Foto Museum Tionghoa Indonesia

Pemandangan pada lantai pertama bangunan dimana Museum Tionghoa Indonesia TMII Jakarta berada, saat seorang pengurus tengah menjelaskan sesuatu di depan deretan foto-foto resepsi kepada dua orang tamunya yang mungkin adalah calon pengantin. Lantai satu museum memang disewakan sebagai tempat untuk menyelenggarakan resepsi pernikahan.

A view on the first floor of the building where the Indonesian Chinese Museum is located, when a committee member was explaining something in front of a row of photos of the reception to two of his guests who might be the bride and groom. The first floor of the museum was indeed rented out as a place to hold wedding receptions.



Seorang tukang cukur dan korek kuping keturunan Tionghoa yang tengah beraksi melayani pelanggan, adalah satu dari banyak sekali repro-foto menarik yang dipajang di Museum Tionghoa Indonesia TMII. Selama hidup baru tahu ada jasa korek kuping yang bahkan tak terpikir untuk meminta orang melakukannya. Dokumentasi itu banyak yang memperlihatkan perjuangan keras para keturunan Tionghoa untuk bisa bertahan hidup.

A barber and ear-cleaner of Chinese descent in action serving customers was one of the many interesting repro-photos on display at the Indonesian Chinese Museum. During my life I just found out that there were ear cleaner services that I didn't even think about asking people to do it. Much of the documentation showed the hard struggle of Chinese descendants to survive in this country.



Bagian Museum Tionghoa Indonesia TMII Jakarta yang memajang foto hitam putih keturunan Tionghoa yang berkontribusi di banyak bidang kehidupan dimana mereka tinggal. Pada latar merah putih itu tertulis "Indonesia Kepadamu Kami Berbakti", dengan lambang Garuda Pancasila berwarna keemasan, dan Gunungan wayang Jawa cantik di tengahnya.

A section of the Indonesian Chinese Museum which displayed black and white photos of Chinese descendants who had contributed to many areas of life in which they lived. On the red and white background was written "Indonesia To You We Are Devoted", with the golden Garuda Pancasila symbol, and the beautiful Javanese Gunungan puppet in the middle.



Panggung pertunjukan Wayang Potehi di Museum Tionghoa Indonesia TMII, di area yang berisi koleksi benda budaya, adat, seni, hingga kuliner Tionghoa. Jenis wayang tradisional ini menampilkan kisah Tiongkok klasik yang sesekali disisipi pantun dalam bahasa Jawa.

Wayang Potehi performance stage at the Indonesian Chinese Museum, in an area containing a collection of cultural objects, customs, arts, and Chinese culinary. This type of traditional puppet shows a classic Chinese story that is occasionally inserted with a rhyme in Javanese.



Peta demografi Suku-Suku di Tiongkok Selatan, yang terdiri dari Hokkien, Kanton, Hakka, Teochiu, Kwongsai, Hokchiu, Hokchia, dan Henghua.

Demographic map of the Tribes of South China, consisting of Hokkien, Cantonese, Hakka, Teochiu, Kwongsai, Hokchiu, Hokchia, and Henghua.



Pajangan sejumlah keramik dari jaman Dinasti Tang, Dinasti Lima, dan Dinasti Sung Utara. Ada pula keramik dari jaman Dinasti Ching, Dinasti Yuan, dan Dinasti Ming.

Display of a number of ceramics from Tang Dynasty, Five Dynasty and North Sung Dynasty. There are also ceramics from Ching Dynasty, Yuan Dynasty and Ming Dynasty.



Sebuah peta yang memperlihatkan daerah permukiman orang-orang Tionghoa di Nusantara pada masa awal kedatangan mereka, yaitu Medan, Bagan Siapi-api, Padang, Palembang, Bangka, Belitung, Batavia, Surabaya, Pontianak, Samarinda, Banjarmasin, Makassar, dan Manado.

