Lanjutan Kisah Nelayan dan Jin Ifrit: Ketika si nelayan tua mengatakan bahwa ia tidak percaya Ifrit bisa berada di dalam botol kecuali melihat dengan matanya sendiri, maka tubuh Ifrit mulai bergetar dan bergoyang ke sana kemari sampai ia berubah menjadi asap.
Asap itu, setelah lebih dulu membubung ke langit, mulailah turun dan merayap masuk ke dalam botol sampai habis semuanya.
Si Nelayan segera menyambar tutup timah, dan menutup mulut botol dengan segel Sulaiman. Kemudian ia berseru kepada Ifrit:
"Hai kamu yang ada di dalam sana! Pikir dan pilihlah cara kematian yang kamu inginkan, kalau tidak aku akan melemparkanmu ke laut lagi dan membangun rumah untuk diriku sendiri di dekat pantai ini.
Aku akan mencegah siapa pun juga untuk memancing atau menjala ikan di sini dengan mengatakan bahwa Ifrit ada di dalam air di bawah sana itu. Jika ada yang menariknya keluar, maka ia akan memberi mereka pilihan kematian sebagai hadiah!"
Ketika Ifrit mendengar ejekan si nelayan, ia menjadi sangat murka dan mencoba keluar dari botol, tetapi tak bisa; dan barulah sadar bahwa ia telah terkurung lagi di dalam botol dengan segel Sulaiman pada tutupnya. Tidak tidak ada satu pun jin yang bisa menang melawan segel itu. Merasa bahwa nelayan itu sedang membawanya ke laut, ia berseru:
"Tidak, tidak, tidak, kataku!"
Si Nelayan hanya menjawab: "Ya, ya, ya!"
Merasa terpojok, jin Ifrit mulai berubah halus kata-katanya dan bertanya dengan rendah hati tentang apa yang akan dilakukan dengannya.
"Aku akan melemparkanmu ke laut!" kata nelayan itu, "Seribu delapan ratus tahun kamu telah berada di dalam sana, dan aku akan pastikan bahwa kamu akan tetap berada di sana sampai hari Penghakiman tiba.
Apakah aku tidak memohon kepadamu untuk mengampuniku dan bahwa Allah mungkin akan mengampunimu, untuk tidak membunuhku agar Allah tidak membunuhmu? Tapi kau tolak permintaanku dan memperlakukan aku dengan jahat. Oleh karena itu Allah menyerahkanmu ke tanganku dan aku telah mengalahkan kamu."
Ifrit ketakutan dan meratap:
"Buka botol ini wahai nelayan yang baik, dan aku akan menumpuk harta berlimpah buatmu!"
"Kau pembohong, O pengkhianat!" jawab nelayan itu. "Ini antara kamu dan aku, sebagaimana yang terjadi antara Wazir (penasihat) Raja Yunan dan Rayyan si Tabib."
"Apa yang terjadi diantara mereka itu?" tanya Ifrit. "Dan kisah apa pula ini?", dan si Nelayan pun bercerita.
Ketahuilah, hai Ifrit, bahwa dahulu kala ada seorang raja bernama Yunan di kota Fars di tanah Rum. Ia adalah raja yang amat kaya dan berkuasa, kuat dalam caranya memerintah dan bersekutu dengan banyak keluarga raja.
Tapi suatu ketika tubuh sang raja dirusak oleh penyakit kusta, yang membuat bingung semua dokter dan para cerdik pandai. Obat-obatan, pil, dan salep tidak ada satu pun yang berguna dan tidak ada tabib yang bisa mengetahui obat untuk penyakitnya itu.
Pada suatu hari seorang tabib tua yang sangat terkenal, bernama Rayyan, datang ke kota Raja Yunan. Ia telah membaca buku-buku yang ditulis dalam bahasa Yunani, Persia, Latin, Arab, dan Siria.
