Pura Watu Klotok Klungkung kami kunjungi beberapa saat setelah meninggalkan Pantai Kusamba, melewati Jl Raya Kusamba lalu berbelok ke kiri masuk ke Jl Ida Bagus Mantra, arah ke Barat. Pura Watu Klotok memang kami kunjungi dalam perjalanan pulang kembali ke tempat menginap.
Jarak Pantai Kusamba ke Pantai Watu Klotok, dimana pura berada, lumayan jauh, yaitu sekitar 7,7 km. Di sekitar Pantai Watu Klotok sendiri saat itu tidak terlihat ada kegiatan yang menarik perhatian, selain kehadiran penjual durian yang tengah mangkal di dekat area parkir.
Sebenarnya tidak terlintas dalam ingatan bahwa di tempat ini terdapat Pura Watu Klotok, sebuah pura kahyangan jagat yang sering digunakan untuk acara ritual besar. Hanya naluri yang membawa saya berjalan melangkah ke arah pura yang terletak beberapa puluh meter dari area parkir dekat pinggir pantai itu.
Pura Watu Klotok berada tepat di tepian pantai, dengan sebuah parit mengalir di samping tembok luarnya. Ombak Pantai Watu Klotok tampaknya cukup kuat menggerus pinggir pantai sehingga area pura perlu dilindungi dengan tembok beton yang rendah.
Pura Watu Klotok secara rutin dibanjiri umat Hindu di setiap malam purnama untuk bersembahyang memohon keselamatan dan kesuburan bagi sawah ladangnya, serta untuk bersemedi. Piodalan berlangsung tiap enam bulan pada Anggara Kasih Julungwangi, serta tiap tahun berupa ritual Ngusaba.
Ritual lainnya di Pura Watu Klotok adalah upacara mulang pakelem, juga upacara nangkid, malukat, neduh dan beberapa upacara lainnya.
Melangkah masuk ke area pura terdapat sebuah bundaran dengan arca besar di tengahnya tengah memegang mangkuk berisi Tirta Amerta serta mengempit sebilah anak panah yang dililit ular kecil, berdiri di atas penyu raksasa jelmaan Wisnu, dikelilingi tubuh Naga Anantaboga dan Naga Basuki.
Ukiran Naga Anantaboga dan Naga Basuki Pura Watu Klotok itu dibuat dengan detail sagat halus, dan tampak pula kepala arca penyu raksasa. Ada kepercayaan bahwa di Pura Watu Klotok ini terdapat penyu macolek pamor, salah satu rencang Ida Batara, yang diyakini muncul di pura setiap seratus tahun sekali, serta ada pula bikul (tikus) putih, dan lelipi poleng (ular belang).
Dalam Kitab Adiparwa dikisahkan bahwa pada jaman Satyayuga, para Dewa dan Raksasa berembug di puncak Gunung Mahameru guna mendapatkan tirta amerta, air suci untuk hidup abadi. Atas petunjuk Wisnu, para Dewa dan Raksasa pun pergi ke Kserasagara (Lautan Ksera) untuk mengangkat tirta amerta dari dasarnya.
Mandaragiri (Gunung Mandara) di Sangka Dwipa (Pulau Sangka) dicabut oleh Naga Anantabhoga dan dijatuhkan di Kserasagara untuk digunakan sebagai tongkat pengaduk, disangga Akupa, yaitu penyu raksasa jelmaan Wisnu agar tidak tenggelam, sedangkan di puncaknya duduk Dewa Indra agar tidak melambung saat gunung diputar.
Naga Basuki membelit Mandaragiri dan para Dewa memegang ekornya serta Raksasa memegang kepalanya. Kserasagara pun bergolak dahsyat dengan suara bergemuruh saat Dewa dan Raksasa memutar Mandaragiri dengan hebatnya menggunakan Naga Basuki sebagai pegangan.
Racun Halahala yang membunuh segala rupa makhluk hidup menyebar saat laut diaduk, namun semuanya dapat diminum Dewa Siwa sehingga lehernya menjadi biru. Setelah itu bermunculanlah berbagai harta karun berupa Sura (dewi pencipta minuman anggur), Apsara (para bidadari kahyangan), Kostuba (permata paling berharga di dunia), Uccaihsrawa (kuda para Dewa), Kalpawreksa (pohon pengabul keinginan), Kamadhenu (sapi pertama), Airawata (kendaraan Dewa Indra), dan Laksmi (Dewi keberuntungan dan kemakmuran), yang semuanya menjadi milik para dewa.