A map showing the settlement areas of Chinese people in the archipelago at the time of their initial arrival, namely Medan, Bagan Siapi-api, Padang, Palembang, Bangka, Belitung, Batavia, Surabaya, Pontianak, Samarinda, Banjarmasin, Makassar and Manado.



Sebuah lukisan yang menggambarkan salah satu kapal dari Armada Cheng Ho. Ada pula pajangan lukisan kapal layar Tiongkok pada jaman dahulu yang dikenal sebagai jung.

A painting depicting one of the ships from Cheng Ho's Fleet. There were also displays of ancient Chinese sailing ship paintings known as junks.



Lukisan yang menggambarkan sosok Laksamana Cheng Ho (Zeng He) dengan latar kapal-kapal yang dipimpinnya. Di dekatnya ada deret 8 lukisan dalam kotak dua baris yang menggambarkan kisah perjalanan Laksamana Cheng Ho pada tahun 1405-1433.

Painting depicting the figure of Admiral Cheng Ho (Zeng He) with the ships he led. Nearby was a row of 8 paintings in a double-row box depicting the story of Admiral Cheng Ho's journey in 1405-1433.



Berdiri di sebelah pajangan contoh rempah-rempah, yaitu jinten (cumin), bunga lawang (pekak, star anise), kapulaga (Java cardamom), Cengkeh, lada hitam, kayu manis (cinnamon), kemiri, dan pala. Pencarian dan perdagangan rempah menjadi dalih bagi bangsa Eropa untuk menancapkan kuku kolonialnya di bumi Nusantara.

Standing next to a display of specimen of spices, namely cumin, anise (deaf, star anise), cardamom (Java cardamom), cloves, black pepper, cinnamon, hazelnut, and nutmeg. The search for and trade in spices became a pretext for the Europeans to stick their colonial dirty nails in the archipelago.



Sejumlah peralatan tradisional jaman dulu yang tampak di pajang adalah batu giling abad 12, 17 dan 20; penumbuk dari abad 12; lumbang dan cobek dari abad 21. Ada pula bongkahan timah dan bongkahan tembaga.

A number of traditional tools of antiquity that appeared on display were 12th, 17th and 20th century millstones; fists from the 12th century; ponds and cobek from the 21st century. There were also lumps of tin and lumps of copper.



Foto jadul seorang penjual sup dengan tulang rusuk menonjol. Ada pula foto seorang pria botak dengan mata menyorot tajam duduk menunggui toko kain batiknya; foto pedagang kelontong keliling di depan rumah seorang hartawan Belanda; empat pedagang kain keliling.

An old photo of a soup seller with protruding ribs. There's also a photo of a bald man with sharp eyes sitting waiting for his batik cloth shop; a photo of a traveling grocer in front of a house of a Dutch journalist; four traveling cloth salesmen.



Foto jadul pedagang kain keliling yang menenteng buntalan dagangan di kedua lengannya. Sebagian besar pedagang kain itu berasal dari Shandong, Tiongkok.

An old photo of a cloth merchant carrying a bundle of merchandise on both arms. Most of the cloth traders came from Shandong, China.



Kuli-kuli Tionghoa tengah memanggul pikulan berat secara berpasangan. Ada foto lain yang memperlihatkan para kuli Tionghoa di area pertambangan. Belanda memang sengaja mendatangkan orang Tionghoa ke Nusantara untuk dijadikan kuli tambang dan perkebunan.

Chinese coolies were carrying heavy bearings in pairs. There's another photo showing Chinese coolies in the mining area. The Dutch deliberately brought Chinese people to the archipelago to become coolies for mining and plantations.



Foto yang memperlihatkan Surat Ijin Tinggal kepada orang Tionghoa yang dikeluarkan gubernur jenderal yang berkedudukan di Buitenzorg (Bogor). Ini adalah kerusuhan tahun 1740 di Batavia yang berdampak pada diberlakukannya wijkstelsel dan passtelsel dimana setiap ras dikelompokkan pemukimannya dan harus memiliki surat ijin atau pas.