Ia telah mempelajari seni meracik obat dan ilmu perbintangan, mengetahui prinsip dan aturannya masing-masing, serta pengaruh baik dan buruknya.
Ia juga mengetahui manfaat semua tanaman dan herbal, yang segar maupun kering, serta pengaruh baik dan buruknya. Ditambah lagi ia mempelajari pula ilmu filsafat dan semua ilmu penyembuhan serta ilmu pengetahuan lainnya.
Setelah sang tabib tinggal di kota raja selama beberapa hari, ia mendengar tentang penyakit kusta yang menyerang raja dan kegagalan total semua tabib dan orang bijak yang telah berupaya mengobatinya.
Sang tabib memikirkan persoalan itu selama semalam. Ketika ia bangun esoknya, cahaya matahari sudah bersinar cerah mencium permukaan bumi. Ia lalu mengenakan pakaian terbaiknya dan pergi ke istana untuk bertemu sang Raja.
Sambil mencium telapak tangan Raja Yunan, ia mendoakan untuk raja kekuatan dan kemuliaan abadi, serta berkah melimpah dari Allah. Setelah itu, ia memberi tahu siapa dirinya dan berkata:
"Tuanku, hamba telah diberitahu tentang penyakit paduka dan bahwa tidak ada tabib yang dapat menemukan cara untuk menghilangkannya. Oleh sebab itu hamba datang untuk menyembuhkan paduka, namun hamba tidak akan memberi Tuanku obat apa pun untuk diminum atau salep apa pun untuk dioleskan."
"Lalu bagaimana caranya untuk menyembuhkan penyakitku ini?" tanya Raja Yunan dengan heran, "karena, demi Allah, jika bisa menyembuhkan penyakitku, maka aku akan membuatmu kaya, juga anak-anak dari anak-anakmu nanti. Aku akan kabulkan keinginanmu dan mewujudkannya untukmu, dan kamu akan menemaniku minum dan menjadi temanku."
Lalu raja memberi jubah indah dan hadiah lainnya dan bertanya lagi:
"Benarkah kamu akan menyembuhkan penyakitku ini tanpa obat atau salep?"
"Memang benar Tuanku," jawab sang tabib. "Juga obatnya tidak menimbulkan rasa letih atau pun sakit."
Kemudian Raja, yang semakin bertambah heran, bertanya dengan penuh semangat:
"Tabib hebat! Hari apa, jam berapa pengobatannya akan dilakukan? Cepatlah melakukannya, wahai tabib yang baik."
"Hamba mendengar perintah paduka dan hamba patuh!" jawab si tabib, "Besok hamba akan melakukannya."
Rayyan pun keluar dari istana. Ia menyewa sebuah rumah dan mengisinya dengan buku, obat, dan tanaman aromatik miliknya. Kemudian ia menyiapkan ekstrak obat-obatan dan herbal, membuat palu berongga melengkung pendek, memasukkan obat ke dalamnya dan kemudian dipasang pegangan. Tabib itu juga membuat bola sebaik yang ia bisa.
Keesokan harinya, ketika pekerjaannya telah selesai, si tabib berangkat ke istana dan setelah mencium tangan Raja ia berkata bahwa raja harus menunggang kuda di lapangan polo, dan berolahraga polo di sana dengan palu dan bola yang telah disiapkannya.
Sang Raja pun pergi ke lapangan polo ditemani para pangeran, bendahara kerajaan, wazir (penasihat raja), dan para pembesar kerajaan. Kedatangannya disambut oleh Rayyan, si tabib, yang memberinya palu dan berkata:
"Silahkan paduka ambil palu ini dan memegangnya dengan cara seperti ini; kemudian pukul bola sekeras yang Tuanku bisa. Lanjutkan dan lakukan ini sampai telapak tangan dan seluruh tubuh paduka berkeringat. Dengan cara ini obat yang hamba buat akan masuk melalui telapak tangan paduka dan menyebar ke seluruh tubuh.
