Foto Boen Hay Bio

Bagian depan Kelenteng Boen Hay Bio, dengan tulisan pada gerbang berbunyi "Vihara Karunayala, Boen Hay Bio Serpong". Halaman kelenteng cukup luas, dengan warung penduduk terletak di sebelah kanan depan, di bawah pohon beringin. Menempel di atas wuwungan gerbang Kelenteng Boen Hay Bio ada kepiting raksasa. Ornamen yang baru pertama kali saya lihat di kelenteng ini. Rupanya kepiting dalam budaya Tionghoa dipercaya dapat melindungi kuil dan mampu mengusir roh-roh jahat.



Tuan rumah Kelenteng Boen Hay Bio adalah Kongco Kwan Kong (Kwan Seng Tee Kun) atau Satyadharma Bodhisattva, yang altarnya terlihat pada foto di atas, dilihat dari samping. Kwan Kong dipuja karena keteladanannya sebagai kesatria sejati yang selalu menepati janji, setia pada sumpah, dan jujur. Ia juga dipuja sebagai Dewa Pelindung Perdagangan, pelindung kesusastraan, dan pelindung rakyat dari malapetaka akibat peperangan.



Altar sembahyang di Kelenteng Boen Hay Bio Tangerang bagi Kwan Im, dewi welas asih yang dipuja karena selalu memberi berkah kepada yang meminta kepadanya. Kwan Im merupakan sebutan dalam dialek Hokkian dan Hakka yang merupakan mayoritas warga keturunan Tionghoa di Indonesia. Jauh sebelum masuknya agama Buddha ke Tiongkok, Kwan Im Pho Sat telah dikenal di Tiongkok kuno, di akhir Dinasti Han, sebagai Pek Ie Tai Su atau Dewi Berbaju Putih Yang Welas Asih. Selanjutnya ia menjadi Kwan She Im Phosat atau Avalokitesvara Bodhisattva.



Altar pemujaan di lantai dua bagi penganut agama Buddha (Mahayana), oleh sebab Kelenteng Boen Hay Bio Tangerang adalah tempat ibadah Tri Dharma (TITD), yaitu tempat sembahyang bagi para penganut Tao, Konghucu, dan Buddha. Kunjungan saya ke kelenteng ini sudah lama, sehingga sudah ada banyak perubahan pada ruangan dan patungnya, termasuk patung Buddha yang ada di altar ini. Umumnya menjadi lebih baik dan rapih.



Altar pemujaan bagi Tu Ti Kong (Tu Di Gong), Dewa Bumi dengan kekuasaan lokal yang diletakkan dekat lantai. Ada dua patung diletakkan berdekatan dengan tulisan mantra Dewa Bumi yang berbunyi "Namo samanto motonam om turu turu tiwei soha"



Tempat menancapkan batang lilin dibuat berupa deret pipa pendek dalam tiga baris dengan lebih dari sepuluh kolom. Lelehan sisa-sisa pembakaran lilin yang semuanya berwarna merah pada pipa itu membentuk tekstur tidak beraturan yang unik.



Sudut pandang sedikit bergeser yang memperlihatkan sebagian rupang yang ada di altar utama dan meja serta sekitar altar yang bermandi cahaya lilin dan lampu minyak. Di sebelah kanan adalah deretan lampu minyak dengan kertas bertulis nama pemiliknya.



Deret lampu minyak atau pelita bernomor yang semuanya harus terus menyala, sepanjang waktu, agar pemiliknya selalu diberi cahaya terang dalam hidup. Selain nomor dan nama, ada pula keterangan kota tempat tinggal sang pemilik pelita.



Arca sepasang naga yang dibuat dalam posisi tubuh melilit tiang ruang utama Kelenteng Boen Hay Bio ini dibuat dengan detail dan komposisi warna yang cukup baik, meski kurang didukung dengan ornamen gantung pada langit-langit ruang.



Sebuah bedug atau tambur berukuran cukup besar juga saya lihat di Kelenteng Boen Hay Bio. Namun belum pernah saya temukan tambur yang dihiasi ornamen indah di semua kelenteng yang pernah saya kunjungi. Genta juga ada di kelenteng ini.



Tambur lainnya lagi yang berukuran lebih kecil diletakkan di teras samping kelenteng, dan tampaknya merupakan bagian dari perlengkapan pengiring pertunjukan Barongsay.



Di salah satu bagian ruangan ada altar Dewa Kwe Sen Ong atau Kwee Sen Ong (Kong Tek Cun Ong). Kwe Sen Ong merupakan dewa leluhur suku Fujian, khususnya daerah Nan An, dan sangat populer di kalangan penduduk China maupun perantauan. Hari lahirnya diperingati pada 22 bulan 8 Imlek, dan wafatnya pada 22 bulan 2 Imlek. Kwee Sen Ong melambangkan anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan karena bakti dan kesuciannya itu, ia menjadi dewa pada usia 16 tahun.