Akhirnya Dhanwantari keluar membawa kendi berisi tirta amerta yang diambil sepihak oleh para raksasa, karena para dewa diangggapnya telah mendapatkan semua harta karun. Mandaragiri dikembalikan ke Sangka Dwipa. Namun para raksasa terpikat Mohini, wanita cantik jelmaan Wisnu, dan menyerahkan tirta amerta kepadanya. Sadar kena tipu, marahlah para raksasa dan terjadilah pertempuran yang berlangsung sangat lama. Dewa Wisnu akhirnya mengeluarkan cakra yang terbang menyerang para raksasa dan membuat mereka lari lintang pukang menyelamatkan diri.
Para Dewa lalu meminum tirta amerta di kediaman Dewa Wisnu sehingga hidup abadi. Namun seorang raksasa bernama Batara Kala (Kala Rau, Rahu) menyusup dengan mengubah wujudnya menjadi Dewa, namun diketahui oleh Dewa Aditya (Dewa Matahari) dan Chandra (Dewa Bulan), yang melaporkannya kepada Dewa Wisnu. Wisnu pun memenggal leher Kala Rau dengan senjata cakra, tepat saat tirta amerta sampai di tenggorokan. Badan Batara Kala mati, namun kepalanya hidup abadi, mengembara di langit, dan bersumpah menelan Aditya dan Chandra, maka terjadi gerhana bulan dan gerhana matahari.
Karena kepercayaan inilah masyarakat di Jawa dan Bali ramai memukul kentongan pada saat gerhana untuk menakut-nakuti dan mengusir Batara Kala agar gerhana lekas selesai.
Masuk lebih ke bagian dalam lagi di kompleks Pura Watu Klotok, terdapat pelinggih yang berada tepat menghadap laut dengan meja untuk tempat sesajian di depannya. Mungkin inilah yang disebut Pelinggih Sang Kala Sunya, untuk memuja Batara Baruna. Pada bagian Madya Mandala juga terdapat pelinggih penghayatan Ratu Gde Penataran Ped berupa pohon ketapang berukuran besar serta sebuah tugu.
Lalu ada gerbang Kori Agung Pura Watu Klotok yang memisahkan Madya Mandala dengan Utama Mandala, dengan pintu samping kiri terbuka, sementara pintu utama dan pintu sebelah kanannya tertutup. Pada lengan undakan tengah Kori Agung Pura Watu Klotok terdapat arca sepasang naga bermahkota.
Area ini adalah Utama Mandala Pura Watu Klotok yang diambil dari pintu kecil sebelah kiri, dengan pelinggih Ida Batara Watu Makocok (makocel), atau Pelinggih Ida Batara Lingsir, yang merupakan cikal-bakal Pura Watu Klotok dan diyakini memiliki vibrasi spiritual tinggi tempat umat memohon keselamatan, kesuburan dan kesejahteraan.
Selain dua buah Meru Tumpang Lima yang terlihat di atas, terdapat pula Candi Bale, Gedong Alit Pule, Padmasana, Pengaruman, Linggih Sri Sedana, sumur dan beberapa pelinggih lainnya. Suasana sepi saat itu, hanya ada seorang pendeta yang tengah meletakkan sesaji di beberapa tempat. Setelah beberapa saat berada di dalam pura, saya beranjak pergi untuk kembali ke tempat parkir.
Anak-anak bermain-main di aliran parit saat saya berjalan meninggalkan lokasi pura. Tampaknya gelombang yang besar serta bibir pantai yang tak terlalu landai membuat anak-anak tidak berani bermain di pinggir laut. Pantai Pura Watu Klotok yang akan terlihat jauh lebih indah dan nyaman indah jika saja tidak beserak sampah di atas pasir hitamnya yang halus. Kesadaran pengunjung untuk bersama menjaga kebersihan tampaknya menjadi masalah dimana-mana.