Ketika paduka sudah berkeringat dan obatnya telah cukup waktu untuk bekerja, silahkan paduka kembali ke istana dan segera mandi di tempat pemandian uap. Setelah itu paduka akan sembuh. Sementara itu, semoga damai bersama paduka!"
Kemudian Raja Yunan mengambil palu itu, mencengkeramnya dengan kuat, ketika pasukan berkuda yang dipilihnya telah menaiki kuda mereka dan membuat bola telah bergerak, ia memacu kudanya mendekati bola dan lalu memukulnya sekuat yang ia bisa dan mengarahkan kudanya untuk mengejar bola lagi.
Ia terus melakukan hal itu sampai kedua telapak tangannya dan seluruh tubuhnya berkeringat, serta obatnya masuk melalui telapak tangan dan mengalir ke seluruh tubuhnya.
Ketika Rayyan yang bijak melihat obatnya telah menyebar ke seluruh tubuh Raja, ia meminta raja untuk kembali ke istana. Raja Yunan pun memerintahkan agar hammam (pemandian uap) dipersiapkan. Setekah raja selesai mandi di hammam dan berpakaian lagi, ia kembali ke istana dan langsung tidur dengan amat nyenyak.
Sementara itu, Rayyan sang tabib juga tidur di rumahnya. Segera setelah bangun di pagi hari, ia pergi ke istana dan setelah mmenghadap, ia mencium tangan Raja dan dengan takzim melantunkan syair ini:
O ayah yang terpilih dari ucap manis para raja,
Wajah cerah bercahaya yang mendinginkan merahnya api,
Wajah cahaya muda, yang akan tetap terlihat tanpa pernah redup
Waktu membuat kerut di hadapan masa,
Seperti awan sejuk menutupi bukit yang kering
Jadi paduka telah menutupiku dengan hadiah cinta,
Yang diri paduka sendiri adalah puncak bukit kemuliaan,
Kesayangan takdir. Dia tidak bisa menolak apa pun untuk paduka.
Mendengar sang tabib mengucapkan syair-syair itu, Raja bangkit dan menghamburkan dirinya memeluk si tabib, lalu membawanya duduk di sisinya, dan memberinya jubah kehormatan yang terlihat sangat luar biasa.
Karena kau harus tahu, bahwa ketika hari sebelumnya Raja keluar dari hammam, ia melihat ke tubuhnya dan tidak menemukan sama sekali jejak kusta di sana, melainkan kulitnya menjadi murni dan tidak bernoda layaknya perak perawan. Karena itu ia begitu gembira seolah-olah hatinya akan pecah, berjalanlah ia dengan dada membusung dan kepala terangkat tinggi.
Itulah sebabnya raja buru-buru bangkit dan menyuruh sang tabib duduk di sisinya. Kemudian para budak membawa daging dan minuman lezat untuk mereka nikmati sepanjang hari, dan pada malam hari Raja memberikan sang tabib dua ribu dinar lebih dan selain jubah kehormatan dan hadiah lainnya, raja juga memberinya seekor kuda. Sang tabib pun kembali ke rumahnya dengan hati yang gembira.
Adapun sang Raja, ia terus mengagumi seni pengobatan tabib itu dan berkali-kali ia berkata:
"Dia telah menyembuhkan aku dari dari luar tubuhku, bahkan tidak mengolesiku dengan salep sekalipun. Ya Allah, begitu luar biasanya ilmu yang telah ia tunjukkan dan tugasku setidaknya adalah membanjirinya dengan hadiah dan menjadikannya teman yang hebat untuk selamanya."
Dan malam itu Raja Yunan berbaring untuk tidur dalam kegembiraan yang meluap-luap, karena mengetahui bahwa tubuhnya telah benar-benar bersih dan sembuh dari penyakitnya.
Keesokan paginya ketika Raja duduk di singgasananya dengan para petinggi kerajaan berdiri di sekelilingnya, pangeran dan penasihat duduk di kanan dan kirinya, beliau memanggil Rayyan, yang datang menghadap dan mencium tangannya.
