Monumen Korban 40 Ribu Jiwa di Parepare Sulawesi Selatan, terletak di pinggir Masjid Raya Parepare, dan kamipun beristirahat sejenak di monumen sekaligus menikmati makan malam di pedagang kaki lima yang tidak jauh dari Monumen Korban 40 Ribu Jiwa, tepatnya di sebelah area Monumen Adipura dan Pasar Senggol yang pada malam itu ramai pengunjung.
Memasuki Kota Parepare disambut dengan gapura selamat datang dengan lampu hias yang menyilaukan penglihatan. Sepertinya kota ini menyukai kunang-kunang kota jalanan berkelap-kelip menghiasi remang malam. Begitupun saat melewati Sungai Tonrangeng yang luas tak jauh dari Monumen Korban 40 Ribu Jiwa, dihiasai pula dengan lampu-lampu. Parepare mempunyai kehidupan malam yang semarak, sepanjang pantai arah ke pusat kota berderet kafe dan warung kopi yang diramaikan oleh anak muda yang bermalam mingguan.
Kota Parepare adalah kota kelahiran Presiden RI Ke dua yaitu BJ.Habibie yang menjadi putra kebanggaan daerah. Parepare kota yang menghargai perjuangan para Pahlawan daerahnya seperti halnya dituliskan di gapura selamat datang kota bahwa Parepare adalah Kota Kelahiran Presiden RI yang kedua. Bukti yang lain adalah dengan dibangunnya Monumen Korban 40 Ribu Jiwa di Jalan Masjid Raya terletak di lokasi yang strategis yang menjadi perlintasan jalan para pemakai jalan raya yang hendak keluar kota.
Inilah Monumen Korban 40 Ribu Jiwa, di malam hari ketika suasana monumen sedang ramai. Dinding monumen dilengkapi relief yang menceritakan pembantaian masal pejuang dan rakyat yang tidak berdosa. Tindakan keji yang dilakukan oleh Kapten Raymond Paul Piere Westerling dengan pasukannya yang terjadi antara Desember 1946 hingga Maret 1947 di wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Kekejaman Westerling tercatat dalam lembaran sejarah perjuangan rakyat di Sulawesi Selatan, dan aksi brutal ini disebut pula peristiwa korban 40 ribu jiwa. Monumen tersebut dibangun sebagai bentuk penghargaan kepada para pahlawan dan rakyat yang menjadi korban pembantaian.
Pada sisi kiri kanan dinding relief Monumen Korban 40 Ribu Jiwa, terdapat relief bendera merah putih yang sedang berkibar. Lalu di atas dinding relief dipasang lambang negara Indonesia Burung Garuda. Sedangkan di depan dinding relief di sebelah kanan terdapat patung manusia yang menggambarkan pahlawan bangsa, serta bertengger tiang bendera di depan pelataran monumen. Di tempat ini setiap tahun diadakan peringatan korban pembantaian Westerling pada Bulan Desember dan juga kerap dipergunakan pagelaran seni dan budaya.
Malam itupun sedang berlangsung pegelaran musik tradisional dengan 4 orang seniman berkostum daerah, mereka tampil memukau dengan alat musik tradional suling dan perkusi. Hebatnya lagi animo penonton yang berjubel mayoritas anak muda, mereka sangat apresiatif menyaksikan penampilan serta memberikan sambutan yang luar biasa. Senangnya melihat situasi di mana anak muda punya kepedulian terhadap seni budaya daerahnya.
Kami melihat beberapa saat sampai satu lagu berbahasa daerah Mandar selesai mengalun dengan nada yang energik, penonton bagian depan duduk di lantai monumen dan di bagian belakang kebanyakan berdiri. Tidak sedikit penonton yang mengabadikan penampilan para seminan yang malam itu tampil dengan kostum warna merah, sambil berselfi dilatar belakangi situasi monumen.
