Istana Bung Hatta Bukittinggi berada tepat di seberang taman Jam Gadang Bukittinggi dengan halaman luas hijau asri yang dihiasi pohon palm dan cemara. Di sekeliling Istana ini dipagari tembok rendah berkisi, dengan pintu gerbang yang terbuka. Namun ketika saya melangkah masuk, seorang penjaga bergegas mendekat, hanya untuk memberitahu bahwa masyarakat umum tidak diperbolehkan masuk lebih jauh lagi ke dekat bangunan utama.
Letaknya yang berada di pinggiran pusat keramaian di sekitar tugu Jam Gadang, serta tidak dibukanya tempat bersejarah ini bagi kunjungan warga dan wisatawan, membuat keberadaan gedung seperti terlupakan. Jika bangunan penting bersejarah seperti Istana Bogor dan Istana Kepresidenan pun sesekali dibuka untuk umum, maka mudah-mudahan Istana Bung Hatta Bukittinggi sekarang sudah pula terbuka pintunya bagi wisatawan.
Meski tak masuk ke dalam bangunan istana namun tak hendak saya pergi dengan tangan kosong, dan karenanya menyempatkan mengambil beberapa foto sebelum meninggalkan halaman. Adanya foto setidaknya akan mengingatkan saya untuk mencari tahu lebih banyak tentang Istana Bung Hatta Bukittinggi ini, dan lalu menulisnya. Sebelum diubah menjadi namanya yang sekarang, bangunan ini sebelumnya bernama Gedung Negara Tri Arga, sebagai simbol kota yang dikelilingi tiga gunung, yaitu Singgalang, Marapi, dan Gunung Sago.
Tengara Istana Bung Hatta Bukittinggi dipasang pada tiang beton beratap rumah adat Minangkabau, dengan si penjaga bersedekap mengawasi, yang membuat saya tertawa kecut. Entah apa yang dipikirkan oleh pengelola bangunan bersejarah ini, sehingga tidak memperbolehkan pejalan untuk masuk dan memotret agar keindahan dan riwayatnya bisa dilihat dan dibaca oleh lebih banyak orang.
Bangunan pemerintah adalah milik rakyat juga, sehingga si empunya tentulah berhak memiliki kesempatan untuk masuk ke dalamnya, setidaknya setahun sekali di saat ulang tahun kota atau ulang tahun republik misalnya, atau bahkan setiap akhir pekan sebagai destinasi wisata sejarah seperti Balaikota DKI Jakarta yang mulai dibuka untuk umum di jaman pemerintahan Gubernur DKI Basuki (Ahok) Tjahaja Purnama.
Dari Istana Bung Hatta Bukittinggi inilah Bung Hatta memimpin perjuangan pemerintah dan rakyat di wilayah Sumatera Barat khususnya, mengadakan pertemuan-pertemuan dengan para pemimpin serta tokoh-tokoh setempat dan membuat keputusan-keputusan politik yang dibutuhkan untuk lebih mengefektifkan roda pemerintahan dan perjuangan melawan agresi militer pemerintahan kolonial Belanda.
Patung dada Bung Hatta yang mengenakan peci dan berkacamata khas, dengan senyum ramah, namun sayangnya tidak seramah petugas dan pengelola bangunan rumah Istana Bung Hatta saat itu. Rumah ini pernah ditempati Bung Hatta di akhir tahun 40-an, pada masa-masa revolusi perjuangan kemerdekaan, di sekitar peristiwa Agresi Militer Belanda I.
Sebelum proklamasi kemerdekaan, gedung ini digunakan sebagai tempat kedudukan Residen Padangse Bovenlanden dan Asisten Residen Agam. Ketika Belanda terusir dari Bukittinggi saat perang Pasifik melanda Hindia Belanda, gedung ini sempat digunakan tempat tinggal Seiko Seikikan Kakka (Panglima Pertahanan Jepang).
