Pelabuhan Bitung adalah pelabuhan alam di sisi selatan Kota Bitung yang merupakan pelabuhan terbesar dan satu-satunya pelabuhan di Sulawesi Utara yang disinggahi kapal-kapal penumpang antar kota besar di Indonesia. Adanya Pelabuhan Bitung merupakan salah satu faktor penting yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan perkembangan kota Bitung, selain dari kegiatan perkebunan, pertanian dan perikanan.
Kota Bitung diguyur dengan hujan yang lebat ketika kami hampir memasuki kota dan mereda menjadi gerimis ketika tiba di depan Pelabuhan Bitung pada suatu Minggu siang. Gedung Terminal Penumpang Pelabuhan Bitung terlihat sepi dan pintunya tampak tertutup rapat, menandai tak ada jadwal keberangkatan kapal dalam waktu dekat, namun kami bisa masuk dari jalan samping yang terbuka dan dijaga oleh seorang Satpam pelabuhan.
Berabad-abad sebelum barang dan orang bisa nyaman terbang di angkasa dengan menumpang pesawat, kapal menjadi satu-satunya wahana untuk menyeberang lautan hingga sampai ke tempat-tempat yang sangat jauh. Pelabuhan karenanya memainkan peran sangat penting sebagai gerbang masuk dan keluar barang maupun manusia dan menjadi penggerak roda perekonomian, pendidikan dan pertukaran kebudayaan antar suku bangsa.
Beberapa buah kapal tampak tengah sandar di Pelabuhan Bitung yang kedalamannya mencapai 14 meter ketika pasang, dan 7 meter ketika air Selat Lembeh tengah surut. Tidak tampak ada kesibukan berarti di sekitar dermaga dimana kami berdiri. Di sisi lain ada kapal-kapal motor berbobot kecil dan sedang yang terlihat sandar di dermaga menunggu muatan. Beberapa buah kapal layar motor Pinisi juga terlihat tengah sandar di Pelabuhan Peti Kemas Bitung.
Dermaga yang dibuat beberapa meter keluar dari daratan dengan lubang-lubang laut besar berbentuk persegi itu mungkin dibuat untuk mendapatkan kedalaman tertentu agar kapal besar bisa sandar di sana dengan aman. Kapal yang tengah sandar di samping truk-truk dengan muatan kosong itu bernama Bondeng Ladjoni asal Jakarta. Kapal kargo berbobot kotor 2.064 ton itu dibuat di Jepang pada 1976 dengan ukuran 87,18m x 13,52m, dan sebelumnya bernama Farita (2007), Joyce (1984), Yamato Maru (1984), dan Daiei Maru (1978).
Bangunan Terminal Penumpang Pelabuhan Bitung yang saat itu tampak sepi dan terkunci. Penampilan pelabuhan mungkin sekarang telah banyak berubah karena terus berbenah dengan membangun dan memperluas dermaganya. Pada awal tahun 2017 presiden telah memberikan instruksi kepada jajarannya untuk mengembangkan potensi ekonomi dan wisata Sulawesi Utara, dan mengatakan bahwa pembangunan Pelabuhan Bitung diyakini dapat menjadi faktor pendukung guna mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Pembangunan Pelabuhan Bitung yang dikembangkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus itu pun telah diminta presiden untuk juga dipercepat agar Bitung segera menjadi pelabuhan hub dan pintu masuk ke wilayah utara Indonesia. Bitung dan Sulawesi Utara pada umumnya memang memiliki potensi ekonomi dan wisata yang luar biasa, diluar Taman Nasional Bunaken yang telah lama terkenal lebih dulu. Kebijakan pemerintah untuk membuka penerbangan langsung ke berbagai bandara, termasuk ke bandara Manado memberi dampak besar pada kedatangan wisman.
Dermaga Pelabuhan Bitung dengan paku-paku baja tempat untuk menambat kapal besar terlihat menonjol di lantai dermaga. Sementara di perairan Selat Lembeh tampak sepi dengan tugu Monumen Trikora terlihat di latar belakang sebelah kanan. Baru beberapa saat kemudian ada dua perahu motor melintas melewati selat dari arah selatan. Pemandangan ini mungkin sudah atau sebentar lagi akan menjadi dokumentasi setelah selesainya proyek pengembangan infrastruktur pelabuhan yang baru.