Jarak Pantai Kusamba ke Pantai Watu Klotok, dimana pura berada, lumayan jauh, yaitu sekitar 7,7 km. Di sekitar Pantai Watu Klotok sendiri saat itu tidak terlihat ada kegiatan yang menarik perhatian, selain kehadiran penjual durian yang tengah mangkal di dekat area parkir.
Sebenarnya tidak terlintas dalam ingatan bahwa di tempat ini terdapat Pura Watu Klotok, sebuah pura kahyangan jagat yang sering digunakan untuk acara ritual besar. Hanya naluri yang membawa saya berjalan melangkah ke arah pura yang terletak beberapa puluh meter dari area parkir dekat pinggir pantai itu.
Pura Watu Klotok berada tepat di tepian pantai, dengan sebuah parit mengalir di samping tembok luarnya. Ombak Pantai Watu Klotok tampaknya cukup kuat menggerus pinggir pantai sehingga area pura perlu dilindungi dengan tembok beton yang rendah.
Pura Watu Klotok secara rutin dibanjiri umat Hindu di setiap malam purnama untuk bersembahyang memohon keselamatan dan kesuburan bagi sawah ladangnya, serta untuk bersemedi. Piodalan berlangsung tiap enam bulan pada Anggara Kasih Julungwangi, serta tiap tahun berupa ritual Ngusaba.
Ritual lainnya di Pura Watu Klotok adalah upacara mulang pakelem, juga upacara nangkid, malukat, neduh dan beberapa upacara lainnya.
Melangkah masuk ke area pura terdapat sebuah bundaran dengan arca besar di tengahnya tengah memegang mangkuk berisi Tirta Amerta serta mengempit sebilah anak panah yang dililit ular kecil, berdiri di atas penyu raksasa jelmaan Wisnu, dikelilingi tubuh Naga Anantaboga dan Naga Basuki.
Ukiran Naga Anantaboga dan Naga Basuki Pura Watu Klotok itu dibuat dengan detail sagat halus, dan tampak pula kepala arca penyu raksasa. Ada kepercayaan bahwa di Pura Watu Klotok ini terdapat penyu macolek pamor, salah satu rencang Ida Batara, yang diyakini muncul di pura setiap seratus tahun sekali, serta ada pula bikul (tikus) putih, dan lelipi poleng (ular belang).
Dalam Kitab Adiparwa dikisahkan bahwa pada jaman Satyayuga, para Dewa dan Raksasa berembug di puncak Gunung Mahameru guna mendapatkan tirta amerta, air suci untuk hidup abadi. Atas petunjuk Wisnu, para Dewa dan Raksasa pun pergi ke Kserasagara (Lautan Ksera) untuk mengangkat tirta amerta dari dasarnya.
Mandaragiri (Gunung Mandara) di Sangka Dwipa (Pulau Sangka) dicabut oleh Naga Anantabhoga dan dijatuhkan di Kserasagara untuk digunakan sebagai tongkat pengaduk, disangga Akupa, yaitu penyu raksasa jelmaan Wisnu agar tidak tenggelam, sedangkan di puncaknya duduk Dewa Indra agar tidak melambung saat gunung diputar.
Naga Basuki membelit Mandaragiri dan para Dewa memegang ekornya serta Raksasa memegang kepalanya. Kserasagara pun bergolak dahsyat dengan suara bergemuruh saat Dewa dan Raksasa memutar Mandaragiri dengan hebatnya menggunakan Naga Basuki sebagai pegangan.
Racun Halahala yang membunuh segala rupa makhluk hidup menyebar saat laut diaduk, namun semuanya dapat diminum Dewa Siwa sehingga lehernya menjadi biru. Setelah itu bermunculanlah berbagai harta karun berupa Sura (dewi pencipta minuman anggur), Apsara (para bidadari kahyangan), Kostuba (permata paling berharga di dunia), Uccaihsrawa (kuda para Dewa), Kalpawreksa (pohon pengabul keinginan), Kamadhenu (sapi pertama), Airawata (kendaraan Dewa Indra), dan Laksmi (Dewi keberuntungan dan kemakmuran), yang semuanya menjadi milik para dewa.