Photo showing Residence Permits to Chinese issued by the governor general based in Buitenzorg (Bogor). This was riot of 1740 in Batavia which resulted in the enactment of the wijkstelsel and passtelsel where each race was grouped and its settlement must had a permit or pass.



Kuli Tionghoa Perkebunan tengah mendorong lori.

Chinese plantation laborers were pushing a lorry.



Tukang Tambal Sepatu, merangkap tukang jait dan lain-lain. Ada pula foto tukang becak dengan becak yang mirip dengan yang ada di Hong Kong.

Shoe Patchworker, concurrently a hooksmith and others. There's also a photo of a rickshaw driver with a rickshaw that is similar to the one in Hong Kong.



Tukang kunci tengah bekerja melayani pesanan.

A locksmith was working to serve orders.



Foto dokumentasi pedagang daging di Museum Tionghoa Indonesia TMII.

Documentary photo of a butcher at the Indonesian Chinese Museum.



Pedagang keliling yang memanggul dagangannya pada pundak dengan sebilah kayu.

It's a traveling merchant who carried wares on his shoulders with a piece of wood.



Tukang kunci dengan dandanan yang khas. Kerja keras dan hemat membuat orang keturunan Tionghoa akhirnya status sosialnya lama kelamaan bisa merangkak naik.

A locksmith with a distinctive appearance. It's hard work and frugality that made people of Chinese descent eventually made their social status could creep up.



Pedagang daging keliling dengan seorang anak kecil, mungkin yang membantunya berjualan.

A traveling meat seller with a kid, perhaps he helped him with the business.



Sebelah kanan adalah poster tentang John Lie (Jahja Daniel Dharma) yang lahir di Manado 9 Maret 1911, sekitar setahun lebih muda dari ayah saya. Pangkat terakhirnya adalah Laksamana Muda TNI AL dengan 17 Bintang dan Tanda Jasa tersemat di dadanya.

On the right is a poster about John Lie (Jahja Daniel Dharma) who was born in Manado on March 9, 1911, about a year younger than my late father. His last rank was Rear Admiral of the Indonesian Navy with 17 Stars and a service mark embedded in his chest.



Sekitar 60-an keturunan Tionghoa yang mendapat gelar dan penghargaan dari pemerintah Indonesia karena jasa-jasanya kepada bangsa dan negara RI.

About 60 Chinese descendants received titles and awards from the Indonesian government for their services to the Indonesian nation and state.



Koleksi perlengkapan kantor berupa mesin ketik, sempoa, pesawat telepon dan entah benda apa yang satu lagi di tengah. Ada pula koleksi alat rumah tangga seperti setrika ayam. kipas angin kuno, mesin jahit, lampu teplok dan petromax.

Collection of office supplies in the form of typewriters, abacus, telephones and who knows what other object in the middle. There's also a collection of household items such as chicken irons. ancient fans, sewing machines, lamps and petromax.



Pemandangan ke arah tembok merah putih dimana dipasang foto-foto para pesohor dan tokoh di berbagai bidang kehidupan.

A view of the red and white wall where photographs of celebrities and figures in various fields of life were installed.



Poster yang berisi catatan tentang peran keturunan Tionghoa dalam peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Rumah di Jl Kramat Raya No 106, Senen, Jakarta Pusat , yang kini menjadi Museum Sumpah Pemuda adalah tempat berlangsungnya Sumpah Pemuda saat masih dimiliki oleh Sie Kong Liong. Ada 4 orang mewakili Golongan Timur Asing Tionghoa yang juga hadir sebagai peninjau.

Poster containing notes on the role of Chinese descent in the historic Youth Oath event on October 28, 1928. The house at Jl Kramat Raya No 106, Senen, Central Jakarta, which is now the Youth Oath Museum was where the Youth Oath took place while still owned by Sie Kong Liong. There were 4 people representing the Chinese Foreign East who were also present as observers.



