Dengan kembali berkendara kami menelusuri jalan utama Desa Rahtawu ke arah utara atau tepatnya arah ke timur laut mengikuti jalan yang masih lumayan baik kondisinya. Beberapa saat kemudian kami berhenti tepat sebelum sebuah jembatan yang lumayan bagus, lantaran ada tengara menarik di tepi jalan, salah satunya adalah petunjuk arah jalan menuju ke Petilasan Eyang Abiyoso Rahtawu.
Jembatan itu berjarak sekitar 325 meter dari tengara jalan simpang ke Pertapaan Eyang Jogowongso, atau sekitar 1,15km dari rumah terakhir di permukiman utama Desa Rahtawu yang cukup padat. Agak jauh ke atas masih ada lagi permukiman lainnya, yaitu Dukuh Semliro, yang merupakan permukiman paling tinggi dan terakhir di Desa Rahtawu.
Perjalanan saya tak sampai ke Dukuh Semliro lantaran semakin ke atas jalanannya semakin rusak, padahal di sana mestinya memiliki pemandangan alam yang sangat elok. Di Semliro juga ada tempat yang disebut sebagai Pertapaan Jonggring Saloka dan agak ke atas lagi ada mata air yang dikenal dengan nama Belik Belang.
Gapura Pertapaan Eyang Abiyoso yang masih berada dekat dengan jalan dan jembatan dimana kami berhenti. Gapura ini sebenarnya berbentuk candi bentar, namun ditambah bidang datar yang menghubungkan kedua pilar dan diberi tengara nama pertapaan serta simbol bunga.
Kebutuhan akan adanya gapura dan kebutuhan untuk memberi tengara membuat penggabungan fungsi yang sebenarnya wagu karena tak lazim dan tak pada tempatnya. Penampakan gapura ini juga kembali memperlihatkan belum halusnya cita rasa seni masyarakat setempat.
Selain rancangan gapuranya masih kasar, ditempel pula keramik pada dindingnya yang tak menyatu dan bahkan merusak penampilan gapura. Melihat lokasinya yang masih jauh dari area utamanya, gapura ini memang mestinya berupa candi bentar, yaitu gapura yang bagian atasnya terpisah.
Dalam pewayangan Jawa, Begawan Abiyasa adalah anak Begawan Palasara dengan Dewi Setyawati (Dewi Durgandini). Abiyasa kemudian menggantikan ayah tirinya, Prabu Sentanu, sebagai raja Astina dan menikahi janda dari dua adik tirinya.
Sebagai raja, Abiyasa dikenal bijaksana, adil, dan mencintai rakyat. Setelah lengser digantikan oleh Pandu, puteranya dengan Dewi Ambalika, Abiyasa kembali menjadi pertapa di Rahtawu, Pegunungan Saptorenggo. Sewaktu bertahta menjadi raja Astina, Abiyasa menggunakan gelar Prabu Kresnadipayana. Usianya sangat panjang hingga ia masih hidup ketika lahir Raden Parikesit, cicitnya yang juga anak Abimanyu.
Adalah sebuah tengara yang membuat saya urung untuk berkunjung ke Petilasan Eyang Abiyoso, lantaran di sana ada angka 7 km yang harus di tempuh dengan berjalan kaki untuk sampai ke Puncak Abiyoso. Jika kecepatan rata-rata berjalan kaki ke tempat itu adalah 3-4 km/jam, maka akan membutuhkan waktu sekitar 2 jam.
Sebenarnya tak mengapa jika diniatkan treking bolak-balik sekitar 5 jam dengan sekitar sejam atau lebih diam di sana. Hanya saja saat itu sudah jam 4 sore, dan saya tak melakukan persiapan untuk malam-malam berada di puncak perbukitan dengan udara yang sanggup menusuk tulang jika tanpa membawa jaket yang tebal.
Pada arah yang sama ke Petilasan Eyang Abiyoso Rahtawu Kudus ada pula Petilasan Atas Angin yang berjarak 12 km, Sendang Kramat dengan jarak tempuh 6 km dan Air Terjun Kali Banteng yang hanya 100 m jaraknya. Mestinya saya berkunjung ke air terjun itu saja, namun entah mengapa pikiran tak menggerakkan sepasang kaki yang saya miliki untuk melangkah ke sana.
Di bawah gapura di awal trek yang menuju ke Petilasan Eyang Abiyoso Rahtawu ada penunjuk arah menuju ke arah penitipan motor, namun sepertinya tak ada area yang disiapkan bagi para pejalan yang datang membawa kendaraan roda empat. Adanya penitipan sepeda motor di kaki bukit tentu akan sangat membantu para pengunjung, karena selain bisa sangat dekat ke jalur pendakian, juga memberi rasa aman selama berkunjung ke puncak bukit.
Gapura seperti yang dibuat di jalan menuju ke Petilasan Eyang Abiyoso Rahtawu Kudus umumnya dibuat untuk memisahkan bagian luar dengan bagian tengah rumah atau tempat suci. Namun demikian di puncak kanan kiri gapura terdapat mustaka menyerupai mahkota raja yang cukup bagus.
Ada pula petunjuk ke arah penjual air kemadoh di bawah gapura yang konon bisa dipakai untuk membuat rambut menjadi tebal dan mengembang. Daun pohon Kemadoh sangat mirip daun jati, namun berbulu tajam yang jika terkena kulit akan terasa panas sampai beberapa hari.
Selain di Rahtawu, di lereng Gunung Arjuno rupanya juga ada Petilasan Begawan Abiyoso yang diakses dari jalur pendakian Desa Tambak Watu, Purwodadi. Meski banyak nama tempat dan petilasan yang sama dengan nama tokoh dan tempat di cerita pewayangan, namun larangan untuk mementaskan wayang kulit di sana masih berlaku, karena jika larangan itu dilanggar konon akan timbul bencana.
Dugaan saya adalah pada suatu ketika dulu mungkin pernah terjadi keributan antar warga, atau antara warga setempat dengan warga dari desa sebelah yang ikut menonton saat berlangsung pertunjukan wayang yang memberi trauma mendalam bagi penduduk. Karena di keramaian seperti itu tak jarang ada lapak yang menjadi ajang judi dan lapak penjualan tuak yang mudah menyulut keributan.
Alamat Petilasan Eyang Abiyoso Rahtawu : Desa Rahtawu, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus. Lokasi GPS : awal perjalanan -6.6453752, 110.8683479, Waze ( smartphone Android dan iOS ). Lokasi GPS Petilasan: -6.6365167, 110.8613205, Waze. Info Wisata Kudus: Hotel di Kudus, Hotel Murah di Kudus, Peta Wisata Kudus, Tempat Wisata di Kudus.
Bagikan ke: WhatsApp, Email. Print!.