Ada sebuah tugu kecil di awal undakan punden di bawah pohon besar yang dikeramatkan. Bentuknya segi empat aga mengerucut, sehingga saya kira bukanlah sebuah lingga. Di latar belakang adalah semacam pendopo untuk beristrirahat para peziarah.
Sebuah tulisan dalam bahasa Inggris yang ditoreh di atas beton di bawah pohon sebelah kiri, namun sudah agak susah dibaca karena sebagian catnya sudah luntur. Judulnya adalah "Momentum". Baris pertama "The long march of mission impossible", lalu "flexible in realization ...." dst yang susah dibaca. Paling bawah ada empat nama, yaitu Darmo Asto, Joyo Moelyo, Manggala, dan Soeryo Jagad. Di sebelah kanan bawah menggeletak sebuah kendi, tempat pedupaan, dan tampah kembang.
Setiap tahun sehabis Maulud, Keraton Surakarta menyelenggarakan ritual yang disebut Mahesa Lawung di punden Situs Krendhowahono ini, dengan membawa sejumlah sesajen seperti kemenyan, nasi putih, ayam, pisang, kelapa muda, kepala kerbau, dan bunga tujuh rupa. Selesai merapal doa, kepala kerbau yang dibungkus kain putih kemudian ditanam di bawah pohon besar di dekat punden.
Gerumbul pohon di kanan kiri jalan yang kami lewati setelah dari punden Bethari Kalayuwati menuju ke cungkup Watu Gilang.
Ki Darsono, kuncen Situs Krendhowahono tengah bercerita seputar situs, dan perundingan bersejarah yang terjadi di Watu Gilang sebelum meletus Perang Diponegoro.
Jalan ke arah situs cukup baik dan rapi, menggunakan paving blok. Di kanan jalan ada papringan atau gerumbul bambu yang padat, membuat daun bambu kering banyak terserak di jalan.
Prasasti yang berbunyi "Idi pangestu Kraton Surakarta Hadiningrat "Selo Ambangun Topo" Kamulyaaken dinten Rebo Wage, tgl 2 Agustus th 1978, terah Kedung Gubah / R. Ay. Sumirah, R. Satibi Mulyosaputro, Sinengkalan gubahan Wiku Winaraning Rat".
Sponsored Link