Sebuah pojok yang menceritakan riwayat orang Tionghoa di Kalimantan Barat dan orang Tionghoa di Tangerang. Dipamerkan juga tempayan Singkawang serta topi caping dan pikulan.

A corner that tells history of the Chinese in West Kalimantan and the Chinese in Tangerang. Also exhibited claypot of Singkawang, hats and caps.



Cangkir dan teko yang merupakan perangkat minum teh tradisional juga dipamerkan di Museum Tionghoa Indonesia.

Cups and teapots which are traditional tea sets were also on display at the Indonesian Chinese Museum.



Serangkaian foto lama yang memperlihatkan adat budaya orang Tionghoa di Indonesia seperti perayaan Fap Go Meh di Bogor, di Malang, di Surabaya, dan di Manado.

A series of old photos showing cultural customs of the Chinese people in Indonesia, such as the Fap Go Meh celebration in Bogor, in Malang, in Surabaya and in Manado.



Perayaan Cap Go Meh di Manado pada jaman kolonial.

Cap Go Meh celebration in Manado during the colonial era.



Foto perayaan Cap Go Meh lainnya.

Another Cap Go Meh celebration photo.



Foto dokumentasi penampakan sebuah kelenteng di Kupang,Timor, pada tahun 1910.

Photo documentation of the appearance of a temple in Kupang, Timor, in 1910.



Sebuah pojok dengan koleksi foto dan kursi set peranakan. Foto menunjukkan kelompok pertunjukan Wayang Orang Peranakan Tionghoa yang memakai bahasa Hokkian dicampur Melayu sebagai bahasa pengantar. Salah satu yang terkenal adalah kelompok Sien Ban Lian, yang salah satu artisnya adalah Woli Sutinah (Mak Wok)

A corner with a collection of photos and a cross-breed chair. The photo shows a Chinese Peranakan Wayang performance group that uses Hokkian mixed with Malay as the language of instruction. One of the famous ones was the Sien Ban Lian group, whose artist was Woli Sutinah (Mak Wok)



Pajangan elok enam Wayang Kulit Tionghoa-Jawa dan sebuah gunungan di tengahnya, diciptakan oleh Gan Thwan Sing pada tahun 1925 di Yogyakarta. Produk silang budaya Tionghoa-Jawa ini membawa lakon Sie Jin Kwi Ceng Tang dan Sie Teng San Ceng See.

An exquisite display of six Chinese-Javanese leather puppets and a gunungan (mountain like) in the center, created by Gan Thwan Sing in 1925 in Yogyakarta. This Chinese-Javanese cross-cultural product brought the plays of Sie Jin Kwi Ceng Tang and Sie Teng San Ceng See.



Seperangkat peralatan musik gambang kromong yang merupakan perkawinan seni budaya musik Tionghoa, Jawa, Sunda.

A set of Gambang Kromong musical instruments which are a marriage of Chinese, Javanese, Sundanese music and culture.



Pojok yang memamerkan foto busana Tionghoa peranakan seperti busana pengantin wanita dan pria, baju kurung dengan kain batik, baju tuikhim dengan celana pangsi, dan baju panjang wanita dengan kain batik.

A corner that displays photos of peranakan Chinese clothing such as clothes for the bride and groom, kurung clothes in batik cloth, tuikhim clothes with pangsi pants, and women's long shirts with batik cloth.



Perangkat dan bahan untuk membatik, lengkap beserta kainnya. Batik memang tak lepas dari pengaruh budaya kaum Tionghoa perantauan di Nusantara.

The tools and materials for batik, complete with the fabric. Batik is inseparable from the cultural influence of overseas Chinese in the archipelago.



Pojok yang memamerkan foto orang Tionghoa di perfilman Indonesia dan peralatan terkait, serta foto kuliner peranakan yang sebagian diantaranya belum pernah saya cicipi bagaimana kelezatannya.

A corner that displays photos of Chinese people in Indonesian cinema and related equipment, as well as photos of peranakan culinary, some of which I have never tasted their delicacies.



