Percikan, Politik

Pertarungan Pilgub DKI Jakarta 2017

Resmi sudah tiga pasang cagub dan cawagub dalam pertarungan Pilgub DKI Jakarta 2017. Bisa dibilang tak ada pilkada yang mendapat sorot rakyat dan media nasional sebesar Pilgub Jakarta. Setidaknya hiruk pikuk sudah sangat dirasa sejak pilgub sebelumnya ketika Jokowi-Ahok melawan pasangan Foke-Nara pada 2012.

Peran medsos, terutama Twitter - Facebook dengan seleb-selebnya, sangat besar dalam mengekskalasi pertarungan, terutama diantara pendukung dan simpatisannya. Tak jarang partai hanya menjadi penonton di pinggiran lapang. Pertarungan hebat di papan keyboard, meme, ilustrasi, video klip, juga memberi pengaruh luar biasa pada mobilisasi simpatisan di dunia nyata.

Peran stasiun televisi tak bisa diremehkan, yang acaranya sering direkam dan diterbitkan ulang di youtube dan menyebar kemana-mana. Grup Whatsapp, sebelumnya grup Blackberry serta milis komunitas dan alumni, ikut mengaduk-aduk emosi pemilih. Media tradisional seperti majalah dan koran masih cukup penting, setidaknya sebagai referensi untuk disebar.

Ketika partai politik tak lagi dihargai oleh pemilih lepas, maka muncul gerakan relawan yang fenomenal, meski ada juga yang berafiliasi ke partai. Pemanfaatan secara cerdas semua kanal informasi komunikasi promosi opini itu tentu ditimbang setiap pasangan. Namun diantara semuanya itu, yang paling penting adalah barang dagangannya, calonnya sendiri.

Pilgub Jakarta bukan Pilpres. Medan tarungnya berbeda. Warga DKI Jakarta tak mudah termakan isu murah, termasuk SARA, fitnah, dan penggorengan opini seperti di pilpres lalu. Kampanye keji macam itu efektif di sejumlah tempat, namun juga terbukti efektif ciptakan brand busuk dan rasa antipati mendalam pada partai dan individu yang memakai atau membiarkannya.

Pilgub DKI Jakarta bukan pertarungan Mega Bintang. Bukan pertarungan Mega dan kelompoknya di satu kubu, melawan (mantan) Jenderal berbintang di kubu lain. Meski peran mereka tak kecil, namun yang menentukan adalah rekam jejak cagub/cawagubnya, serta formulasi dan eksekusi strategi taktik tim pemenangan dengan konsultan politiknya, serta mobilisasi relawan.

Tidak bisa tidak, Ahok bakal menjadi "musuh bersama" bagi pesaingnya, dan itu sebuah kehormatan. Jika pilgub berlangsung dua putaran dan Ahok lolos, maka kemungkinan sebagian besar pendukung cagub yang tereliminasi akan bergabung ke kubu lawan Ahok. Begitu pun Ahok tetap punya peluang yang bagus untuk menang.

Kedekatan Partai
Sebagaimana Jokowi, Ahok bukan orang partai. Dengan tak pernah sibuk urus partai, mereka bisa fokus kerja. Keberanian Ahok melawan partai sudah teruji. Anies juga tak terdengar aktif di partai, meski menjadi aktivis HMI semasa kuliah dan ikut konvensi Partai Demokrat pada pilpres lalu. Keberaniannya melawan tekanan partai belum terdengar, meskipun mestinya ia mampu. Agus sebagai tentara juga bukan orang partai, namun setelah pensiun tak bisa tidak ia harus ikut memikirkan partai bapaknya.

Antikorupsi
Ahok penerima Bung Hatta Award sebagai sosok anti korupsi yang teruji. Ia berani lawan siapa pun agar anggaran tidak dikorupsi. Anies juga sosok anti korupsi. Ia mendapatkan Anugerah Integritas Nasional dari Komunitas Pengusaha Antisuap (Kupas) serta Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Hanya ketegasannya lawan begal anggaran ketika menteri tak terdengar sekencang Ahok, padahal uang yang beredar di sana sangat banyak, dan lazimnya pemburu rente ikut kemana uang besar mengalir. Agus belum teruji, karena ia belum pernah berada di birokrasi. Ahok unggul dalam soal ini, karena rekam jejaknya yang lebih panjang dan sangat solid.

Tegas
Pendapat bahwa dibutuhkan sosok dengan latar belakang militer untuk menjadi pemimpin tegas, patah oleh Jokowi, dan Ahok. Jokowi yang penjual mebel terbukti punya ketegasan yang tak kalah dari seorang jenderal. Ahok adalah Jokowi dengan cara pengungkapan ketegasan yang berbeda. Anies punya sikap, terlihat saat ia mantap bergabung Jokowi dalam pilpres lalu, dan ia tak terlihat ragu didukung dua partai yang dulu dilawannya di pilpres. Agus belum teruji menghadapi mesin birokrasi.

Dari sisi ini Ahok unggul, namun kalah dalam cara penyampaiannya yang sering frontal tanpa basa-basi. Gaya Jokowi lebih lunak namun mematikan. Tak perlu marah-marah, kalau bandel: copot! Orang tak berubah dengan dimarah-marahi, apalagi kalau sudah berumur dan kadung berlumur dosa birokrasi selama bertahun-tahun.