Monumen Korban 40 Ribu Jiwa di kala siang hari kondisinya sepi, menjelang sore barulah monumen ini ramai menjadi tempat berkumpul sekedar berbincang atau jajan di pedagang kaki lima sekitarnya. Sesuai dengan tujuan didirikan monumen, selain untuk mengenang peristiwa yang terjadi di belakangnya yang paling esensial adalah agar meningkatkan rasa nasionalisme dan kecintaan kepada tanah air, mengingat dan menghargai peran perjuangan yang di lakukan oleh para pendahulu.
Di siang harinya ketika kami kembali melewati Monumen Korban 40 Ribu Jiwa, tidak berhenti hanya melintasi saja dan mengambil beberapa sudut foto sambil jalan. Selain pulangnya kami terburu-buru mengejar acara di Kota Mejene, terik mataharipun membuat kami enggan turun dari kendaraan melihat monumen.
Masjid Raya Parepare yang terletak di seberang Monumen Korban 40 Ribu Jiwa, tampak cantik dibalut dengan lampu-lampu. Masjid ini termaasuk populer di Parepare. Kota yang menghiasi wajahnya dengan lampu jalanan, cukup bersih dengan suasana kota yang tidak hiruk pikuk, hanya titik-titik tertentu saja yang ramai didatangi masyarakat sekitar Parepare.
Banyak cara untuk menghargai jasa-jasa para pahlawan yang telah berjuang demi kebaikan dan perbaikan negara kita. Salah satunya adalah membangun tugu atau monumen seperti halnya Monumen Korban 40 Ribu Jiwa, selain itu mengabadikan nama mereka menjadi nama jalan dan lain sebagainya. Yang paling penting adalah bagaimana melanjutkan perjuangan dan cita-cita mulia dari para pahlawan bangsa, sesuai dengan kapasitas masing-masing.
Peristiwa Westerling adalah sejarah kelam, tetapi juga menjadi pelajaran sejarah yang berharga untuk menyambut masa depan yang lebih baik untuk generasi penerus bangsa. Monumen Korban 40 Ribu Jiwa Parepare bukan sejarah masyarakat Parepare saja, tetapi bagian dari sejarah Indonesia.
Memasuki Kota Parepare disambut dengan gapura selamat datang dengan lampu hias yang menyilaukan penglihatan. Sepertinya kota ini menyukai kunang-kunang kota jalanan berkelap-kelip menghiasi remang malam. Begitupun saat melewati Sungai Tonrangeng yang luas tak jauh dari Monumen Korban 40 Ribu Jiwa, dihiasai pula dengan lampu-lampu. Parepare mempunyai kehidupan malam yang semarak, sepanjang pantai arah ke pusat kota berderet kafe dan warung kopi yang diramaikan oleh anak muda yang bermalam mingguan.
Kota Parepare adalah kota kelahiran Presiden RI Ke dua yaitu BJ.Habibie yang menjadi putra kebanggaan daerah. Parepare kota yang menghargai perjuangan para Pahlawan daerahnya seperti halnya dituliskan di gapura selamat datang kota bahwa Parepare adalah Kota Kelahiran Presiden RI yang kedua. Bukti yang lain adalah dengan dibangunnya Monumen Korban 40 Ribu Jiwa di Jalan Masjid Raya terletak di lokasi yang strategis yang menjadi perlintasan jalan para pemakai jalan raya yang hendak keluar kota.
Inilah Monumen Korban 40 Ribu Jiwa, di malam hari ketika suasana monumen sedang ramai. Dinding monumen dilengkapi relief yang menceritakan pembantaian masal pejuang dan rakyat yang tidak berdosa. Tindakan keji yang dilakukan oleh Kapten Raymond Paul Piere Westerling dengan pasukannya yang terjadi antara Desember 1946 hingga Maret 1947 di wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Kekejaman Westerling tercatat dalam lembaran sejarah perjuangan rakyat di Sulawesi Selatan, dan aksi brutal ini disebut pula peristiwa korban 40 ribu jiwa. Monumen tersebut dibangun sebagai bentuk penghargaan kepada para pahlawan dan rakyat yang menjadi korban pembantaian.