Deretan lukisan Cina klasik yang sepertinya menggambarkan suasana ketika Laksamana Cheng Ho berkunjung ke berbagai tempat dalam menjalankan misi kebudayaannya. Lukisan di bagian atas sepertinya ketika berkunjung ke wilayah di Afrika, Timur Tengah dan Asia Selatan, sedangkan dua yang terakhir di bagian bawah sepertinya di Sumatera dan Jawa.

A row of classical Chinese paintings that seem to depict the atmosphere when Admiral Cheng Ho visited various places in carrying out his cultural mission. The painting at the top seems to be when visiting regions in Africa, the Middle East and South Asia, while the last two at the bottom seem to be in Sumatra and Java.



Koleksi Museum Tionghoa berupa berbagai jenis timbangan lama yang sebagian masih digunakan hingga sampai saat ini.

The collection of the Chinese Museum consists of various types of old scales, some of which are still in use today.



Foto dokumentasi toko kain batik yang dimiliki oleh pedagang Cina di jaman kolonial.

Photo documentation of a batik cloth shop owned by a Chinese merchant in colonial times.



Pedagang Kelontong Keliling di jaman kolonial.

Traveling Grocery Trader in colonial times.



Orang Cina yang menjadi pedagang kain keliling di jaman kolonial.

Chinese people who became roving cloth traders in colonial times.



Foto dokumentasi yang memperlihatkan para Kuli Cina di daerah pertambangan.

Documentary photo showing Chinese coolies in the mining area.



Tukang becak orang Cina di jaman kolonial.

Chinese rickshaw driver in colonial times.



Pedagang keliling orang Cina yang barang-barangnya tengah dilihat oleh orang pribumi.

It was a Chinese traveling merchant whose goods were being seen by the natives.



Toko kelontong milik orang Cina di Deli.

Chinese-owned grocery store in Deli.



Toko obat milik orang Cina di jaman kolonial.

Chinese medicine shop in colonial times.



Sebuah tulisan yang mengutip perkataan Laksamana Madya (Purn) TNI AL Sumitro tentang sebutan Cina, China, dan Tionghoa. Namun istilah Cina sebenarnya netral, hanya ada masanya ketika kata itu digunakan dengan konotasi rasis. Kini tak ada beda menyebut ketiga kata itu, apalagi dengan pesatnya kemajuan di Cina daratan sana, tak ada alasan untuk rendah diri lagi dengan sebutan Cina.

An article that quotes the words of the Vice Admiral (ret) of the Indonesian Navy Sumitro about the designations of Cina, China and Tionghoa. However, the Cina term is actually neutral, only having a time when it was used with racist connotations. Now there is no difference in calling these three words, especially with the rapid progress in mainland China, there is no reason to be inferior to being called Cina or Chinese.



Sebelah kanan adalah sejumlah nama keturunan Cina yang dimakamkan di Taman Pahlawan di sejumlah kota, yaitu Lei Eng Hok (Perintis Kemerdekaan, TMP Serang), John Lie (17 Tanda Jasa, TMP Kalibata), Oen Pei Hin (Perang Kemerdekaan, TMP Cikacut Bandung), Ferry Sie King Lien (Tentara Pelajar, TMP Jurug Solo), Tiong Pek (Perintis Kemerdekaan, TMP Blora), dan Sho Bun Seng (Pahlawan Kemerdekaan, TMP Kalibata).

On the right are a number of names of Chinese descent buried in Heroes Park in several cities, namely Lei Eng Hok (Pioneer of Independence, TMP Serang), John Lie (17 merit, TMP Kalibata), Oen Pei Hin (War of Independence, TMP Cikacut Bandung. ), Ferry Sie King Lien (Student Army, TMP Jurug Solo), Tiong Pek (Pioneer of Independence, TMP Blora), and Sho Bun Seng (Independence Hero, TMP Kalibata).



