Upacara Adat Nyalin Ngala Indung Pare di Karawang tepatnya Kecamatan Rengasdengklok adalah ritual yang diadakan menjelang panen padi, sebuah warisan adat dari karuhun Sunda yang digelar kembali oleh sebagian petani mulai beberapa tahun yang lalu, dan tahun 2018 di tempat yang sama Pesta Nyalin sudah berlangsung ke 4 kali. T
anpa direncanakan saya bersama dua orang sahabat Ken dan Ferry menyaksikan Upacara Adat Nyalin Indung Pare, di Hari Minggu siang yang terik tanggal ,9 September 2018. Di Kabupaten Karawang banyak persawahan yang sangat luas, mengingat Karawang adalah lumbung padi terbesar ke dua di Jawa Barat setelah Indramayu.
Kata nyalin dalam Upacara Adat Nyalin berasal dari kata salin yang artinya mengganti, oleh karena itu upacara ini dilaksanakan ketika padi hendak dipanen dan akan diganti dengan bibit yang baru. Atau diartikan pula ritual menyimpan benih padi yang terbaik sebagai induk dari benih padi yang ada.
Tindakan ini sebenarnya bukan sekedar ritual belaka, namun mempersiapkan musim panen berikutnya dengan benih unggul agar di musim panen mendapatkan kualitas padi bagus. Selain itu Upacara Adat Nyalin Ngala Indung Pare bagian dari upaya melestarikan seni budaya Sunda, agar tidak sirna ditelan masa.
Upacara Adat Nyalin Ngala Indung Pare ini biasanya diadakan setiap satu tahun sekali oleh pemilik sawah dan umumnya dilakukan oleh perorangan. Upacara Adat Nyalin kembali diangkat oleh kalangan petani di seputar Karawang diprakasai oleh seorang putra daerah yang memiliki puluhan hektar persawahan yang bernama Herman El Fauzan.
Upacara Adat Nyalin bertujuan mewujudkan keseimbangan antara manusia dengan alam, sehingga manusia dalam hal ini adalah para petani mengucapkan puji syukur atas berkah dan rejeki yang dilimpahkan Gusti Allah.
Hamparan padi menguning sebatas mata memandang, adalah pemandangan mahal untuk masyarakat perkotaaan, di mana sawah yang luas di masa kini sulit ditemui. Persiapan dimulai dengan sebidang sawah yang di panen terlebih dahulu sebelum acara ritual dilakukan, hal itu dilakukan sebelum kami datang. Bagian ritual Upacara Adat Nyalin Ngala Indung Pare diisi dengan simbolis pemetikan padi yang dilakukan oleh 5 orang perempuan pemetik padi dengan mengenakan dudukuy atau topi khas pemetik padi yang berbuat dari sayatan bambu yang dianyam.
Sebelumnya ritual diawali dengan "rajah sumerah" yaitu nyanyian tembang puji-pujian terhadap sang Pencipta diiringi oleh kecapi suling. Rajah pun berisi doa dan pengharapan akan kehidupan lebih baik atas pangersa Gusti Allah. Setelah itu dilantunkan Kidung Nyalin oleh sinden dengan diiringi gamelan adapun memangku adat memimpin Upacara Nyalin, satu persatu ritual dilakukan. Kami duduk di atas lahan sawah yang sudah dipanen terlebih dahulu dengan ditutupi terpal putih, makin siang sinar matahari sangat terik mendesak kami hingga duduk bergeser perlahan.
Kemudian ritual dilanjut dengan Tari Cetok Muteran Sawah, tiga orang utusan petani melakukan gerakan memutari sawah. Seorang pria hampir setengah baya berambut gondrong mengenakan ikat kepala dan kain putih yang melilit tubuhnya dengan telanjang dada, tidak ketinggalan topeng putih ia kenakan sambil menggerakkan kepalanya. Ia memercikan air ke beberapa bagian sawah dan berjalan di tegalan sawah, sesekali melakukan gerakan tarian. Didampingi oleh dua orang pria berpakaian hitam dengan warna ikat kepala yang sama, mereka lakukan dengan khusu diiringi gamelan yang menyuarakan Kidung Nyalin.
