Foto Taman Fatahillah

Salah satu ikon Taman Fatahillah Jakarta. Sepeda sewa dengan cat warna-warni mencorong yang dulu hanya beberapa buah, kini terlihat berjejer dalam jumlah banyak. Bersepeda di area taman menjadi sensasi tersendiri oleh sebab banyak warga Jakarta dan pelancong yang sudah jarang menyentuh sepeda di tempat tinggal mereka.



Penampilan kelompok yang menamakan diri mereka Manusia Levitasi Indonesia juga bisa disaksikan di Di Taman Fatahillah Jakarta. Salah satunya berpakaian dan bersikap menyerupai patung hidup Panglima Besar Jenderal Sudirman, lengkap dengan keris di pinggang dan senapan mainan menggeletak di depannya.



Cuplikan pagelaran kolosal di Taman Fatahillah Jakarta yang diselenggarakan oleh Museum Fatahillah berjudul "Rekonstruksi Sejarah Penyerangan Sultan Agung ke Batavia 1628 - 1629". Para pemeran pasukan Sultan Agung tampak bergerak beriringan menuju satu tempat. Perhatikan Bendera Kesultanan Mataram yang dibawa seorang prajurit. Bendera berdasar warna merah itu bergambar bulan sabit berwarna putih dan sepasang keris telanjang menyilang bergagang putih dan warna bilah biru.



Taman Fatahillah dengan latar Gedung Pos Indonesia. Di sebelah kanan merupakan kubah air mancur yang direkonstruksi dari lukisan Johannes Rach. Pondasi air mancur dengan pipa-pipanya ditemukan pada tahun 1972.



Pemandangan pada Taman Fatahillah dengan latar belakang Museum Fatahillah (Museum Sejarah Jakarta). Di sebelah kanan adalah gedung Museum Wayang. Di sisi kanan ada Cafe Batavia dan Gedung Kantor Pos, dan di belakang saya ada Museum Seni Rupa dan Keramik. Sekali datang ada banyak tempat yang bisa dikunjungi.



Gang ini memang tampaknya menjadi zona PKL Makanan - Minuman. Belum terlihat adanya penerapan standar bentuk warung PKL maupun standar pelayanan yang bisa memberi kesan baik kepada pengunjung lokal maupun luar negeri.



Sekelompok pemain yang memerankan prajurit Mataram tampak bergerak memasuki arena pertunjukan. Kru dengan peralatan perekam video tampak tertebar di beberapa titik. Pagelaran ini rupanya lebih dimaksudkan untuk direkam ketimbang dipertontonkan, lantaran tak terpasang sistem suara yang membuat penonton bisa mengikuti dialog. Akibatnya penonton seperti melihat sebuah pertunjukan bisu.



Instalasi gubuk yang terlihat ujungnya di sebelah kanan dan potongan rumah kumpeni di samping gedung Museum Fatahillah atau Museum Sejarah Jakarta. Pelataran yang kering itu tak lama kemudian menjadi basah lantaran hujan turun, dan memaksa kami untuk berteduh. Meskipun air mengguyur tak begitu deras namun cukup untuk membuat pelataran menjadi licin dan merepotkan pemain ketika melakukan aksi laga.



Seorang pria berpakain Si Pitung berlagak seperti patung diam. Namun ketika seorang gadis cantik lewat menggodanya, aksinya buyar seketika ... Di sebelah kanan tempat berdiri Si Pitung itu tergeletak beberapa buah golok, serta tulisan tangan dengan huruf kapital berantakan berbunyi "Boleh foto Marunda Si Pitung Jago(a)n Betawi". Selalu ada cara untuk mencari makan.



Sebuah potongan adegan yang cukup menarik, meski tak jelas apa yang tengah terjadi antara prajurit Mataram dan si wanita. Perempuan itu cukup menjiwai peran yang dimainkan. Pada adegan lain ia berteriak dan menangis saat diseret oleh kumpeni. Sisa tangisnya masih ada dan terlihat terus sesenggukan meski sudah selesai menjalankan perannya dan telah menepi di luar area.



Para pemeran pemimpin VOC. Pemain yang mengenakan aksesori kain putih pada pakaiannya dengan celana sedikit kedodoran itu saya kenali sebagai pemeran Pak Taka, bos HRD di sinetron komedi OB. Belakangan saya ketahui ia bernama Marlon Renaldy. Jelas tak mudah untuk menggelar tontonan seperti ini, dan karenanya inisiatif untuk menyelenggarakannya patut diacungi jempol. Diperlukan pagelaran yang rutin dan persiapan yang lebih matang untuk meningkatkan kualitas pertunjukan.