Kemudian Raja bangkit berdiri seperti sebelumnya dan meminta sang tabib untuk duduk di sampingnya, makan bersamanya, dan memberinya lebih banyak jubah kehormatan dan harta benda berharga lainnya, berharap ia panjang umur seperti yang telah ia berikan kepada mereka semua.
Setelah itu, raja berbincang dengan sang tabib sampai malam tiba dan memberinya hadiah lagi lima jubah kehormatan dan seribu dinar. Malam itu juga si tabib kembali ke rumahnya sambil berdoa untuk keselamatan dan keberkahan buat Raja.
Ketika matahari terbit keesokan paginya, Raja masuk ke dalam balairung dan duduk di singgasananya, sementara para pangeran, wazir (penasihat raja), dan bendahara kerajaan berdiri di sekelilingnya sebagaimana biasa.
Namun diantara para wazir ada satu yang mempunyai wajah menjijikkan dan ekspresi culas, pria kejam dengan pertanda jahat, sangat serakah, orang iri yang selalu dimakan dengan kedengkian.
Ketika si Wazir melihat Raja kembali mengajak Rayyan untuk duduk di sampingnya dan memberikan hadiah kepadanya, ia menjadi sakit hati dan bersumpah untuk menjatuhkan orang baik itu.
Pepatah mengatakan: "Setiap orang iri, yang kuat mengungkapkannya secara terbuka, yang lemah secara diam-diam."
Pada suatu hari, ketika raja sedang sendirian, si Wazir datang menghadap Raja, lalu bersujud dan berkata:
"Wahai raja sepanjang masa, yang menghadiahi semua orang dengan pakaian indah dari kebaikannya, di hati hamba ada nasihat yang terasa amat berat, namun hamba tidak akan pernah menyembunyikan dari paduka keberadaan seorang bajingan dan pelayan yang palsu."
Terganggu oleh kata-kata jahat ini, Raja memerintahkannya untuk menjelaskan, dan si wazir melanjutkan:
"O Raja yang mulia, orang dahulu punya pepatah: "Dia yang mengabaikan akhir dan akibat tidak akan pernah berkembang. Sekarang hamba telah melihat, ya bahkan sekarang ini, tuanku gagal untuk mempertimbangkan akhir dan akibatnya dalam memberikan hadiah kepada musuhnya, kepada seorang pria yang ingin menjatuhkan pemerintahannya; menumpuknya dengan kemurahan hati, menimbunnya dengan kebaikan. Sungguh, Tuanku, ini membuat hamba takut akan keselamatan paduka Raja."
Mendengar kata-kata beracun ini Raja menjadi pucat dan gelisah. Setelah terdiam agak lama, ia pun bertanya:
"Siapa pria yang kamu kira adalah musuhku?"
"Jika paduka tidur, O Raja, hamba berdoa agar paduka bangun. Hamba berbicara tentang Rayyan si tabib," kata wazir.
"Dia adalah temanku," jawab Raja dengan marah, "dia lebih dekat denganku daripada semua orang di kerajaan ini; karena dia memberiku sesuatu untuk dipegang di tangan yang mengambil kusta dariku, membebaskan aku dari penyakit yang tidak ada seorang pun tabib lain bisa melakukannya. Saat ini, di dunia ini, baik di Timur maupun di Barat, apakah ada yang lain seperti dia. Beraninya kau mengatakan hal-hal ini kepada dia?
Aku beri tahu kamu bahwa mulai hari ini aku akan memberinya gaji dan tunjangan sehingga dia mendapatkan seribu dinar setiap bulan. Bahkan jika aku memberinya separuh dari kerajaanku, itu adalah hal kecil buatnya.
Tidak, tidak, aku yakin bahwa kamu telah mengatakan semua ini karena rasa iri dan dengki, seperti yang aku pernah dengar dalam kisah tentang Raja Sindbad!" (bersambung ke Kisah Raja Sinbad dan Elang, dari Kisah 1001 Malam).
