Foto Museum PETA

Patung Sudancho Supriadi di halaman depan Monumen dan Museum PETA Bogor, yang diresmikan pada 9 Agustus 2010, bertepatan dengan diserahkannya Monumen dan Museum PETA oleh Yayasan PETA Bogor kepada pemerintah, dan pengelolaan selanjutnya diserahkan kepada TNI Angkatan Darat.



Sebuah diorama di Monumen dan Museum PETA menggambarkan saat tokoh-tokoh pimpinan BKR / TKR Jawa Tengah, yaitu Soedirman, Jatikoesoemo, Soeharto, Sarbini, Ahmad Yani, Isdiman, Soetarto, Holan Iskandar, sedang berkumpul mengatur siasat di suatu tempat antara Magelang dan Ambarawa untuk memukul mundur pasukan Sekutu dan Belanda dari daerah Ambarawa.



Diorama Monumen dan Museum PETA yang memperlihatkan pertemuan Ir. Soekarno, Gatot Mangkupradja, Ki Ageng Suryomentaram, Ki Hajar Dewantara, KH Mas Mansyur dan Dr. Moh. Hatta. Ide awal pembentukan PETA konon terinspirasi dari kedisiplinan, militansi dan kemampuan tempur tentara Jepang saat Ir. Soekarno berkunjung ke Akademi Militer Jepang.



Pertemuan di depan gedung di Jalan Merdeka Selatan yang kemudian menjadi Markas PETA berlangsung. Pada 23 Agustus 1945 anggota pasukan PETA dan Heiho yang telah dibubarkan berkumpul untuk mendengarkan pengumuman Presiden Soekarno mengenai keputusan pemerintah. Pada 22 Agustus pemerintah telah memutuskan membentuk Badan Keamanan Rakyat atau BKR.



Di dalam ruangan museum terdapat sejumlah diorama, salah satunya menggambarkan suasana saat Bung Karno sedang mengucapkan pidato pada rapat raksasa dihadapan massa rakyat yang memadati lapangan Ikada Jakarta. Dalam rapat raksasa itu, para pemimpin republik dikawal diantaranya oleh BKR Jakarta Raya pimpinan mantan Komandan Peleton PETA M. Moekmin.



Peristiwa penyerbuan Osha Butai Kota Baru oleh BKR Yogyakarta pada Oktober 1945, yang dipimpin oleh mantan Cudanco PETA Soeharto untuk merebut persenjataan dan perlengkapan militer yang saat itu masih dikuasi tentara Jepang.



Sebuah bagan di dalam ruang pamer Monumen dan Museum PETA yang menunjukkan perkembangan sejarah ABRI / TNI, mulai dari terbentuknya BKR pada 22 Agustus 1945, hingga menjadi ABRI pada 1962, dan kembalinya lagi menjadi TNI tidak ada pada bagan itu.



Pimpinan BKR Malang, mantan Cudanco PETA Mutakat Hurip, atas perintah Daidanco Imam Sujai dan Kepala Staf Iskandar Sulaiman sedang mengatur dan mengkonsolidasikan fasilitas kedirgantaraan, yang meliputi hanggar, sejumlah pesawat terbang dan perlengkapan yang direbut lewat pertempuran dan perundingan dengan pihak Jepang di pangkalan udara Bugis Malang.



Diorama Monumen dan Museum PETA yang menggambarkan peristiwa pengambilalihan Markas Angkatan Darat Tentara Jepang di Jawa Timur oleh tentara Indonesia pada Oktober 1945.



Diorama Monumen dan Museum PETA yang mempelihatkan peristiwa saat pemilihan panglima besar Tentara Keamanan Rakyat pada 12 November 1945.



Foto dokumentasi R. Mohamad Mangoendiprodjo yang menjadi Daidancho dari Daisan (III) Daidan Sidoarjo, Jawa Timur, sejak Oktoner 1944, riwayat hidupnya, dan daftar pejabat Daisan (III) Daidan Sidoardjo. Ada pula lukisan serta foto dokumentasi menjelang peristiwa 10 November di Surabaya.



Koleksi seragam dan perlengkapan persenjataan Gyuhei, atau Prajurit PETA, yang disimpan Monumen dan Museum PETA.