Koleksi Museum Tionghoa berupa alat-alat rumah tangga kuno, mulai dari setrikaan ayam jago, kipas angin, mesin jahit, lampu petromaks, dan lampu teplok.

The Chinese Museum's collection in the form of ancient household utensils, from rooster irons, fans, sewing machines, petromax lamps, and traditional lamps.



Catatan tentang orang-orang keturunan Cina yang pernah menjabat dalam pemerintahan RI. Diantaranya ada yang dibuang ke Boven Digul, ada yang menjadi anggota BPU-PKI, PPKI dan menjadi veteran Perang Kemerdekaan. Ada pula yang pernah menjabat sebagai menteri dalam berbagai kabinet di jaman Orde Lama, Order Baru, hingga di jaman Reformasi.

Notes on people of Chinese descent who had served in the Indonesian government. Some of them were exiled to Boven Digul, some were members of BPU-PKI, PPKI and became veterans of the War of Independence. Others have served as ministers in various cabinets during the Old Order, New Order, and Reform era.



Diantara tokoh Cina yang saya kenal namanya pada foto-foto ini adalah Kho Ping Hoo (penulis cerita silat Cina), Yap Thiam Hien, Fanny Gunawan (bulu tangkis), Ateng Suripto (pelawak).

Among the Chinese figures I know by name in these photos are Kho Ping Hoo (Chinese martial arts story writer), Yap Thiam Hien, Fanny Gunawan (badminton), and Ateng Suripto (comedian).



Pada foto ini ada Ferry Salim (aktor), Johan Wahyudi (bulu tangkis), Lita Sugiarto (bulu tangkis), Kadir Jusuf (sepak bola), Tan Tjeng Bok, Chandra Wijaya, dll.

In this photo, there are Ferry Salim (actor), Johan Wahyudi (badminton), Lita Sugiarto (badminton), Kadir Jusuf (soccer), Tan Tjeng Bok, Chandra Wijaya, etc.



Pada foto ini ada Teguh Karya (sutradara film), Mas Agung, Ong Hok Ham, Bubi Chen, Rudy Hartono, Chandra Wijaya, Susi Susanti, Alan Budikusuma, Ivana Lie, Hastomo Arbi, dll.

In this photo there are Teguh Karya (film director), Mas Agung, Ong Hok Ham, Bubi Chen, Rudy Hartono, Chandra Wijaya, Susi Susanti, Alan Budikusuma, Ivana Lie, Hastomo Arbi, etc.



Pada foto ini ada Christian Hadinata, Ade Chandra, Rio Haryanto, Tjun Tjun, Liem Swie King, Sinyo Supit, Verawati Wiharjo (Fajrin), Rudy Gunawan, dll.

In this photo there are Christian Hadinata, Ade Chandra, Rio Haryanto, Tjun Tjun, Liem Swie King, Sinyo Supit, Verawati Wiharjo (Fajrin), Rudy Gunawan, etc.



Pada foto ini ada Thomas Lembong, Harry Tjan Silalahi, Jusuf Wanandi, Marie Elka Pangestu, Sofjan Wanandi, Basuki Tjahaja Purnama, Kwik Kian Gie, dll.

In this photo there are Thomas Lembong, Harry Tjan Silalahi, Jusuf Wanandi, Marie Elka Pangestu, Sofjan Wanandi, Basuki Tjahaja Purnama, Kwik Kian Gie, etc.



Pada foto ini ada Soe Hok Gie, Brigjen Teddy Jusuy, Eddie Lembong, Alvin Line, Murdaya Poo, Djiauw Kie Song, dll.

In this photo are Soe Hok Gie, Brigadier General Teddy Jusuy, Eddie Lembong, Alvin Line, Murdaya Poo, Djiauw Kie Song, etc.



Pada foto ini ada Junus Jahja, Handrawan Nadesul, Kwa Tjoan Sioe, Oei Ban Liang, dll.