Asap itu, setelah lebih dulu membubung ke langit, mulailah turun dan merayap masuk ke dalam botol sampai habis semuanya.
Si Nelayan segera menyambar tutup timah, dan menutup mulut botol dengan segel Sulaiman. Kemudian ia berseru kepada Ifrit:
"Hai kamu yang ada di dalam sana! Pikir dan pilihlah cara kematian yang kamu inginkan, kalau tidak aku akan melemparkanmu ke laut lagi dan membangun rumah untuk diriku sendiri di dekat pantai ini.
Aku akan mencegah siapa pun juga untuk memancing atau menjala ikan di sini dengan mengatakan bahwa Ifrit ada di dalam air di bawah sana itu. Jika ada yang menariknya keluar, maka ia akan memberi mereka pilihan kematian sebagai hadiah!"
Ketika Ifrit mendengar ejekan si nelayan, ia menjadi sangat murka dan mencoba keluar dari botol, tetapi tak bisa; dan barulah sadar bahwa ia telah terkurung lagi di dalam botol dengan segel Sulaiman pada tutupnya. Tidak tidak ada satu pun jin yang bisa menang melawan segel itu. Merasa bahwa nelayan itu sedang membawanya ke laut, ia berseru:
"Tidak, tidak, tidak, kataku!"
Si Nelayan hanya menjawab: "Ya, ya, ya!"
Merasa terpojok, jin Ifrit mulai berubah halus kata-katanya dan bertanya dengan rendah hati tentang apa yang akan dilakukan dengannya.
"Aku akan melemparkanmu ke laut!" kata nelayan itu, "Seribu delapan ratus tahun kamu telah berada di dalam sana, dan aku akan pastikan bahwa kamu akan tetap berada di sana sampai hari Penghakiman tiba.
Apakah aku tidak memohon kepadamu untuk mengampuniku dan bahwa Allah mungkin akan mengampunimu, untuk tidak membunuhku agar Allah tidak membunuhmu? Tapi kau tolak permintaanku dan memperlakukan aku dengan jahat. Oleh karena itu Allah menyerahkanmu ke tanganku dan aku telah mengalahkan kamu."
Ifrit ketakutan dan meratap:
"Buka botol ini wahai nelayan yang baik, dan aku akan menumpuk harta berlimpah buatmu!"
"Kau pembohong, O pengkhianat!" jawab nelayan itu. "Ini antara kamu dan aku, sebagaimana yang terjadi antara Wazir (penasihat) Raja Yunan dan Rayyan si Tabib."
"Apa yang terjadi diantara mereka itu?" tanya Ifrit. "Dan kisah apa pula ini?", dan si Nelayan pun bercerita.
Ketahuilah, hai Ifrit, bahwa dahulu kala ada seorang raja bernama Yunan di kota Fars di tanah Rum. Ia adalah raja yang amat kaya dan berkuasa, kuat dalam caranya memerintah dan bersekutu dengan banyak keluarga raja.
Tapi suatu ketika tubuh sang raja dirusak oleh penyakit kusta, yang membuat bingung semua dokter dan para cerdik pandai. Obat-obatan, pil, dan salep tidak ada satu pun yang berguna dan tidak ada tabib yang bisa mengetahui obat untuk penyakitnya itu.
Pada suatu hari seorang tabib tua yang sangat terkenal, bernama Rayyan, datang ke kota Raja Yunan. Ia telah membaca buku-buku yang ditulis dalam bahasa Yunani, Persia, Latin, Arab, dan Siria.
Ia telah mempelajari seni meracik obat dan ilmu perbintangan, mengetahui prinsip dan aturannya masing-masing, serta pengaruh baik dan buruknya.
Ia juga mengetahui manfaat semua tanaman dan herbal, yang segar maupun kering, serta pengaruh baik dan buruknya. Ditambah lagi ia mempelajari pula ilmu filsafat dan semua ilmu penyembuhan serta ilmu pengetahuan lainnya.