Pelabuhan Bitung saat ini memiliki empat dermaga, yaitu Dermaga Samudra dengan panjang 607 m dan kedalaman 5 m, Dermaga Nusantara dengan panjang 652 m dan kedalaman 6 m, dan Dermaga Kontainer yang terdiri dari dua dermaga, yaitu Dermaga VIII dengan panjang 182 m dan kedalaman 20 m serta Dermaga IX dengan panjang 60 m dan kedalaman 10 m. Kegiatan bongkar muat di pelabuhan bisa berlangsung 24 jam tanpa tergantung tinggi rendahnya permukaan air dan gelombang laut.
Sebuah kapal bernama Thai Binh 36 berbendera Vietnam dengan berat kotor 1.599 ton tampak tengah melego jangkar di Pelabuhan Peti Kemas Bitung. Kegiatan bongkar muat barang dengan cara tradisional masih bisa ditemui di pelabuhan ini, sebagaimana juga masih bisa dilihat di Pelabuhan Sunda Kelapa di Jakarta Utara. Menyewa kuli angkut barang untuk melakukan bongkar muat barang selain lebih murah juga lebih praktis ketimbang menggunakan cara modern untuk barang-barang tertentu, terutama komoditi dan barang dagangan antar pulau.
Sejak 8 Agustus 2017 Pelabuhan Bitung telah menjadi pelabuhan kelas 1 pertama di Indonesia yang menerapkan sistem pelayanan online melalui aplikasi Go Live Inaportnet yang membuat pelayanan lebih cepat, transparan, bebas pungli serta murah. Hal itu bisa dicapai dengan meminimalkan kontak langsung antara petugas dengan masyarakat pengguna jasa pelabuhan. Sebuah kemajuan yang sangat berarti.
Menurut cerita, nama Bitung diberikan oleh Dotu Hermanus Sompotan yang adalah penduduk pertama yang tinggal di sana, diambil dari nama pohon yang banyak ditemui di Sulawesi Utara. Dotu adalah istilah yang diberikan untuk orang yang dituakan. Dotu Hermanus Sompotan datang bersama dengan Dotu Rotti, Dotu Wullur, Dotu Ganda, Dotu Katuuk, dan Dotu Lengkong, yang semuanya berasal dari Suku Minahasa, etnis Tonsea, dan dikenal dengan sebutan 6 Dotu Tumani Bitung.
Kota Bitung diguyur dengan hujan yang lebat ketika kami hampir memasuki kota dan mereda menjadi gerimis ketika tiba di depan Pelabuhan Bitung pada suatu Minggu siang. Gedung Terminal Penumpang Pelabuhan Bitung terlihat sepi dan pintunya tampak tertutup rapat, menandai tak ada jadwal keberangkatan kapal dalam waktu dekat, namun kami bisa masuk dari jalan samping yang terbuka dan dijaga oleh seorang Satpam pelabuhan.
Berabad-abad sebelum barang dan orang bisa nyaman terbang di angkasa dengan menumpang pesawat, kapal menjadi satu-satunya wahana untuk menyeberang lautan hingga sampai ke tempat-tempat yang sangat jauh. Pelabuhan karenanya memainkan peran sangat penting sebagai gerbang masuk dan keluar barang maupun manusia dan menjadi penggerak roda perekonomian, pendidikan dan pertukaran kebudayaan antar suku bangsa.
Beberapa buah kapal tampak tengah sandar di Pelabuhan Bitung yang kedalamannya mencapai 14 meter ketika pasang, dan 7 meter ketika air Selat Lembeh tengah surut. Tidak tampak ada kesibukan berarti di sekitar dermaga dimana kami berdiri. Di sisi lain ada kapal-kapal motor berbobot kecil dan sedang yang terlihat sandar di dermaga menunggu muatan. Beberapa buah kapal layar motor Pinisi juga terlihat tengah sandar di Pelabuhan Peti Kemas Bitung.
Dermaga yang dibuat beberapa meter keluar dari daratan dengan lubang-lubang laut besar berbentuk persegi itu mungkin dibuat untuk mendapatkan kedalaman tertentu agar kapal besar bisa sandar di sana dengan aman. Kapal yang tengah sandar di samping truk-truk dengan muatan kosong itu bernama Bondeng Ladjoni asal Jakarta. Kapal kargo berbobot kotor 2.064 ton itu dibuat di Jepang pada 1976 dengan ukuran 87,18m x 13,52m, dan sebelumnya bernama Farita (2007), Joyce (1984), Yamato Maru (1984), dan Daiei Maru (1978).
