket untuk rombongan.

A rather far view of the waiting room from the left side shows a ceramic painting of Raden Inu Kertapati with his two bodyguards on the left wall. Below that there's an information room and a place to order tickets for group visitors.



Pandangan dari sisi kanan agak jauh yang memperlihatkan kedua lukisan keramik pada dinding kiri dan kanan dihubungkan dengan pemandangan pegunungan di bagian atasnya. Kain merah putih menggantung pada dinding karena kunjungan saat itu memang dilakukan pada bulan Agustus.

A view from the right side at some distance away shows the two ceramic paintings on the left and right walls connected with scenery of the mountains at the top. The red and white cloth was hung on the wall because the visit was in August, celebration month of independence.



Menempel pada dinding di ketiga sisi terdapat lemari pajang kaca dimana di dalamnya disimpan berbagai jenis kerang dan keong dengan jumlah koleksi yang boleh dikatakan banyak.

Attached to the walls on all three sides were glass showcases in which were stored various types of shells and conchs with rather large number of collections.



Keluarga yang membawa anak kecil harus siap-siap mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli kenang-kenangan di Toko Cindera Mata berupa kaos, gantungan kunci, tas, dan banyak lagi lainnya, atau membeli mainan di toko mainan saat keluar dari ruang teater.

Families with young children must be prepared to spend extra money to buy souvenirs at the Souvenir Shop in the form of t-shirts, key chains, bags, and many others, or buy toys at the toy store when they leave the theater.



Sejumlah larangan di dalam ruang teater menempel pada dinding, seperti dilarang merokok, memotret / membuat film, membawa makanan & minuman, serta membuang sampah di lantai. Juga dilarang keras makan permen karet di dalam ruang teaetr. Di sebelah kanan ada tanda ke ruang informasi dan untuk pesan tempat.

Poster with a number of prohibitions at the theater space was hung at the wall, such as smoking, photographing / filming, carrying food & drinks, and throwing trash on the floor. It is also strictly forbidden to eat chewing gum in the theater room. On the right there's a sign to the information room and to book tickets.



Legenda Keong Emas bermula ketika Putri Galuh Candra Kirana dari Jenggala yang menjadi tunangan Raden Inu Kertapati dari Kahuripan terpaksa melarikan diri dari kerajaan lantaran tidak mau dipinang oleh Raja dari Kerajaan Antah Berantah, dan ia pun menyamar sebagai Dewi Sekartaji. Dalam pelarian itu Barata Narada mengubahnya menjadi Keong Emas, yang kemudian ditemukan oleh Mbok Rondo Dadapan dan dipelihara olehnya dalam sebuah tempayan air.

The legend of the Golden Snail began when Princess Galuh Candra Kirana of Jenggala, who was engaged to Raden Inu Kertapati from Kahuripan, was forced to flee from the kingdom because she didn't want to be married to the King of the Antah Berantah Kingdom, and she disguised herself as Dewi Sekartaji. During the escape, Barata Narada turned him into a golden snail, which was later found by Mbok Rondo Dadapan and kept by him in a water jar.



©2021 Ikuti