Peristiwa Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945. Diorama memperlihatkan suasana di luar asrama, pada waktu Bung Karno dan tokoh-tokoh pemuda tengah berunding mengenai waktu dan tatacara proklamasi di dalam asrama. Saat itu Camat Soejono Hadipranoto mengibarkan bendera merah putih menggantikan bendera Jepang, dengan dikawal oleh prajurit PETA dan disaksikan oleh sabagian masyarakat Rengasdengklok.



Upacara penyerahan pedang samurai oleh Syodanco Muradi, pimpinan lapangan pemberontakan Peta Blitar, kepada Katagiri Butaico (Jepang) di suatu lapangan di Kota Blitar, karena janji-janji Jepang untuk memenuhi tuntutan PETA, yang ternyata hanya tipu muslihat Jepang. Syodanco Muradi, bersama pasukannya, disiksa selama penahanan oleh KENPEITAI, kemudian diadili dan dihukum mati di pantai Ancol pada 16 Mei 1945.



Pada 14 Februari 1945, pasukan Peta di Blitar di bawah pimpinan Sudancho Supriadi melakukan pemberontakan yang dikenal dengan nama “Pemberontakan Peta Blitar”. Pemberontakan berhasil dipadamkan oleh pasukan pribumi yang tak terlibat pemberontakan, baik dari satuan Peta sendiri maupun Heiho. Sudancho Supriadi, hilang dalam peristiwa ini.



Diorama Monumen dan Museum PETA yang menggambarkaan saat pasukan PETA tengah menjalani pendidikan kemiliteran di Jawa Boei Giyugun Kanbu Kyo Iku Tai (Pusat Pendidikan Perwira Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa).



Saat saya keluar dari ruangan museum dan berjalan ke arah belakang, terlihat Patung Panglima Besar Sudirman saat masih muda. Patung itu ada di halaman terbuka di ujung lorong tengah gedung Monumen dan Museum PETA, diapit oleh dua buah meriam lapangan.



Sosok Patung Sudirman dilihat dari belakang, menghadap ke arah bangunan di bagian depan dimana museum PETA berada.



Patung itu menggambarkan sosok Jenderal Sudirman saat masih sebagai perwira PETA. Pada dinding yang berbentuk setengah lingkaran di belakang patung Sudirman ini tercantum nama-nama perwira tentara PETA dari seluruh Jawa, Madura, Bali, dan Sumatera.



Tulisan di bawah Patung Soedirman itu berbunyi "Daidancho Soedirman (Danyon) Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA), 1944 - 1945".



Lorong masuk Monumen dan Museum PETA dimana terdapat sejumlah relief yang menggambarkan tokoh-tokoh PETA serta peristiwa terkait dengan keberadaan PETA.



Relief yang menggambarkan beberapa aksi dan kegiatan terkait dengan PETA dan terbentuknya Tentara Nasional Indonesia yang mencakup matra darat, laut dan udara.



Relief Para mantan PETA di lorong masuk Monumen dan Museum PETA yang pernah berperan penting dalam percaturan politik dan militer RI, yaitu Supriadi, Sudirman, Soeharto, Umar Wirahadikusumah, Poniman, Drg. Moestopo, Mohamad, Achmad Yani dan Sarwo Edhi Wibowo.



Relief Monumen dan Museum PETA yang menggambarkan perekrutan dan pendidikan tentara PETA, serta tokoh-tokoh Daidan (Batalion) PETA Blitar, dan Daidan PETA Magelang.



Sebuah prasasti yang dibuat pada batu dengan lambang PETA dan tulisan "Semasa berkobarnya Perang Dunia kedua di bumi "Pembela Tanah Air" ini dilahirkan jiwa keprajuritan nasional Indonesia".



Patung Sudancho Supriyadi di depan gedung Monumen dan Museum PETA. Sebuah instalasi tank militer tampak di latar belakang, selain Patung Panglima Besar Jenderal Sudirman dengan tongkat dan pakaian kebesarannya di halaman depan kanan Monumen dan Museum PETA.



Patung Jenderal Sudirman di halaman depan Monumen dan Museum PETA dengan ikat kepala dan jubah kebesarannya terlihat gagah berdiri, dikawal oleh sebuah tank tempur.



Tengara Monumen dan Museum PETA yang ada di tepi Jalan Jend. Sudirman No.35, Kompleks Pusdikzi TNI-AD, Bogor.



©2021 Ikuti