Prasasti yang dipasang di lantai Taman Fatahillah yang berbunyi "Lapangan Fatahillah - Fatahillah Square. Lapangan ini dahulu disebut stadhuisplein, merupakan alun-alun kota yang tak terpisahkan dengan Stadhuis (Balai Kota Batavia). Sebagai ruang publik, berbagai aktivitas dilakukan, seperti sosialisasi warga, jual beli, dan pengambilan air bersih. Lapangan ini berfungsi kembali pada tahun 1974 dan menjadi ikon kota tua Jakarta." Di bawahnya ada versi bahasa Inggrisnya.



Air Mancur di tengah Taman Fatahillah ini direkonstruksi berdasar lukisan pegawai VOC asal Denmark bernama Johannes Rach. Airnya dari Pancoran Glodok yang dialirkan dengan pipa ke stadhuiplein, nama Taman Fatahillah di jaman kolonial. Pada 1972 dilakukan penggalian di tempat ini dan berhasil ditemukan pondasi air mancurnya, lengkap dengan pipa-pipanya



Sepenggal kisah tentang Taman Fatahillah yang ditulis dalam bahasa Inggris, dipasang di bawah Air Mancur di tengah taman. Paragraf pertama prasasti ini menyebut bahwa Air Mancur di pusat taman dibangun pada 1743 dan hancur pada abad ke-19.



Versi bahasa Indonesia tentang sejarah Taman Fatahillah yang kini menjadi tempat favorit bagi banyak warga Jakarta dan sekitarnya untuk menghidupkan waktu bersama orang terdekat, terutama di akhir pekan.



Sepasang ondel-ondel di Taman Fatahillah, depan Museum Fatahillah, dan di sebelahnya adalah para meme yang hendak mengerek bendera Merah Putih ke atas tiang.



Deretan sepeda lawas lainnya yang telah menjadi ikon kota tua, khususnya area sekitara Taman Fatahillah Jakarta. Topi dengan gaya dari jaman kolonial, baik untuk pria dan wanita sudah disediakan di atas sepeda. Sebelah kanan adalah tenda yang disediakan sebagai pos petugas yang memberi informasi wisata kota tua.



Di Taman Fatahillah ada cukup banyak pilihan warna sepeda dan warna topi, sedangkan bentuk atau jenis sepedanya relatif sama semua. Warna ban depan rata-rata putih, dan ban belakang warna hitam dibalut warna putih.



Pandangan pada sebuah adegan ketika seorang wanita pribumi ditarik oleh serdadu kompeni. Ini lebih seperti sebuah teater luar ruang ketimbang pengambilan film. Hanya saja penonton tak bisa mendengar dialognya.



Adegan sebuah keluarga rakyat biasa yang masih bersedih setelah para serdadu kompeni pergi dari kampung mereka.



Para prajurit Sultan Agung yang berpakaian beskap tampak tengah minum dan makan sementara kuda-kuda mereka berdiri menunggu di belakangnya.



Meski hanya bisa menebak apa yang tengah terjadi di area Taman Fatahillah yang lumayan luas ini, para pengunjung masih berdiri di sekitar area untuk melihat akhir dari pertunjukan ini.



Si Pitung masih mengangkat tangannya seolah sedang takbir hendak melakukan shalat. Di latar belakang adalah gedung Kantor Pos, yang penampakannya telah berubah lagi ketika kami berkunjung ke sana beberapa waktu kemudian setelah renovasi selesai.



Para prajurit Sultan Agung telah mulai bersiap untuk bergerak menuju ke palagan.



Pasukan kuda pun sudah mulai bergerak.



Pasukan infanteri juga mulai bergerak maju dengan bendera Mataram diusung di barisan paling depan.



Para petinggi kompeni ketika baru saja datang ke lokasi.



Empat buah sepeda terlihat berjejer menunggu disewa oleh pengunjung yang datang ke Taman Fatahillah. Boncengan asli dari besi telah dilapis jok agar terasa empuk ketika membonceng.



Dereta sepeda antik lainnya yang terlihat masih cukup terawat dan bersih. Bersepeda di kawasan Taman Fatahillah menjadi kegiatan yang cukup menghibur bagi para pengunjung.



Hujan yang turun belum mampu mengusir orang-orang yang masih asik bermain sepeda, mungkin tak mau rugi karena telah membayar harga sewa. Kebetulan hujan juga tak terlalu deras.



©2021 Ikuti