Kunjungan ke Pembuatan Garam Tradisional Yeh Malet Bali bermula dari keinginan untuk melihat pembuatan garam tradisional di Bali, lalu supir membawa kami ke sebuah tempat, melewati Goa Lawah sejauh beberapa puluh meter, berhenti di sebelah kanan jalan pada sebuah warung sederhana (-8.54944, 115.48188), namun tak ada tanda-tanda tempat pembuatan garam tradisional itu.
Rupanya belakang warung ada jalan setapak, melewati sebuah kebun kosong tempat belukar tumbuh sepanjang beberapa puluh langkah, sebelum bertemu pantai lebar memanjang sejauh ratusan meter dengan pasir berwarna kehitaman. Langit cerah, angin bertiup cukup kencang.
Hanya beberapa langkah ke kiri mengikuti garis pantai terlihatlah kolam-kolam dangkal beralas terpal berbentuk kotak berisi air hampir mengering berwarna keputihan kelabu. Saya telah berada di tempat pembuatan garam tradisional Yeh Malet Karangasem.
Seorang anak laki-laki kecil tengah berlari mendekati perahu jukung yang diparkir di atas pasir pantai dengan bibir yang lumayan lebar. Lokasi Pembuatan Garam Tradisional Yeh Malet berada di tepian pantai dengan nama sama.
Tidak terlihat ada aktifitas menonjol sore itu di Pantai Yeh Malet, mungkin karena terik matahari masih garang, serta angin beritup cukup kencang. Hanya terlihat satu atau dua perahu tengah melaut, lebih banyak lagi tengah beristirahat, teronggok atas pasir.
Selain usaha membuat garam tradisional, penghasilan tambahan para petani garam tampaknya melaut mencari ikan, menjadi nelayan, menyewakan perahu bagi pejalan (jika pun ada), atau mengerjakan pekerjaan lain selagi menunggu kolam-kolam garamnya mengering.
Saat itu petak-petak kolam dangkal untuk pembuatan Garam Tradisional Yeh Malet telah berisi air laut, beralas terpal atau sejenis plastik tebal. Sinar matahari pembakar kulit yang membuat gerah pejalan, justru selalu diharapkan para petani garam Yeh Malet ini.
Terik matahari membuat kolam harta mereka cepat mengering, sehingga cepat pula mereka bisa memasukkan butiran garam kedalam karung, lalu menukarnya dengan uang untuk membeli keperluan hidup. Di dekat petak-petak kolam terdapat sebuah gubug sederhana milik salah seorang petani garam di area Pembuatan Garam Tradisional Yeh Malet, dimana telah terkumpul beberapa buah kukusan bambu berisi garam dibentuk seperti piramid putih, diletakkan di atas bak penampungan air laut.
Di sisi kanan gubug ini ada lagi petak-petak kolam Pembuatan Garam Tradisional Yeh Malet serta gubug milik petani pembuat garam lainnya. Setiap petani garam tampaknya memiliki luas lahan tertentu, sesuai kesanggupan mereka masing-masing dalam membeli bahan serta kesanggupan memasarkannya.
Tampaknya usaha Pembuatan Garam Tradisional Yeh Malet masih mampu menjadi sumber kehidupan sebuah keluarga sederhana yang saya lihat di sana ketika itu, dengan tiga bocah lucu yang masih kecil-kecil ini. Mereka cukup berani dan ramah, mungkin sudah terbiasa menghadapi kunjungan pejalan.
Saya juga sempat memotret ketiga anak itu dengan latar belakang ibunya. Si ibu yang bernama Ktut Sudiasih itu pecah tawanya melihat anak-anaknya begitu bergembira ketika akan saya foto. Si perempuan sulung tampaknya berbakat untuk menjadi foto model.
Ktut Sudiasih menceritakan proses pembuatan garam tradisional yang telah dijalaninya selama tiga tahun. Pertama air laut ia masukkan ke dalam bak penampungan, lalu dituang ke dalamnya garam Madura dengan perbandingan tertentu, setelah itu didiamkan selama 6 hari, lalu dijemur. Jika cuaca bagus, baru 2 hari kemudian garam bisa dikumpulkan. Dua petak kolamnya bisa menghasilkan satu pincuk garam.
Ktut Sudiasih tidak perlu repot pergi ke pasar, karena pengumpul datang setiap hari ke gubugnya untuk membeli garam darinya seharga Rp.5.000 / kg. Mereka kemudian menjualnya ke Pasar Klungkung atau ke tempat lainnya. Delapan petak kolam yang dimilikinya hanya mampu menghasilkan 50 kg garam, atau Rp.250.000 kotor setiap 8 hari, itu jika cuaca bagus...
Dengan segala kesederhanaannya, usaha Pembuatan Garam Tradisional Yeh Malet merupakan kelompok pembuat garam tradisional yang sejauh ini masih mampu bertahan dari gempuran garam impor harga murah, namun entah sampai kapan...
Pembuatan Garam Tradisional Yeh Malet, serta tempat-tempat pembuatan garam tradisional lainnya di tanah air, jelas memerlukan perhatian serta uluran tangan pemerintah dan kita semua. Perguruan tinggi serta lembaga penelitian pemerintah bisa membantu para petani garam untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas garam yang dihasilkan, serta membangun kesadaran masyarakat agar lebih memilih membeli garam tradisional, meski harganya lebih mahal sekalipun dari garam import.