In this photo are Junus Jahja, Handrawan Nadesul, Kwa Tjoan Sioe, Oei Ban Liang, etc.



Koleksi alat-alat tulis Cina berupa kuas, cap pualam, dan sejumlah koleksi menarik lainnya.

Collection of Chinese stationery in the form of brushes, marble stamps, and a number of other interesting collections.



Beberapa buah tempayan atau Martavan asal Singkawang, Kalimantan Barat. Di Singkawang dan Sibu, warga keturunan Cina membuat tungku pembakaran yang dikenal sebagai Tungku Naga yang masing-masing bisa memuat sekitar 2000 mangkok, 2000 piring, dan ratusan tempayan.

Several jars or Martavan fruits from Singkawang, West Kalimantan. In Singkawang and Sibu, people of Chinese descent made stoves known as Tungku Naga which could each contain about 2000 bowls, 2000 plates, and hundreds of jars.



Di sebelah kiri adalah ucapan terima kasih kepada tokoh-tokoh yang telah membantu terwujudnya pembangunan museum ini. Desain bangunan ini dibuat oleh Biro Arsitek Kota Meizhou. Di tengah adalah tulisan yang berisi riwayat perkumpulan Hakka Indonesia.

On the left is a thank you expression to the figures who helped the construction of this museum. The design of the building was created by the Meizhou City Architectural Bureau. In the middle is an inscription containing the history of the Indonesian Hakka association.



Foto dan benda yang memperlihatkan jejak sejarah orang Cina di Tangerang, seperti Kelenteng Boen Tek Bio, pikulan dan topi caping, aneka anyaman bambu, dan berbagai dokumentasi acara budaya. Orang Cina datang pertama kali ke Tangerang pada tahun 1407.

Photos and objects showing historical traces of the Chinese people in Tangerang, such as the Boen Tek Bio Temple, bollocks and hats, various woven bamboo, and various documentation of cultural events. The Chinese first came to Tangerang in 1407.



Foto-foto dan benda yang memperlihatkan jejak keturunan Cina di Pulau Bangka dan Belitung. Mereka terutama bekerja di tambang-tambang timah di pulau itu.

Photographs and objects showing traces of Chinese descent on the islands of Bangka and Belitung. They mainly worked in the tin mines on the island.



Di latar depan adalah beberapa set perangkat minum teh. Di sebelah kiri adalah catatan jejak sejarah orang Cina di Aceh.

In the foreground are several sets of tea sets. On the left are the historical traces of the Chinese in Aceh.



Dokumentasi yang mencatat jejak sejarah orang Cina di Bali. Disebutkan bahwa ada seorang perempuan Cina bernama Kang Cing Wie (Balingkang) yang datang bersama ayahnya untuk berdagang ke Bali pada abad ke-12. Raja di Bangli kemudian menyuntingnya setelah ia setuju untuk memenuhi persyaratan yang diajukan Kang, diantaranya perdagangan harus menggunakan uang kepeng Cina dan rakyat setempat harus memeluk agama Buddha Mahayana. Setelah sang puteri meninggal, dibuatlah sebuah pura untuk mengenang jasanya, yang diberi nama Pura Dalem Balingkong.

Documentation that records the historical traces of the Chinese in Bali. It is said that there was a Chinese woman named Kang Cing Wie (Balingkang) who came with her father to trade in Bali in the 12th century. The king in Bangli then married her after he agreed to comply with Kang's requirements, including trading using Chinese coins and local people having to embrace Mahayana Buddhism. After the daughter died, a temple was made to commemorate her services, which was named Pura Dalem Balingkong.



Dokumentasi foto yang memperlihatkan jejak sejarah orang Cina di Indonesia, diantaranya Kampung Cina di Kupang di jaman kolonial, Kelenteng di Sambas tahun 1900, kelenteng di Ambon tahun 1895, Kampung Cina di Samarinda, kelenteng di Banda Naira tahun 1930, dan kelenteng di Kupang tahun 1910.