Setelah sang tabib tinggal di kota raja selama beberapa hari, ia mendengar tentang penyakit kusta yang menyerang raja dan kegagalan total semua tabib dan orang bijak yang telah berupaya mengobatinya.
Sang tabib memikirkan persoalan itu selama semalam. Ketika ia bangun esoknya, cahaya matahari sudah bersinar cerah mencium permukaan bumi. Ia lalu mengenakan pakaian terbaiknya dan pergi ke istana untuk bertemu sang Raja.
Sambil mencium telapak tangan Raja Yunan, ia mendoakan untuk raja kekuatan dan kemuliaan abadi, serta berkah melimpah dari Allah. Setelah itu, ia memberi tahu siapa dirinya dan berkata:
"Tuanku, hamba telah diberitahu tentang penyakit paduka dan bahwa tidak ada tabib yang dapat menemukan cara untuk menghilangkannya. Oleh sebab itu hamba datang untuk menyembuhkan paduka, namun hamba tidak akan memberi Tuanku obat apa pun untuk diminum atau salep apa pun untuk dioleskan."
"Lalu bagaimana caranya untuk menyembuhkan penyakitku ini?" tanya Raja Yunan dengan heran, "karena, demi Allah, jika bisa menyembuhkan penyakitku, maka aku akan membuatmu kaya, juga anak-anak dari anak-anakmu nanti. Aku akan kabulkan keinginanmu dan mewujudkannya untukmu, dan kamu akan menemaniku minum dan menjadi temanku."
Lalu raja memberi jubah indah dan hadiah lainnya dan bertanya lagi:
"Benarkah kamu akan menyembuhkan penyakitku ini tanpa obat atau salep?"
"Memang benar Tuanku," jawab sang tabib. "Juga obatnya tidak menimbulkan rasa letih atau pun sakit."
Kemudian Raja, yang semakin bertambah heran, bertanya dengan penuh semangat:
"Tabib hebat! Hari apa, jam berapa pengobatannya akan dilakukan? Cepatlah melakukannya, wahai tabib yang baik."
"Hamba mendengar perintah paduka dan hamba patuh!" jawab si tabib, "Besok hamba akan melakukannya."
Rayyan pun keluar dari istana. Ia menyewa sebuah rumah dan mengisinya dengan buku, obat, dan tanaman aromatik miliknya. Kemudian ia menyiapkan ekstrak obat-obatan dan herbal, membuat palu berongga melengkung pendek, memasukkan obat ke dalamnya dan kemudian dipasang pegangan. Tabib itu juga membuat bola sebaik yang ia bisa.
Keesokan harinya, ketika pekerjaannya telah selesai, si tabib berangkat ke istana dan setelah mencium tangan Raja ia berkata bahwa raja harus menunggang kuda di lapangan polo, dan berolahraga polo di sana dengan palu dan bola yang telah disiapkannya.
Sang Raja pun pergi ke lapangan polo ditemani para pangeran, bendahara kerajaan, wazir (penasihat raja), dan para pembesar kerajaan. Kedatangannya disambut oleh Rayyan, si tabib, yang memberinya palu dan berkata:
"Silahkan paduka ambil palu ini dan memegangnya dengan cara seperti ini; kemudian pukul bola sekeras yang Tuanku bisa. Lanjutkan dan lakukan ini sampai telapak tangan dan seluruh tubuh paduka berkeringat. Dengan cara ini obat yang hamba buat akan masuk melalui telapak tangan paduka dan menyebar ke seluruh tubuh.
Ketika paduka sudah berkeringat dan obatnya telah cukup waktu untuk bekerja, silahkan paduka kembali ke istana dan segera mandi di tempat pemandian uap. Setelah itu paduka akan sembuh. Sementara itu, semoga damai bersama paduka!"