Rupanya belakang warung ada jalan setapak, melewati sebuah kebun kosong tempat belukar tumbuh sepanjang beberapa puluh langkah, sebelum bertemu pantai lebar memanjang sejauh ratusan meter dengan pasir berwarna kehitaman. Langit cerah, angin bertiup cukup kencang.
Hanya beberapa langkah ke kiri mengikuti garis pantai terlihatlah kolam-kolam dangkal beralas terpal berbentuk kotak berisi air hampir mengering berwarna keputihan kelabu. Saya telah berada di tempat pembuatan garam tradisional Yeh Malet Karangasem.
Seorang anak laki-laki kecil tengah berlari mendekati perahu jukung yang diparkir di atas pasir pantai dengan bibir yang lumayan lebar. Lokasi Pembuatan Garam Tradisional Yeh Malet berada di tepian pantai dengan nama sama.
Tidak terlihat ada aktifitas menonjol sore itu di Pantai Yeh Malet, mungkin karena terik matahari masih garang, serta angin beritup cukup kencang. Hanya terlihat satu atau dua perahu tengah melaut, lebih banyak lagi tengah beristirahat, teronggok atas pasir.
Selain usaha membuat garam tradisional, penghasilan tambahan para petani garam tampaknya melaut mencari ikan, menjadi nelayan, menyewakan perahu bagi pejalan (jika pun ada), atau mengerjakan pekerjaan lain selagi menunggu kolam-kolam garamnya mengering.
Saat itu petak-petak kolam dangkal untuk pembuatan Garam Tradisional Yeh Malet telah berisi air laut, beralas terpal atau sejenis plastik tebal. Sinar matahari pembakar kulit yang membuat gerah pejalan, justru selalu diharapkan para petani garam Yeh Malet ini.
Terik matahari membuat kolam harta mereka cepat mengering, sehingga cepat pula mereka bisa memasukkan butiran garam kedalam karung, lalu menukarnya dengan uang untuk membeli keperluan hidup. Di dekat petak-petak kolam terdapat sebuah gubug sederhana milik salah seorang petani garam di area Pembuatan Garam Tradisional Yeh Malet, dimana telah terkumpul beberapa buah kukusan bambu berisi garam dibentuk seperti piramid putih, diletakkan di atas bak penampungan air laut.
Di sisi kanan gubug ini ada lagi petak-petak kolam Pembuatan Garam Tradisional Yeh Malet serta gubug milik petani pembuat garam lainnya. Setiap petani garam tampaknya memiliki luas lahan tertentu, sesuai kesanggupan mereka masing-masing dalam membeli bahan serta kesanggupan memasarkannya.
Tampaknya usaha Pembuatan Garam Tradisional Yeh Malet masih mampu menjadi sumber kehidupan sebuah keluarga sederhana yang saya lihat di sana ketika itu, dengan tiga bocah lucu yang masih kecil-kecil ini. Mereka cukup berani dan ramah, mungkin sudah terbiasa menghadapi kunjungan pejalan.
Saya juga sempat memotret ketiga anak itu dengan latar belakang ibunya. Si ibu yang bernama Ktut Sudiasih itu pecah tawanya melihat anak-anaknya begitu bergembira ketika akan saya foto. Si perempuan sulung tampaknya berbakat untuk menjadi foto model.
Ktut Sudiasih menceritakan proses pembuatan garam tradisional yang telah dijalaninya selama tiga tahun. Pertama air laut ia masukkan ke dalam bak penampungan, lalu dituang ke dalamnya garam Madura dengan perbandingan tertentu, setelah itu didiamkan selama 6 hari, lalu dijemur. Jika cuaca bagus, baru 2 hari kemudian garam bisa dikumpulkan. Dua petak kolamnya bisa menghasilkan satu pincuk garam.
Ktut Sudiasih tidak perlu repot pergi ke pasar, karena pengumpul datang setiap hari ke gubugnya untuk membeli garam darinya seharga Rp.5.000 / kg. Mereka kemudian menjualnya ke Pasar Klungkung atau ke tempat lainnya. Delapan petak kolam yang dimilikinya hanya mampu menghasilkan 50 kg garam, atau Rp.250.000 kotor setiap 8 hari, itu jika cuaca bagus...
Dengan segala kesederhanaannya, usaha Pembuatan Garam Tradisional Yeh Malet merupakan kelompok pembuat garam tradisional yang sejauh ini masih mampu bertahan dari gempuran garam impor harga murah, namun entah sampai kapan...
Pembuatan Garam Tradisional Yeh Malet, serta tempat-tempat pembuatan garam tradisional lainnya di tanah air, jelas memerlukan perhatian serta uluran tangan pemerintah dan kita semua. Perguruan tinggi serta lembaga penelitian pemerintah bisa membantu para petani garam untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas garam yang dihasilkan, serta membangun kesadaran masyarakat agar lebih memilih membeli garam tradisional, meski harganya lebih mahal sekalipun dari garam import.