Setelah memutari sawah diakhiri ritual dengan melakukan sembah di depan sesajen yang diletakan di tengah sawah, dilanjutkan mengambil dupa yang telah dibakar. Sesajen itu bukan sesajen utama, yang mana terdapat bakakak Hayam atau seekor ayam bakar tanpa dipotong yang menggambarkan keterbukaan. Lalu deweungan atau kelapa muda dengan bendera kecil merah putih yang ditancapkan di atas kelapa. Nampan sesajan dilapisi kain putih yang dudukannya dibuat dari bambu, setelah itu pria itu membuka topengnya dan kembali ke depan panggung yang diisi para nayaga dan sinden tepat di depan sesajen utama dihidangkan.
Inilah sesajen utama yang saya maksud, bagian dari kelengkapan ritual di sajikan di beberapa tempat. Sesajen utama di tata lengkap tepat di depan panggung, sesajen di Upacara Adat Nyalin Ngala Induk Pare berupa sajian, seperti seikat padi yang disimpan dalam wadah kuningan, kelapa muda , berbagai macam buah-buahan. Selain itu terdapat nasi kuning, ayam bakar dan dupa yang dibakar. Warga datang ke lokasi Nyalin membawa nasi kuning dan nasi putih serta berbagai jenis lauk pauk, yang kemudian dimakan secara bersama-sama.
Serangkaian ritual selanjutnya adalah ritual mencit jeung ngubur hulu domba atau memotong dan mengubur kepala domba. Kemudian ritual ditutup oleh memulyakan Nyi Sri Pohaci atau Dewi Sri dalam hal ini adalah dewi padi. Menyaksikan upacara adat seperti ini menambah wawasan budaya Indonesia, dan Upacara Adat Nyalin Ngala Indung Pare di Karawang tidak hanya didatangi oleh para petani dan "panyawah" atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai penggarap sawah. Melainkan juga warga masyarakat pada umumnya, orang-orang yang dianggap penting dan unsur pemerintah. Beramai-ramai warga sekitar dalam suka cita berdatangan dan berkumpul di area persawahan yang membentang luas.
Jalan menuju sawah melalui jembatan kecil yang terbuat dari bambu, membentang sepanjang sawah adalah kirmir yang membatasi sawah dan parit yang kami melawati melalui jembatan. Air yang mengalir cukup banyak dipakai untuk irigasi sawah di sekitarnya. Di atas jembatan dipasang atap dari jerami dan hiasan topi dudukuy untuk menambah aksen. Patut bangga terhadap Kawarang yang menjadi salah satu lumbung padi Jawa Barat, namun kondisi seperti ini lambat laun akan berkurang karena terancam oleh perkembangan pemukiman dan industri semoga saja pemilik sawah bisa bertahan mempertahankan lahan sawahnya.
Ada sisi lain yang tak kalah penting selain ancaman lahan, yaitu mengenai budaya yang juga lambat laun ditinggalkan masyarakat dalam hal ini salah satunya adalah Upacara Adat Nyalin. Bercocok tanam janganlah dianggap enteng, apalagi di masa lalu tradisi memilih bibit, menanam dan melakukan panen di hari yang baik sangatlah diperhitungkan. Hal ini untuk mendapatkan hasil panen yang berlimpah dan ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta, semua proses itu dirangkai dalam sebuah ritual bahkan kepercayaan sebagian petani pada sosok Nyi Sri Pohaci atau dewi padi, itulah yang terjadi di masyarakat Karawang
Sinar matahari mulai menurun saat senja datang upacarapun usai dengan kebahagian, kamipun turut merasakannya. Menuai padi adalah sesuatu yang sangat dinantikan oleh para petani, hasil kerja keras mereka terbayar sudah. Hamparan sawah yang kami saksikan bagai manusia berilmu yang rendah hati. Satu hal yang saya petik, jangan sepelekan petani, setiap keringatnya yang menetes adalah kenikmatan yang kita rasakan lewat nasi yang kita makan. Dan Upacara Adat Nyalin perlu dilestarikan, zaman semakin berkembang kita tetap harus menjaga budaya sebagai kekayaan bangsa yang tidak dimiliki oleh bangsa lain.
anpa direncanakan saya bersama dua orang sahabat Ken dan Ferry menyaksikan Upacara Adat Nyalin Indung Pare, di Hari Minggu siang yang terik tanggal ,9 September 2018. Di Kabupaten Karawang banyak persawahan yang sangat luas, mengingat Karawang adalah lumbung padi terbesar ke dua di Jawa Barat setelah Indramayu.
