Dongeng, Hiburan

Dongeng Anak : Putri Duyung Hilda

Dongeng anak Putri Duyung Hilda ini merupakan terjemahan bebas dari cerita pendek dalam buku The Sandman's Hour, Stories for Bedtime, karangan Abbie Phillips Walker dengan ilustrasi oleh Rhoda. C. Chase, yang dimuat di laman Gutenberg Project.

Dongeng anak ini mengajak anak-anak untuk berimajinasi dan memperkenalkan mereka dengan mahluk khayal yang ada dalam mitologi Yunani, selain mengajarkan keberanian, kermahtamahan sebagai pemilik rumah, dan kesenangan dalam berbagi cerita.

Putri Duyung Hilda

Ayah Hilda adalah seorang pelaut dan sering pergi berlayar dalam perjalanan panjang yang lama. Hilda tinggal di sebuah pondok kecil di tepi pantai dan biasa memintal dan merajut saat ayahnya pergi, karena ibunya sudah meninggal dan ia harus menjadi pengurus rumah.

Dongen Anak Putri Duyung Hilda

Kadang ia pergi keluar rumah dengan naik perahu untuk menangkap ikan, karena Hilda menyukai air. Ia lahir dan selalu tinggal di pantai. Ketika laut sangat tenang, Hilda akan melihat ke kedalaman airnya yang biru dan mencoba melihat apakah ada putri duyung di sana.

Hilda sangat ingin untuk melihat putri duyung setelah ia mendengar ayahnya menceritakan kisah-kisah indah tentang mereka - bagaimana mereka bernyanyi dan menyisir rambut panjangnya yang indah.

Suatu malam ketika angin bertiup kencang dan hujan deras tercurah ke atap rumahnya, Hilda mendengar bunyi peluit keras sebagai peringatan agar perahu para pelaut terhindar dari batu karang.

Hilda menyalakan lentera besar milik ayahnya, lalu berlari ke pantai dan menggantungkan lenteranya di tiang kapal karam yang teronggok di sana, agar para pelaut tidak menabrakkan kapalnya.

Hilda kecil tidak merasa takut, karena ia telah sering melihat badai seperti itu. Ketika kembali ke pondok rumahnya, ia melihat pintunya tidak tertutup, namun mengira bahwa angin kencanglah yang telah membuatnya terbuka.

Namun ketika masuk ke dalam rumah ia melihat ada seorang gadis kecil dengan rambut indah sedang duduk di lantai. Pada awalnya Hilda merasa sedikit ketakutan, karena gadis itu mengenakan gaun hijau yang melilit tubuhnya dengan cara yang sangat aneh.

"Aku melihat lampumu," kata gadis kecil itu, "dan masuk ke dalam rumahmu. Angin telah meniupku jauh dari pantai. Aku seharusnya tidak datang pada malam seperti ini, tapi gelombang besar itu begitu menggodaku sehingga aku melompat untuk menungganginya, tapi ternyata aku berada lebih dekat ke pantai daripada yang kukira, sehingga akhirnya mendarat tepat di dekat pintu rumahmu."

"Astaga!" detak jantung Hilda berpacu dengan cepat, karena ia tahu bahwa banak ini pasti putri duyung. Kemudian ia melihat lagi apa yang ia pikir gaun hijau sebenarnya adalah tubuh dan ekornya yang bergelung di lantai, dan itu terlihat sangat indah saat cahaya lampu membuatnya berkilau.

"Maukah kau untuk makan malam?" tanya Hilda yang ingin berlaku ramah kepada tamunya, meskipun ia sama sekali tidak tahu apa yang menjadi makanan putri duyung.

"Terima kasih," jawab putri duyung. "Aku tidak terlalu lapar, tapi jika kau bisa memberiku sandwich rumput laut, aku akan menyukainya."

Hilda sebenarnya tak tahu harus berbuat apa, tapi ia pergi ke lemari dan mengeluarkan roti, yang ia olesi dengan mentega segar yang enak, dan mengisi gelas dengan susu.

Ia berkata bahwa ia menyesal tidak punya sandwich rumput laut, tetapi berharap putri duyung itu akan menyukai apa yang telah ia buat. Putri duyung kecil itu tanpa ragu memakan sandwich dan meminum susunya, yang membuat Hilda merasa senang.

"Apakah kau tinggal di sini sepanjang waktu?" tanya si putri duyung kepada Hilda. "Menurutku kau bisa sangat kepanasan dan tentu ingin berada di dalam air."

Hilda memberitahunya bahwa ia tidak bisa hidup di dalam air seperti yang putri duyung lakukan, karena tubuh mereka berbeda.

"Oh, maafkan aku!" jawab putri duyung. "Kuharap kau akan mengunjungiku suatu saat nanti; kami memiliki saat-saat yang menyenangkan, saudariku dan aku, di bawah laut sana."

"Ceritakan kepadaku tentang rumahmu," kata Hilda.

"Ke sini dan duduklah di sampingku dan aku akan menceritakannya untukmu," jawabnya.