Pada awal Juni 1947 rombongan Bung Hatta tiba di Bukittinggi, yang merupakan kunjung pertamanya sebagai Wakil Presiden ke wilayah Sumatera. Sejak saat itu hingga Februari 1948 gedung yang sempat bernama Rumah Tamu Agung itu beralih fungsi menjadi tempat kedudukan Wakil Presiden RI Mohammad Hatta. Agresi Militer Belanda I terhadap Republik Indonesia yang terjadi di Jawa dan Sumatera itu berlangsung dari 21 Juli 1947 hingga 5 Agustus 1947.
Bangunan Istana Bung Hatta Bukittinggi yang sekarang ini adalah merupakan hasil renovasi, oleh sebab menyusul Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948 yang diawali serangan terhadap Kota Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia ketika itu, serta ditangkapnya Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya oleh Belanda, gedung ini sengaja dibumihanguskan bersama sejumlah bangunan lain di Bukittinggi.
Pada waktu bekerja sebagai Wakil Presiden RI di tempat inilah Bung Hatta berupaya menyatukan sejumlah partai dan organisasi sosial di Minangkabau dalam satu komando bernama Badan Pengawal Nagari dan Kota, dengan sekretariat bersama yang dipimpin lima tokoh politik Sumatera Barat, yaitu Chatib Sulaiman, Hamka, Karim Halim, Rasuna Said, dan Udin.
Guna mengefentifkan perjuangan menghadapi Belanda dalam konflik bersenjata semasa Agresi Militer Belanda I itu, Hatta juga berupaya menggambungkan laskar-laskar pejuang yang kadang saling bergesekan satu sama lain dengan satuan resmi TNI di bawah satu komando yang diberi nama nama Dewan Kelaskaran. Ketika kembali ke Yogyakarta, Hatta dijemput sejumlah pemimpin pemerintahan pusat seperti Perdana Menteri Amir Sjarifuddin dan Syahrir, setelah tercapainya Persetujuan Renville.
Ketika Yogyakarta berada dibawah pendudukan Belanda dan Bukittinggi menjadi ibu kota Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), gedung ini digunakan sebagai salah satu basis perjuangan pemerintah sementara. Setelah Sumatera Tengah dipecah pada tahun 1958 menjadi tiga provinsi, Gubernur Sumatera Barat pertama Kaharudin Datuk Rangkayo Basa berinisiatif melakukan renovasi terhadap gedung ini dan memberinya nama Gedung Negara Tri Arga, yang lalu berubah menjadi Wisma Hatta, sebelum berganti menjadi Istana Bung Hatta.
Letaknya yang berada di pinggiran pusat keramaian di sekitar tugu Jam Gadang, serta tidak dibukanya tempat bersejarah ini bagi kunjungan warga dan wisatawan, membuat keberadaan gedung seperti terlupakan. Jika bangunan penting bersejarah seperti Istana Bogor dan Istana Kepresidenan pun sesekali dibuka untuk umum, maka mudah-mudahan Istana Bung Hatta Bukittinggi sekarang sudah pula terbuka pintunya bagi wisatawan.
Meski tak masuk ke dalam bangunan istana namun tak hendak saya pergi dengan tangan kosong, dan karenanya menyempatkan mengambil beberapa foto sebelum meninggalkan halaman. Adanya foto setidaknya akan mengingatkan saya untuk mencari tahu lebih banyak tentang Istana Bung Hatta Bukittinggi ini, dan lalu menulisnya. Sebelum diubah menjadi namanya yang sekarang, bangunan ini sebelumnya bernama Gedung Negara Tri Arga, sebagai simbol kota yang dikelilingi tiga gunung, yaitu Singgalang, Marapi, dan Gunung Sago.
Tengara Istana Bung Hatta Bukittinggi dipasang pada tiang beton beratap rumah adat Minangkabau, dengan si penjaga bersedekap mengawasi, yang membuat saya tertawa kecut. Entah apa yang dipikirkan oleh pengelola bangunan bersejarah ini, sehingga tidak memperbolehkan pejalan untuk masuk dan memotret agar keindahan dan riwayatnya bisa dilihat dan dibaca oleh lebih banyak orang.