Kemudian Raja Yunan mengambil palu itu, mencengkeramnya dengan kuat, ketika pasukan berkuda yang dipilihnya telah menaiki kuda mereka dan membuat bola telah bergerak, ia memacu kudanya mendekati bola dan lalu memukulnya sekuat yang ia bisa dan mengarahkan kudanya untuk mengejar bola lagi.
Ia terus melakukan hal itu sampai kedua telapak tangannya dan seluruh tubuhnya berkeringat, serta obatnya masuk melalui telapak tangan dan mengalir ke seluruh tubuhnya.
Ketika Rayyan yang bijak melihat obatnya telah menyebar ke seluruh tubuh Raja, ia meminta raja untuk kembali ke istana. Raja Yunan pun memerintahkan agar hammam (pemandian uap) dipersiapkan. Setekah raja selesai mandi di hammam dan berpakaian lagi, ia kembali ke istana dan langsung tidur dengan amat nyenyak.
Sementara itu, Rayyan sang tabib juga tidur di rumahnya. Segera setelah bangun di pagi hari, ia pergi ke istana dan setelah mmenghadap, ia mencium tangan Raja dan dengan takzim melantunkan syair ini:
O ayah yang terpilih dari ucap manis para raja,
Wajah cerah bercahaya yang mendinginkan merahnya api,
Wajah cahaya muda, yang akan tetap terlihat tanpa pernah redup
Waktu membuat kerut di hadapan masa,
Seperti awan sejuk menutupi bukit yang kering
Jadi paduka telah menutupiku dengan hadiah cinta,
Yang diri paduka sendiri adalah puncak bukit kemuliaan,
Kesayangan takdir. Dia tidak bisa menolak apa pun untuk paduka.
Mendengar sang tabib mengucapkan syair-syair itu, Raja bangkit dan menghamburkan dirinya memeluk si tabib, lalu membawanya duduk di sisinya, dan memberinya jubah kehormatan yang terlihat sangat luar biasa.
Karena kau harus tahu, bahwa ketika hari sebelumnya Raja keluar dari hammam, ia melihat ke tubuhnya dan tidak menemukan sama sekali jejak kusta di sana, melainkan kulitnya menjadi murni dan tidak bernoda layaknya perak perawan. Karena itu ia begitu gembira seolah-olah hatinya akan pecah, berjalanlah ia dengan dada membusung dan kepala terangkat tinggi.
Itulah sebabnya raja buru-buru bangkit dan menyuruh sang tabib duduk di sisinya. Kemudian para budak membawa daging dan minuman lezat untuk mereka nikmati sepanjang hari, dan pada malam hari Raja memberikan sang tabib dua ribu dinar lebih dan selain jubah kehormatan dan hadiah lainnya, raja juga memberinya seekor kuda. Sang tabib pun kembali ke rumahnya dengan hati yang gembira.
Adapun sang Raja, ia terus mengagumi seni pengobatan tabib itu dan berkali-kali ia berkata:
"Dia telah menyembuhkan aku dari dari luar tubuhku, bahkan tidak mengolesiku dengan salep sekalipun. Ya Allah, begitu luar biasanya ilmu yang telah ia tunjukkan dan tugasku setidaknya adalah membanjirinya dengan hadiah dan menjadikannya teman yang hebat untuk selamanya."
Dan malam itu Raja Yunan berbaring untuk tidur dalam kegembiraan yang meluap-luap, karena mengetahui bahwa tubuhnya telah benar-benar bersih dan sembuh dari penyakitnya.
Keesokan paginya ketika Raja duduk di singgasananya dengan para petinggi kerajaan berdiri di sekelilingnya, pangeran dan penasihat duduk di kanan dan kirinya, beliau memanggil Rayyan, yang datang menghadap dan mencium tangannya.
Kemudian Raja bangkit berdiri seperti sebelumnya dan meminta sang tabib untuk duduk di sampingnya, makan bersamanya, dan memberinya lebih banyak jubah kehormatan dan harta benda berharga lainnya, berharap ia panjang umur seperti yang telah ia berikan kepada mereka semua.