Altar ke-7 untuk bersembahyang bagi Ciu Thian Sian Nie, Maha Dewa Thay Sang Lauw Chin (Tai Shang Lao Jun), dan Erl Lang Sen. Maha Dewa Thay Sang Lauw Chin merupakan dewa tertinggi dalam ajaran TAO. Hari besarnya diperingati pada 15 bulan 5 Imlek. Thay Sang Lauw Chin turun tiga kali ke bumi, yaitu sebagai Ban Ku Shi, Huang Ti, dan ketiga sebagai Lao Zi.



Altar Dewa Thay Sui di Kelenteng Boen Hay Bio. Thay Sui adalah dewa yang menguasai perputaran waktu. Pemujaan Thay Sui konon dimulai masa Dinasti Yuan (1280-1368). Sembahyang kepada Dewa Thay Sui biasanya dilakukan ketika suatu pekerjaan besar dan penting akan dikerjakan.



Selain rupang para dewa yang kebanyakan digambarkan dalam posisi duduk bersila, di meja ini juga ada miniatur stupa dan miniatur candi. Sebagian lagi dibuat dalam posisi berdiri, duduk di atas kursi, dan ada pula rupang Buddha Tidur.



Memperlihatkan balkon luar yang ada pada ruangan di lantai dua Kelenteng Boen Hay Bio, dengan deret lampion di atapnya. Sepasang naga berebut mustika tampak di atas wuwungan di latar belakang.



Patung dewa-dewi dilihat dari sisi lainnya. Komposisi dan letak patung-patung itu kini sudah berubah. Tulisan Dewa - Dewi juga sudah dibuat dengan lebih baik.



Kelenteng Boen Hay Bio juga memiliki grup seni Barongsay, yang biasanya muncul ketika ada perayaan di kelenteng Boen Tek Bio dan kelenteng besar lainnya, atau ketika berlangsung upacara peringatan ulang tahun Kelenteng Boen Hay Bio sendiri. Peralatannya terlihat diletakkan di pinggir ruangan, merapat pada tembok.



Jika di kelenteng biasanya ada arca atau lukisan sepasang naga berebut mustika, maka di bagian depan meja altar utama Kelenteng Boen Hay Bio ini terdapat lukisan kaca patri seekor Burung Hong / Phoenix yang tengah bertarung dengan seekor naga untuk memperebutkan mustika.



Tuan rumah Kelenteng Boen Hay Bio adalah Kongco Kwan Kong (Kwan Seng Tee Kun) atau Satyadharma Bodhisattva. Kwan Kong dipuja karena keteladanannya sebagai kesatria sejati yang selalu menepati janji, setia pada sumpah, dan jujur. Ia juga dipuja sebagai Dewa Pelindung Perdagangan, pelindung kesusastraan, dan pelindung rakyat dari malapetaka akibat peperangan.



Pandangan dekat pada lukisan kaca patri yang menggambarkan Fenghuang atau burung Hong yang di Barat dikenal dengan nama Phoenix. Dalam tradisi Tiongkok kuno, burung hong dan naga sering digunakan pada ornamen pesta pernikahan oleh sebab keduanya merupakan pasangan yin dan yang, sebagai lambang hubungan suami dan istri.



Pandangan samping pada ruang dan altar utama Kelenteng Boen Hay Bio yang memperlihatkan dua lampion tegak berbentuk drum terbalik, sepang pilar naga, kaca patri burung hong berebut mustika dengan naga, serta bedug di ujung ruangan.



Di bagian depan Kelenteng Boen Hay Bio terdapat deretan lampion lambang keberuntungan, serta dua buah Kim Lo, menara pembakar kertas sembahyang bersusun lima di bagian kiri dan kanan depan bangunan. Sebuah hiolo untuk sembahyang Dewa Langit diletakkan diantara kedua menara.



Arca sepasang singa penjaga (Cioksay) juga ada di halaman depan kelenteng Boen Hay Bio. Singa jantan di sebelah kanan bermain bola, dan singa betina di sebelah kiri bermain dengan anaknya.



Di atas meja tergeletak peralatan bebunyian berusia tua yang digunakan sebagai perlengkapan upacara sembahyang di Kelenteng.



Saat saya menunggu hujan reda di teras kelenteng, seorang petugas Kelenteng Boen Hay Bio duduk di atas sebuah kursi dan memainkan kencreng terbuat dari kuningan dengan irama ritmis. Tambur besar yang berada di depan pria itu kabarnya telah berusia cukup tua. Perayaan ulang tahun kelenteng dilakukan setiap tanggal 24 bulan enam (Lak Gwee) dalam Kalender Tionghoa.



Pandangan depan dilihat dari halaman dalam Kelenteng Boen Hay Bio, memperlihatkan sepasang Cioksay (singa penjaga), hiolo Thian (Dewa Langit) di tengah, sepasang Kim Lo (menara tempat pembakaran uang kertas sembahyang), dan arca sepasang naga di atas wuwungan.



Kelenteng Boen Hay Bio yang dibangun pada 1694 ini melambangkan samudera tanpa batas, sedangkan Kelenteng Boen Tek Bio di Pasar Lama Kota Tangerang yang dibangun pada 1684 melambangkan kebajikan setinggi gunung sedalam lautan, dan Kelenteng Boen San Bio di kawasan Pasar Baru Tangerang yang berdiri tahun 1689 melambangkan gunung.



©2021 Ikuti