Bangunan pemerintah adalah milik rakyat juga, sehingga si empunya tentulah berhak memiliki kesempatan untuk masuk ke dalamnya, setidaknya setahun sekali di saat ulang tahun kota atau ulang tahun republik misalnya, atau bahkan setiap akhir pekan sebagai destinasi wisata sejarah seperti Balaikota DKI Jakarta yang mulai dibuka untuk umum di jaman pemerintahan Gubernur DKI Basuki (Ahok) Tjahaja Purnama.
Dari Istana Bung Hatta Bukittinggi inilah Bung Hatta memimpin perjuangan pemerintah dan rakyat di wilayah Sumatera Barat khususnya, mengadakan pertemuan-pertemuan dengan para pemimpin serta tokoh-tokoh setempat dan membuat keputusan-keputusan politik yang dibutuhkan untuk lebih mengefektifkan roda pemerintahan dan perjuangan melawan agresi militer pemerintahan kolonial Belanda.
Patung dada Bung Hatta yang mengenakan peci dan berkacamata khas, dengan senyum ramah, namun sayangnya tidak seramah petugas dan pengelola bangunan rumah Istana Bung Hatta saat itu. Rumah ini pernah ditempati Bung Hatta di akhir tahun 40-an, pada masa-masa revolusi perjuangan kemerdekaan, di sekitar peristiwa Agresi Militer Belanda I.
Sebelum proklamasi kemerdekaan, gedung ini digunakan sebagai tempat kedudukan Residen Padangse Bovenlanden dan Asisten Residen Agam. Ketika Belanda terusir dari Bukittinggi saat perang Pasifik melanda Hindia Belanda, gedung ini sempat digunakan tempat tinggal Seiko Seikikan Kakka (Panglima Pertahanan Jepang).
Pada awal Juni 1947 rombongan Bung Hatta tiba di Bukittinggi, yang merupakan kunjung pertamanya sebagai Wakil Presiden ke wilayah Sumatera. Sejak saat itu hingga Februari 1948 gedung yang sempat bernama Rumah Tamu Agung itu beralih fungsi menjadi tempat kedudukan Wakil Presiden RI Mohammad Hatta. Agresi Militer Belanda I terhadap Republik Indonesia yang terjadi di Jawa dan Sumatera itu berlangsung dari 21 Juli 1947 hingga 5 Agustus 1947.
Bangunan Istana Bung Hatta Bukittinggi yang sekarang ini adalah merupakan hasil renovasi, oleh sebab menyusul Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948 yang diawali serangan terhadap Kota Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia ketika itu, serta ditangkapnya Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya oleh Belanda, gedung ini sengaja dibumihanguskan bersama sejumlah bangunan lain di Bukittinggi.
Pada waktu bekerja sebagai Wakil Presiden RI di tempat inilah Bung Hatta berupaya menyatukan sejumlah partai dan organisasi sosial di Minangkabau dalam satu komando bernama Badan Pengawal Nagari dan Kota, dengan sekretariat bersama yang dipimpin lima tokoh politik Sumatera Barat, yaitu Chatib Sulaiman, Hamka, Karim Halim, Rasuna Said, dan Udin.
Guna mengefentifkan perjuangan menghadapi Belanda dalam konflik bersenjata semasa Agresi Militer Belanda I itu, Hatta juga berupaya menggambungkan laskar-laskar pejuang yang kadang saling bergesekan satu sama lain dengan satuan resmi TNI di bawah satu komando yang diberi nama nama Dewan Kelaskaran. Ketika kembali ke Yogyakarta, Hatta dijemput sejumlah pemimpin pemerintahan pusat seperti Perdana Menteri Amir Sjarifuddin dan Syahrir, setelah tercapainya Persetujuan Renville.
Ketika Yogyakarta berada dibawah pendudukan Belanda dan Bukittinggi menjadi ibu kota Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), gedung ini digunakan sebagai salah satu basis perjuangan pemerintah sementara. Setelah Sumatera Tengah dipecah pada tahun 1958 menjadi tiga provinsi, Gubernur Sumatera Barat pertama Kaharudin Datuk Rangkayo Basa berinisiatif melakukan renovasi terhadap gedung ini dan memberinya nama Gedung Negara Tri Arga, yang lalu berubah menjadi Wisma Hatta, sebelum berganti menjadi Istana Bung Hatta.