Kata nyalin dalam Upacara Adat Nyalin berasal dari kata salin yang artinya mengganti, oleh karena itu upacara ini dilaksanakan ketika padi hendak dipanen dan akan diganti dengan bibit yang baru. Atau diartikan pula ritual menyimpan benih padi yang terbaik sebagai induk dari benih padi yang ada.
Tindakan ini sebenarnya bukan sekedar ritual belaka, namun mempersiapkan musim panen berikutnya dengan benih unggul agar di musim panen mendapatkan kualitas padi bagus. Selain itu Upacara Adat Nyalin Ngala Indung Pare bagian dari upaya melestarikan seni budaya Sunda, agar tidak sirna ditelan masa.
Upacara Adat Nyalin Ngala Indung Pare ini biasanya diadakan setiap satu tahun sekali oleh pemilik sawah dan umumnya dilakukan oleh perorangan. Upacara Adat Nyalin kembali diangkat oleh kalangan petani di seputar Karawang diprakasai oleh seorang putra daerah yang memiliki puluhan hektar persawahan yang bernama Herman El Fauzan.
Upacara Adat Nyalin bertujuan mewujudkan keseimbangan antara manusia dengan alam, sehingga manusia dalam hal ini adalah para petani mengucapkan puji syukur atas berkah dan rejeki yang dilimpahkan Gusti Allah.
Hamparan padi menguning sebatas mata memandang, adalah pemandangan mahal untuk masyarakat perkotaaan, di mana sawah yang luas di masa kini sulit ditemui. Persiapan dimulai dengan sebidang sawah yang di panen terlebih dahulu sebelum acara ritual dilakukan, hal itu dilakukan sebelum kami datang. Bagian ritual Upacara Adat Nyalin Ngala Indung Pare diisi dengan simbolis pemetikan padi yang dilakukan oleh 5 orang perempuan pemetik padi dengan mengenakan dudukuy atau topi khas pemetik padi yang berbuat dari sayatan bambu yang dianyam.
Sebelumnya ritual diawali dengan "rajah sumerah" yaitu nyanyian tembang puji-pujian terhadap sang Pencipta diiringi oleh kecapi suling. Rajah pun berisi doa dan pengharapan akan kehidupan lebih baik atas pangersa Gusti Allah. Setelah itu dilantunkan Kidung Nyalin oleh sinden dengan diiringi gamelan adapun memangku adat memimpin Upacara Nyalin, satu persatu ritual dilakukan. Kami duduk di atas lahan sawah yang sudah dipanen terlebih dahulu dengan ditutupi terpal putih, makin siang sinar matahari sangat terik mendesak kami hingga duduk bergeser perlahan.
Kemudian ritual dilanjut dengan Tari Cetok Muteran Sawah, tiga orang utusan petani melakukan gerakan memutari sawah. Seorang pria hampir setengah baya berambut gondrong mengenakan ikat kepala dan kain putih yang melilit tubuhnya dengan telanjang dada, tidak ketinggalan topeng putih ia kenakan sambil menggerakkan kepalanya. Ia memercikan air ke beberapa bagian sawah dan berjalan di tegalan sawah, sesekali melakukan gerakan tarian. Didampingi oleh dua orang pria berpakaian hitam dengan warna ikat kepala yang sama, mereka lakukan dengan khusu diiringi gamelan yang menyuarakan Kidung Nyalin.