Setelah itu, raja berbincang dengan sang tabib sampai malam tiba dan memberinya hadiah lagi lima jubah kehormatan dan seribu dinar. Malam itu juga si tabib kembali ke rumahnya sambil berdoa untuk keselamatan dan keberkahan buat Raja.
Ketika matahari terbit keesokan paginya, Raja masuk ke dalam balairung dan duduk di singgasananya, sementara para pangeran, wazir (penasihat raja), dan bendahara kerajaan berdiri di sekelilingnya sebagaimana biasa.
Namun diantara para wazir ada satu yang mempunyai wajah menjijikkan dan ekspresi culas, pria kejam dengan pertanda jahat, sangat serakah, orang iri yang selalu dimakan dengan kedengkian.
Ketika si Wazir melihat Raja kembali mengajak Rayyan untuk duduk di sampingnya dan memberikan hadiah kepadanya, ia menjadi sakit hati dan bersumpah untuk menjatuhkan orang baik itu.
Pepatah mengatakan: "Setiap orang iri, yang kuat mengungkapkannya secara terbuka, yang lemah secara diam-diam."
Pada suatu hari, ketika raja sedang sendirian, si Wazir datang menghadap Raja, lalu bersujud dan berkata:
"Wahai raja sepanjang masa, yang menghadiahi semua orang dengan pakaian indah dari kebaikannya, di hati hamba ada nasihat yang terasa amat berat, namun hamba tidak akan pernah menyembunyikan dari paduka keberadaan seorang bajingan dan pelayan yang palsu."
Terganggu oleh kata-kata jahat ini, Raja memerintahkannya untuk menjelaskan, dan si wazir melanjutkan:
"O Raja yang mulia, orang dahulu punya pepatah: "Dia yang mengabaikan akhir dan akibat tidak akan pernah berkembang. Sekarang hamba telah melihat, ya bahkan sekarang ini, tuanku gagal untuk mempertimbangkan akhir dan akibatnya dalam memberikan hadiah kepada musuhnya, kepada seorang pria yang ingin menjatuhkan pemerintahannya; menumpuknya dengan kemurahan hati, menimbunnya dengan kebaikan. Sungguh, Tuanku, ini membuat hamba takut akan keselamatan paduka Raja."
Mendengar kata-kata beracun ini Raja menjadi pucat dan gelisah. Setelah terdiam agak lama, ia pun bertanya:
"Siapa pria yang kamu kira adalah musuhku?"
"Jika paduka tidur, O Raja, hamba berdoa agar paduka bangun. Hamba berbicara tentang Rayyan si tabib," kata wazir.
"Dia adalah temanku," jawab Raja dengan marah, "dia lebih dekat denganku daripada semua orang di kerajaan ini; karena dia memberiku sesuatu untuk dipegang di tangan yang mengambil kusta dariku, membebaskan aku dari penyakit yang tidak ada seorang pun tabib lain bisa melakukannya. Saat ini, di dunia ini, baik di Timur maupun di Barat, apakah ada yang lain seperti dia. Beraninya kau mengatakan hal-hal ini kepada dia?
Aku beri tahu kamu bahwa mulai hari ini aku akan memberinya gaji dan tunjangan sehingga dia mendapatkan seribu dinar setiap bulan. Bahkan jika aku memberinya separuh dari kerajaanku, itu adalah hal kecil buatnya.
Tidak, tidak, aku yakin bahwa kamu telah mengatakan semua ini karena rasa iri dan dengki, seperti yang aku pernah dengar dalam kisah tentang Raja Sindbad!" (bersambung ke Kisah Raja Sinbad dan Elang, dari Kisah 1001 Malam).
Sponsored Link
Sponsored Link
Sponsored Link
Bagikan ke:
Facebook, Twitter, WhatsApp, Telegram, Email. Print!.