Pada sisi kiri kanan dinding relief Monumen Korban 40 Ribu Jiwa, terdapat relief bendera merah putih yang sedang berkibar. Lalu di atas dinding relief dipasang lambang negara Indonesia Burung Garuda. Sedangkan di depan dinding relief di sebelah kanan terdapat patung manusia yang menggambarkan pahlawan bangsa, serta bertengger tiang bendera di depan pelataran monumen. Di tempat ini setiap tahun diadakan peringatan korban pembantaian Westerling pada Bulan Desember dan juga kerap dipergunakan pagelaran seni dan budaya.
Malam itupun sedang berlangsung pegelaran musik tradisional dengan 4 orang seniman berkostum daerah, mereka tampil memukau dengan alat musik tradional suling dan perkusi. Hebatnya lagi animo penonton yang berjubel mayoritas anak muda, mereka sangat apresiatif menyaksikan penampilan serta memberikan sambutan yang luar biasa. Senangnya melihat situasi di mana anak muda punya kepedulian terhadap seni budaya daerahnya.
Kami melihat beberapa saat sampai satu lagu berbahasa daerah Mandar selesai mengalun dengan nada yang energik, penonton bagian depan duduk di lantai monumen dan di bagian belakang kebanyakan berdiri. Tidak sedikit penonton yang mengabadikan penampilan para seminan yang malam itu tampil dengan kostum warna merah, sambil berselfi dilatar belakangi situasi monumen.
Monumen Korban 40 Ribu Jiwa di kala siang hari kondisinya sepi, menjelang sore barulah monumen ini ramai menjadi tempat berkumpul sekedar berbincang atau jajan di pedagang kaki lima sekitarnya. Sesuai dengan tujuan didirikan monumen, selain untuk mengenang peristiwa yang terjadi di belakangnya yang paling esensial adalah agar meningkatkan rasa nasionalisme dan kecintaan kepada tanah air, mengingat dan menghargai peran perjuangan yang di lakukan oleh para pendahulu.
Di siang harinya ketika kami kembali melewati Monumen Korban 40 Ribu Jiwa, tidak berhenti hanya melintasi saja dan mengambil beberapa sudut foto sambil jalan. Selain pulangnya kami terburu-buru mengejar acara di Kota Mejene, terik mataharipun membuat kami enggan turun dari kendaraan melihat monumen.
Masjid Raya Parepare yang terletak di seberang Monumen Korban 40 Ribu Jiwa, tampak cantik dibalut dengan lampu-lampu. Masjid ini termaasuk populer di Parepare. Kota yang menghiasi wajahnya dengan lampu jalanan, cukup bersih dengan suasana kota yang tidak hiruk pikuk, hanya titik-titik tertentu saja yang ramai didatangi masyarakat sekitar Parepare.
Banyak cara untuk menghargai jasa-jasa para pahlawan yang telah berjuang demi kebaikan dan perbaikan negara kita. Salah satunya adalah membangun tugu atau monumen seperti halnya Monumen Korban 40 Ribu Jiwa, selain itu mengabadikan nama mereka menjadi nama jalan dan lain sebagainya. Yang paling penting adalah bagaimana melanjutkan perjuangan dan cita-cita mulia dari para pahlawan bangsa, sesuai dengan kapasitas masing-masing.
Peristiwa Westerling adalah sejarah kelam, tetapi juga menjadi pelajaran sejarah yang berharga untuk menyambut masa depan yang lebih baik untuk generasi penerus bangsa. Monumen Korban 40 Ribu Jiwa Parepare bukan sejarah masyarakat Parepare saja, tetapi bagian dari sejarah Indonesia.
Monumen Korban 40 Ribu Jiwa
Jalan Masjid Raya, Parepare, 91114. Lokasi GPS : -4.0089609, 119.6219838, WazeSponsored Link
Sponsored Link
Sponsored Link
Bagikan ke:
Facebook, Twitter, WhatsApp, Telegram, Email. Print!.