Percikan

Apa yang LIPI Butuhkan

Tony Hotland di The Jakarta Post kemarin menulis bahwa empat puluh tahun setelah berdirinya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terus berjuang untuk memperoleh pengakuan yang benar dari masyarakat dan dari pemerintah.

Sementara kepala LIPI Umar Anggara Jenie dengan jujur ​​mengakui bahwa prestasi LIPI tidak cukup nyata bagi masyarakat umum, wakil LIPI Lukman Hakim menyalahkan dukungan setengah hati pemerintah untuk inovasi. Sebuah pernyataan yang mungkin benar, meski hanya sebagian.

Eksekutif LIPI lainnya menunjuk orang-orang Indonesia yang merasa malu untuk menggunakan produk lokal, untuk masalah yang dihadapinya. Ada apa dengan LIPI, pemerintah dan rakyat Indonesia?

Pendapat saya adalah bahwa LIPI tidak bisa menyalahkan pemerintah dan masyarakat Indonesia, dan saya yakin mereka tidak melakukannya. LIPI tidak bisa mengatakan bahwa pihaknya telah memenuhi kewajibannya hanya dengan melakukan penelitian yang sangat banyak, tanpa mengambil tanggung jawab apakah pemerintah akan menggunakannya atau tidak.

LIPI bertanggung jawab bahwa penelitian yang dilakukan harus memberi manfaat bagi masyarakat umum, dan hanya mungkin jika pemerintah menggunakan temuan dan rekomendasinya. Untuk bisa mencapainya, eksekutif LIPI harus bisa membangun komunikasi politik yang baik dan hubungan kerja yang efektif dengan pemerintah, presiden pada khususnya, dan kalangan di dalam dirinya.

Jika presiden buta terhadap pentingnya sains, teknologi dan penelitian dalam meningkatkan citranya, jika itu adalah hal terpenting yang dia sayangi dan mungkin saja bukan, LIPI hendaknya menemukan cara bagaimana mendidik presiden, dan atau lingkaran dekatnya, bahwa citra yang bertahan lama dan masa depan negara ini bergantung pada komitmen yang dia berikan pada bidang-bidang tersebut, termasuk pendidikan.

LIPI tidak dapat memenuhi kewajibannya dengan mengkritik pemerintah secara terbuka, karena justru akan membuat situasi semakin buruk, tidak hanya bagi LIPI tapi yang lebih penting bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Fakta bahwa pemerintah berencana untuk memotong anggaran LIPI pada tahun 2008 menjadi hanya Rp 558 miliar dari Rp 592 miliar tahun ini mencerminkan masalah komunikasi dan kepercayaan yang ada pada pemerintah.

Presiden dan lingkaran dalamnya mungkin tidak senang dengan LIPI, sementara LIPI jelas tidak senang dengan situasinya. Saya mengerti bahwa tidaklah mudah bagi ilmuwan untuk bermain politik, dan bagi para politisi untuk memahami sains dan teknologi. Mungkin lebih mudah untuk memahami bahwa nasib rakyat Indonesia sekarang dipertaruhkan.

LIPI membutuhkan lebih banyak dana untuk melakukan penelitian yang berkualitas, dan untuk menjaga agar para periset utamanya tetap termotivasi, namun ia harus bertanggung jawab atas pemanfaatan produksinya oleh pemerintah dan atau sektor swasta, baru kemudian keberadaannya dapat dikenali. LIPI membutuhkan pemerintah dan melakukan hubungan masyarakat.

Pemerintah perlu menempatkan masa depan rakyat Indonesia di atas hal lain, dan memberikan dukungan yang kuat kepada LIPI dan semua kegiatan penelitian dan pengembangan, dan berperan sebagai mediator diantara lembaga penelitian, termasuk universitas, dengan sektor swasta yang dapat memanfaatkan penemuan tersebut.

Sedangkan untuk masyarakat Indonesia pada umumnya, marilah kita bangga menyaksikan, mendengar, menggunakan, menikmati produk dan layanan Indonesia. Ayah dan pahlawan pendiri kita telah bersedia mengorbankan segalanya, termasuk kehidupan berharga dan orang-orang tercinta mereka, karena itulah republik ini ada. Pengorbanan yang kita berikan dengan menggunakan produk lokal jauh kurang menyakitkan dan kurang mengancam nyawa dibandingkan dengan yang dilakukan oleh para pendiri negeri ini. Gunakan aturan 80:20 bila memungkinkan, alokasikan 80% dari pengeluaran harian untuk menggunakan produk lokal.

Mari dengarkan suara Leo Kristi yang patriotik: Jabat tangan erat-erat Saudaraku.
Merdeka !!!! (Terbit 22 Agustus 2007).


Bagikan ke:
Facebook, Twitter, WhatsApp, Telegram, Email. Print!.

, seorang pejalan musiman dan penyuka sejarah. Penduduk Jakarta yang sedang tinggal di Cikarang Utara. Traktir BA secangkir kopi. Secangkir saja ya! Oktober 29, 2017.