Setelah memutari sawah diakhiri ritual dengan melakukan sembah di depan sesajen yang diletakan di tengah sawah, dilanjutkan mengambil dupa yang telah dibakar. Sesajen itu bukan sesajen utama, yang mana terdapat bakakak Hayam atau seekor ayam bakar tanpa dipotong yang menggambarkan keterbukaan. Lalu deweungan atau kelapa muda dengan bendera kecil merah putih yang ditancapkan di atas kelapa. Nampan sesajan dilapisi kain putih yang dudukannya dibuat dari bambu, setelah itu pria itu membuka topengnya dan kembali ke depan panggung yang diisi para nayaga dan sinden tepat di depan sesajen utama dihidangkan.
Inilah sesajen utama yang saya maksud, bagian dari kelengkapan ritual di sajikan di beberapa tempat. Sesajen utama di tata lengkap tepat di depan panggung, sesajen di Upacara Adat Nyalin Ngala Induk Pare berupa sajian, seperti seikat padi yang disimpan dalam wadah kuningan, kelapa muda , berbagai macam buah-buahan. Selain itu terdapat nasi kuning, ayam bakar dan dupa yang dibakar. Warga datang ke lokasi Nyalin membawa nasi kuning dan nasi putih serta berbagai jenis lauk pauk, yang kemudian dimakan secara bersama-sama.
Serangkaian ritual selanjutnya adalah ritual mencit jeung ngubur hulu domba atau memotong dan mengubur kepala domba. Kemudian ritual ditutup oleh memulyakan Nyi Sri Pohaci atau Dewi Sri dalam hal ini adalah dewi padi. Menyaksikan upacara adat seperti ini menambah wawasan budaya Indonesia, dan Upacara Adat Nyalin Ngala Indung Pare di Karawang tidak hanya didatangi oleh para petani dan "panyawah" atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai penggarap sawah. Melainkan juga warga masyarakat pada umumnya, orang-orang yang dianggap penting dan unsur pemerintah. Beramai-ramai warga sekitar dalam suka cita berdatangan dan berkumpul di area persawahan yang membentang luas.
Jalan menuju sawah melalui jembatan kecil yang terbuat dari bambu, membentang sepanjang sawah adalah kirmir yang membatasi sawah dan parit yang kami melawati melalui jembatan. Air yang mengalir cukup banyak dipakai untuk irigasi sawah di sekitarnya. Di atas jembatan dipasang atap dari jerami dan hiasan topi dudukuy untuk menambah aksen. Patut bangga terhadap Kawarang yang menjadi salah satu lumbung padi Jawa Barat, namun kondisi seperti ini lambat laun akan berkurang karena terancam oleh perkembangan pemukiman dan industri semoga saja pemilik sawah bisa bertahan mempertahankan lahan sawahnya.
Ada sisi lain yang tak kalah penting selain ancaman lahan, yaitu mengenai budaya yang juga lambat laun ditinggalkan masyarakat dalam hal ini salah satunya adalah Upacara Adat Nyalin. Bercocok tanam janganlah dianggap enteng, apalagi di masa lalu tradisi memilih bibit, menanam dan melakukan panen di hari yang baik sangatlah diperhitungkan. Hal ini untuk mendapatkan hasil panen yang berlimpah dan ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta, semua proses itu dirangkai dalam sebuah ritual bahkan kepercayaan sebagian petani pada sosok Nyi Sri Pohaci atau dewi padi, itulah yang terjadi di masyarakat Karawang
Sinar matahari mulai menurun saat senja datang upacarapun usai dengan kebahagian, kamipun turut merasakannya. Menuai padi adalah sesuatu yang sangat dinantikan oleh para petani, hasil kerja keras mereka terbayar sudah. Hamparan sawah yang kami saksikan bagai manusia berilmu yang rendah hati. Satu hal yang saya petik, jangan sepelekan petani, setiap keringatnya yang menetes adalah kenikmatan yang kita rasakan lewat nasi yang kita makan. Dan Upacara Adat Nyalin perlu dilestarikan, zaman semakin berkembang kita tetap harus menjaga budaya sebagai kekayaan bangsa yang tidak dimiliki oleh bangsa lain.
Upacara Nyalin Ngala Indung Pare
Kecamatan Rengasdengklok,Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat.Sponsored Link
Sponsored Link
Sponsored Link
Bagikan ke:
Facebook, Twitter, WhatsApp, Telegram, Email. Print!.