Akhirnya Dhanwantari keluar membawa kendi berisi tirta amerta yang diambil sepihak oleh para raksasa, karena para dewa diangggapnya telah mendapatkan semua harta karun. Mandaragiri dikembalikan ke Sangka Dwipa. Namun para raksasa terpikat Mohini, wanita cantik jelmaan Wisnu, dan menyerahkan tirta amerta kepadanya. Sadar kena tipu, marahlah para raksasa dan terjadilah pertempuran yang berlangsung sangat lama. Dewa Wisnu akhirnya mengeluarkan cakra yang terbang menyerang para raksasa dan membuat mereka lari lintang pukang menyelamatkan diri.
Para Dewa lalu meminum tirta amerta di kediaman Dewa Wisnu sehingga hidup abadi. Namun seorang raksasa bernama Batara Kala (Kala Rau, Rahu) menyusup dengan mengubah wujudnya menjadi Dewa, namun diketahui oleh Dewa Aditya (Dewa Matahari) dan Chandra (Dewa Bulan), yang melaporkannya kepada Dewa Wisnu. Wisnu pun memenggal leher Kala Rau dengan senjata cakra, tepat saat tirta amerta sampai di tenggorokan. Badan Batara Kala mati, namun kepalanya hidup abadi, mengembara di langit, dan bersumpah menelan Aditya dan Chandra, maka terjadi gerhana bulan dan gerhana matahari.
Karena kepercayaan inilah masyarakat di Jawa dan Bali ramai memukul kentongan pada saat gerhana untuk menakut-nakuti dan mengusir Batara Kala agar gerhana lekas selesai.
Masuk lebih ke bagian dalam lagi di kompleks Pura Watu Klotok, terdapat pelinggih yang berada tepat menghadap laut dengan meja untuk tempat sesajian di depannya. Mungkin inilah yang disebut Pelinggih Sang Kala Sunya, untuk memuja Batara Baruna. Pada bagian Madya Mandala juga terdapat pelinggih penghayatan Ratu Gde Penataran Ped berupa pohon ketapang berukuran besar serta sebuah tugu.
Lalu ada gerbang Kori Agung Pura Watu Klotok yang memisahkan Madya Mandala dengan Utama Mandala, dengan pintu samping kiri terbuka, sementara pintu utama dan pintu sebelah kanannya tertutup. Pada lengan undakan tengah Kori Agung Pura Watu Klotok terdapat arca sepasang naga bermahkota.
Area ini adalah Utama Mandala Pura Watu Klotok yang diambil dari pintu kecil sebelah kiri, dengan pelinggih Ida Batara Watu Makocok (makocel), atau Pelinggih Ida Batara Lingsir, yang merupakan cikal-bakal Pura Watu Klotok dan diyakini memiliki vibrasi spiritual tinggi tempat umat memohon keselamatan, kesuburan dan kesejahteraan.
Selain dua buah Meru Tumpang Lima yang terlihat di atas, terdapat pula Candi Bale, Gedong Alit Pule, Padmasana, Pengaruman, Linggih Sri Sedana, sumur dan beberapa pelinggih lainnya. Suasana sepi saat itu, hanya ada seorang pendeta yang tengah meletakkan sesaji di beberapa tempat. Setelah beberapa saat berada di dalam pura, saya beranjak pergi untuk kembali ke tempat parkir.
Anak-anak bermain-main di aliran parit saat saya berjalan meninggalkan lokasi pura. Tampaknya gelombang yang besar serta bibir pantai yang tak terlalu landai membuat anak-anak tidak berani bermain di pinggir laut. Pantai Pura Watu Klotok yang akan terlihat jauh lebih indah dan nyaman indah jika saja tidak beserak sampah di atas pasir hitamnya yang halus. Kesadaran pengunjung untuk bersama menjaga kebersihan tampaknya menjadi masalah dimana-mana.
Pura Watu Klotok Klungkung
Alamat : Banjar Celepik, Tojan, Klungkung, Bali. Lokasi GPS : -8.5768944, 115.4011577, Waze. Tempat Wisata di Klungkung, Hotel di Bali, Peta Wisata Bali, Tempat Wisata di Bali.Sponsored Link
Sponsored Link
Sponsored Link
Bagikan ke:
Facebook, Twitter, WhatsApp, Telegram, Email. Print!.