Hilda duduk di lantai di sampingnya. Putri duyung merasakan sentuhan pakaian Hilda dan berpikir pasti repot punya begitu banyak baju yang menempel di tubuh.

"Bagaimana caranya kau berenang?" ia bertanya.

Hilda berkata bahwa ia memakai pakaian renang, tetapi putri duyung menganggap itu sangat merepotkan.

"Pertama, aku akan memberitahumu tentang rumah kami," ia memulai. "Ayahku bernama Neptunus, dan kami tinggal di kastil yang indah di dasar laut yang dibangun dari mutiara.

Di sekeliling kastil tumbuh tumbuhan hijau yang indah, dan pasir putih halus juga mengelilinginya. Semua saudariku tinggal di sana, dan selalu merasa senang bisa pulang setelah kami bermain ke permukaan lautan, karena rumah kami sangat nyaman dan sejuk. Angin tidak pernah bertiup di sana dan hujan tidak bisa mengganggu kami."

"Kau tidak keberatan basah oleh hujan, kan?" tanya Hilda.

"Oh tidak!" kata putri duyung, "tapi hujan menyakiti kami. Hujan jatuh menjadi titik-titik kecil tajam yang terasa seperti kerikil."

"Bagaimana kau tahu rasanya kerikil?" tanya Hilda.

"Oh, terkadang nereid (mahluk mitos) datang dan mengganggu kami; mereka melempar kerikil dan mengaduk air sehingga kami tidak bisa melihat."

"Siapa nereid itu?" tanya Hilda.

“Mereka adalah nymph (sejenis peri laut); tapi kami biasanya mengirim hiu penjaga untuk mengusir mereka. Kami adalah siren (sejenis peri laut lainnya), dan mereka sangat iri pada kami karena kami lebih cantik dari mereka,” kata putri duyung.

Hilda berpikir bahwa si putri duyung itu agak sombong, tetapi putri duyung kecil itu tampaknya tidak sadar bahwa telah memberi kesan seperti itu.

"Bagaimana kau menemukan jalan pulang setelah kau berada di permukaan lautan?" tanya Hilda.

"Oh, ketika ayah Neptunus menghitung jumlah kami dan menemukan ada yang hilang, ia akan mengirim ikan paus untuk menyemburkan air ke atas permukaan air laut sebagai tanda; kadang ia mengirim lebih dari satu, dan kami tahu ke mana harus menyelam ketika melihatnya."

"Apa yang kau makan selain sandwich rumput laut?" tanya Hilda.

"Telur ikan, dan sedikit ikan," jawab putri duyung. "Saat kami mengadakan pesta, kami punya kue."

Hilda mengerjapkan matanya. "Di mana kau mendapatkan kue?" ia bertanya.

"Kami membuatnya sendiri dengan cara menggiling karang menjadi tepung dan mencampurnya dengan telur ikan; lalu kami menaruhnya di atas cangkang dan membawanya ke permukaan air sampai sinar matahari membuatnya matang. Kami mengumpulkan anggur dari arus teluk dan punya buih-laut serta limun untuk diminum. " "Limun?" kata Hilda. "Di mana kau mendapatkan lemon?"

"Kenapa, lemon laut tentu saja!" jawab putri duyung; "Itu dari ikan kerang kecil berwarna lemon."

"Apa yang kau lakukan di pesta kalian - Kau tidak bisa menari?" kata Hilda.

"Kami berenang mengikuti musik, berputar-putar, menyelam, dan meluncur."

"Tapi musiknya - di mana kau bisa mendapatkan pemain musiknya?" Hilda bertanya lagi.

"Kami punya banyak pemain musik," jawab putri duyung. "Gajah laut meniup terompet untuk kami; lalu ada tangkur buaya (sejenis ikan laut kerabat kuda laut), ikan todak memainkan perkusi dengan pedangnya, bongkah kerang laut, dan dengan semuanya itu kami bisa membuat musik yang indah. Tapi sudah larut malam sekarang, dan kita harus berhenti ngobrol."

Putri duyung kecil itu lalu meringkuk di atas lantai dan mereka pun segera tertidur.

Matahari yang sinar hangatnya masuk melaui jendela membangunkan Hilda keesokan paginya dan segera melihat ke sekelilingnya untuk mencari ikan duyung yang semalam tidur bersamanya.

Putri duyung itu sudah tidak ada di rumahnya, tapi Hilda yakin benar bahwa itu bukan mimpi, karena ia menemukan potongan rumput laut di lantai. Sejak saat itu, setiap kali ia pergi ke laut dengan perahu untuk bertemu temannya, dan melihat paus menyemburkan air ia tahu bahwa mereka menyuruh putri duyung untuk pulang kembali ke kastil.



Bagikan ke:
Facebook, Twitter, WhatsApp, Telegram, Email. Print!.

, seorang pejalan musiman dan penyuka sejarah. Penduduk Jakarta yang sedang tinggal di Cikarang Utara. Traktir BA secangkir kopi. Secangkir saja ya! Agustus 13, 2020.