Bangunan Terminal Penumpang Pelabuhan Bitung yang saat itu tampak sepi dan terkunci. Penampilan pelabuhan mungkin sekarang telah banyak berubah karena terus berbenah dengan membangun dan memperluas dermaganya. Pada awal tahun 2017 presiden telah memberikan instruksi kepada jajarannya untuk mengembangkan potensi ekonomi dan wisata Sulawesi Utara, dan mengatakan bahwa pembangunan Pelabuhan Bitung diyakini dapat menjadi faktor pendukung guna mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Pembangunan Pelabuhan Bitung yang dikembangkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus itu pun telah diminta presiden untuk juga dipercepat agar Bitung segera menjadi pelabuhan hub dan pintu masuk ke wilayah utara Indonesia. Bitung dan Sulawesi Utara pada umumnya memang memiliki potensi ekonomi dan wisata yang luar biasa, diluar Taman Nasional Bunaken yang telah lama terkenal lebih dulu. Kebijakan pemerintah untuk membuka penerbangan langsung ke berbagai bandara, termasuk ke bandara Manado memberi dampak besar pada kedatangan wisman.
Dermaga Pelabuhan Bitung dengan paku-paku baja tempat untuk menambat kapal besar terlihat menonjol di lantai dermaga. Sementara di perairan Selat Lembeh tampak sepi dengan tugu Monumen Trikora terlihat di latar belakang sebelah kanan. Baru beberapa saat kemudian ada dua perahu motor melintas melewati selat dari arah selatan. Pemandangan ini mungkin sudah atau sebentar lagi akan menjadi dokumentasi setelah selesainya proyek pengembangan infrastruktur pelabuhan yang baru.
Pelabuhan Bitung saat ini memiliki empat dermaga, yaitu Dermaga Samudra dengan panjang 607 m dan kedalaman 5 m, Dermaga Nusantara dengan panjang 652 m dan kedalaman 6 m, dan Dermaga Kontainer yang terdiri dari dua dermaga, yaitu Dermaga VIII dengan panjang 182 m dan kedalaman 20 m serta Dermaga IX dengan panjang 60 m dan kedalaman 10 m. Kegiatan bongkar muat di pelabuhan bisa berlangsung 24 jam tanpa tergantung tinggi rendahnya permukaan air dan gelombang laut.
Sebuah kapal bernama Thai Binh 36 berbendera Vietnam dengan berat kotor 1.599 ton tampak tengah melego jangkar di Pelabuhan Peti Kemas Bitung. Kegiatan bongkar muat barang dengan cara tradisional masih bisa ditemui di pelabuhan ini, sebagaimana juga masih bisa dilihat di Pelabuhan Sunda Kelapa di Jakarta Utara. Menyewa kuli angkut barang untuk melakukan bongkar muat barang selain lebih murah juga lebih praktis ketimbang menggunakan cara modern untuk barang-barang tertentu, terutama komoditi dan barang dagangan antar pulau.
Sejak 8 Agustus 2017 Pelabuhan Bitung telah menjadi pelabuhan kelas 1 pertama di Indonesia yang menerapkan sistem pelayanan online melalui aplikasi Go Live Inaportnet yang membuat pelayanan lebih cepat, transparan, bebas pungli serta murah. Hal itu bisa dicapai dengan meminimalkan kontak langsung antara petugas dengan masyarakat pengguna jasa pelabuhan. Sebuah kemajuan yang sangat berarti.
Menurut cerita, nama Bitung diberikan oleh Dotu Hermanus Sompotan yang adalah penduduk pertama yang tinggal di sana, diambil dari nama pohon yang banyak ditemui di Sulawesi Utara. Dotu adalah istilah yang diberikan untuk orang yang dituakan. Dotu Hermanus Sompotan datang bersama dengan Dotu Rotti, Dotu Wullur, Dotu Ganda, Dotu Katuuk, dan Dotu Lengkong, yang semuanya berasal dari Suku Minahasa, etnis Tonsea, dan dikenal dengan sebutan 6 Dotu Tumani Bitung.
Pelabuhan Bitung
Jalan D.S Sumolang, Kota Bitung, Sulawesi Utara. Lokasi GPS : 1.442833,125.195303, Waze. Referensi : Tempat Wisata di Bitung, Peta Wisata Bitung, Hotel di Bitung.Sponsored Link
Sponsored Link
Sponsored Link
Bagikan ke:
Facebook, Twitter, WhatsApp, Telegram, Email. Print!.