Cerdas
Ketiga kandidat saya rasa memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Ahok berpendidikan teknik geologi dan magister manajemen namun dengan kejelian seorang akuntan dan punya kecerdasan bisnis tajam, yang menghasilkan banyak perbaikan mencolok di Jakarta. Anies memiliki kecerdasan seorang akademisi dan doktor ilmu politik, serta mengantongi penghargaan nasional - internasional. Agus punya kredensial yang tak kalah mencorong di sekolah dan militer.

SARA
Dari sisi SARA, Ahok paling lemah dan mudah diserang, baik secara terbuka maupun diam-diam. Anies lebih unggul, meski ia keturunan Arab namun lahir di Kuningan, dan Islam. Agus yang Jawa Islam paling unggul dari semuanya dalam soal ini, didukung pula oleh faktor isterinya yang bisa menarik suara orang Jakarta keturunan Mandailing. Namun ini Pilgub Jakarta. SARA hanya laku dijual di lingkungan yang sangat terbatas, dan pasti akan memukul balik siapa yang memakainya untuk menyerang lawan.

Kutu loncat
Ahok juga paling lemah soal kutu, karena ia berpindah-pindah partai politik. Baginya partai hanyalah kendaraan, yang bisa diganti kapan saja ketika secara ide dan prinsip sudah tak sesuai. Anies loncat dari Partai Demokrat ke kubu Jokowi, dan kini loncat ke kubu partai "oposisi". Agus berhenti dari militer. Setia pada ide dan prinsip saya kira lebih dihargai ketimbang setia pada partai dan figur.

Faktor Jokowi
Jika pun katakanlah semua hal di atas ketiga cagub itu sebanding, ada satu yang tak bakal dimiliki pesaing Ahok: dukungan moral Jokowi. Tentu bukan sifat Jokowi untuk mengintervensi proses demokrasi, namun semua maklum bahwa Ahok adalah pertaruhan Jokowi, bukan hanya untuk membereskan DKI Jakarta dari korupsi dan salah urus, namun juga sebagai etalase untuk membereskan Indonesia.

Meskipun Jokowi tak bakal turun tangan, langsung maupun tidak, namun relawannya yang independen akan banyak yang berada di belakang Ahok. Tentu ada pula relawan Jokowi yang mendukung Anies, dan Agus. Pemilihan atribut baju kotak-kotak oleh Ahok - Djarot akan kembali mengingatkan perjuangan pasangan Jokowi - Ahok saat menumbangkan Foke-Nara.

Kedekatan dengan Rakyat
Baik Ahok maupun Anies dikenal dekat dengan rakyat, sedangkan Agus belum punya banyak kesempatan untuk itu. Ahok menggusur rakyat dari daerah kumuh di bantaran sungai dan waduk untuk direvitalisasi mencegah banjir, dengan menyediakan hunian yang jauh lebih bermartabat. Sarana pendukungnya pun ia sediakan. Setiap pagi Ahok menerima keluhan rakyat di teras Balaikota yang membutuhkan bantuan dan perhatiannya. Anies sepertinya lebih banyak mendekati rakyat untuk urusan pendidikan, sedangkan Agus mungkin belum punya banyak kesempatan untuk melakukannya.

Gugatan ke MK
Sekarang Ahok mungkin tak sepede sebelumnya ketika mengajukan gugatan ke MK agar punya opsi tidak kampanye sama sekali untuk mengawal penerapan e-budgeting DKI. Lawan yang dihadapinya tak bisa dipandang sebelah mata lagi. Mereka semua berpotensi untuk merebut simpati warga yang sebelumnya mendukungnya. Buat apa anggaran dikawal, namun ia tak bisa pakai lantaran kalah. Jika pun ada begal anggaran selama ia cuti, itu justru membuat penduduk Jakarta sadar betapa pentingnya Ahok bagi mereka.

Apa yang saya tulis tentu subyektif, dan lebih berpihak ke Ahok. Itu karena saya lebih banyak mengikuti polah Ahok ketimbang cagub lain. Masa kampanye adalah waktu bagus bagi cagub untuk mengenalkan rekam jejak mereka, agar penilaian lebih berimbang. Jangan hanya sebar janji, seperti mau brantas habis korupsi ke pohon-pohonnya, atau hilangkan macet dan banjir dalam sekejap. Sulit laku, karena Ahok sudah terbukti dan dirasakan benar hasil kerjanya sebagai petahana, yang tak bisa dilawan hanya dengan angin surga.

Akan halnya cawagub, masing-masing tentu ada plus minusnya, namun tak saya bahas karena bagaimana pun ini pilgub, bukan pilwagub, meski satu paket. Lepas dari semuanya itu, pertarungan Pilgub DKI Jakarta 2017 diharapkan akan menjadi ajang hajat demokrasi menarik dan berbobot. Setidaknya sekarang pun sudah mulai terlihat lebih bergairah ketimbang yang diperkirakan banyak orang sebelumnya.

Mata dan telinga seluruh rakyat Indonesia akan tertuju ke sana, sehingga tim pemenangan partai, simpatisan, dan relawan, harus bekerja keras, sekaligus harus sangat hati-hati dalam meyakinkan dan meraih simpati warga. Jika masih memainkan isu SARA dan fitnah, maka bukan hanya warga DKI Jakarta yang akan menghukum, namun juga rakyat di perbagai pelosok negri. Bertarung bersih dan elegan lebih baik. Menang dan kalah secara ksatria, dan respek orang akan tetap terpelihara.


Bagikan ke:
Facebook, Twitter, WhatsApp, Telegram, Email. Print!.

, seorang pejalan musiman dan penyuka sejarah. Penduduk Jakarta yang sedang tinggal di Cikarang Utara. Traktir BA secangkir kopi. Secangkir saja ya! Oktober 27, 2017.