Photo documentation showing traces of the history of the Chinese in Indonesia, including a Chinese village in Kupang in colonial times, a temple in Sambas in 1900, a temple in Ambon in 1895, a Chinese village in Samarinda, a temple in Banda Naira in 1930, and a temple in Kupang in 1910 .



Dokumentasi yang memperlihatkan beberapa orang yang menghela kereta pada perayaan tahun baru Imlek di Ternate pada jaman kolonial.

Documentation showing several people pulling a train during the Chinese New Year celebrations in Ternate in the times of colonial era.



Foto dokumentasi lomba panjat pinang pada perayaan tahun baru Imlek di Makassar pada jaman kolonial.

Photo documentation of the pinang climbing competition on Chinese New Year celebrations in Makassar during the colonial era.



Lomba perahu naga pada perayaan Hari Raya Pe-Cun di jaman kolonial.

Dragon boat race on the celebration of Pe-Cun in colonial times.



Sembahyang Cio-Ko (bulan tujuh) di Malang pada jaman kolonial.

Praying Cio-Ko (seven months) in Malang during the colonial era.



Sembahyang Cio Ko (bulan tujuh) di Batavia pada jaman kolonial.

Praying Cio Ko (seven months) in Batavia during the colonial era.



Boneka kertas (Khai Lo Sin) untuk prosesi pemakaman pejabat Tionghoa, mengingatkan pada ogoh-ogoh di Bali.

Paper doll (Khai Lo Sin) for the funeral procession of Chinese officials, reminiscent of ogoh-ogoh in Bali.



Sembahyang Cio Ko (bulan tujuh) di Surabaya pada jaman kolonial.

Praying for Cio Ko (seven months) in Surabaya during the colonial era.



Sembahyang Cio Ko (bulan tujuh), masih di Surabaya pada jaman kolonial.

Praying Cio Ko (seven months), still in Surabaya during the colonial era.



Kereta jenazah pejabat Cina pada jaman kolonial.

Hearse of Chinese office in colonial times.



Dokumentasi jejak sejarah kaum Cina di Medan, diantaranya adalah Tjong Yong Hian dan Tkong A Fie.

Documentation of historical traces of the Chinese in Medan, including Tjong Yong Hian and Tkong A Fie.



Lukisan burung merpati di sebelah atas berjudul "PEACE" karya Lee Man Fong (1913-1988), dan yang di bawahnya berjudul "DUCK SELLER" karya Lim Wasim (1929-2004).

The dove above is entitled "PEACE" by Lee Man Fong (1913-1988), and the one below is entitled "DUCK SELLER" by Lim Wasim (1929-2004).



Koleksi yang dikenal sebagai kebaya encim di Museum Tionghoa. Kainnya merupakan bagian apa yang dikenal luas sebagai batik peranakan.

A collection known as the encim kebaya at the Chinese Museum. The fabric is part of what is widely known as peranakan batik.



Beberapa koleksi Batik Peranakan tampak dipajang di Museum Tionghoa. Ini adalah batik yang dibuat oleh para pengusaha keturunan Cina yang memakai desain motif serta warna yang dipengaruhi budaya Cina. Batik peranakan umumnya bisa ditemui di daerah pesisir, seperti Pekalongan, Lasem, Juwana, Kudus, Demak, Cirebon, dan Semarang.

Some of the Peranakan Batik collections appear on display at the Tionghoa Museum. This batik was made by Chinese businessmen who wore Chinese-influenced motifs and colors. Peranakan batik can generally be found in coastal areas, such as Pekalongan, Lasem, Juwana, Kudus, Demak, Cirebon and Semarang.



Sumbangan kaum keturunan Cina pada kuliner Nusantara, diantaranya adalah Tahu Pong Semarang, Ie Fu Mie, Bihun Bakso dan Tahu Isi, Bakmi Goreng, Bacang dan Lumpia.

Contributions of Chinese descendants to Indonesian culinary delights include Semarang Pong Tofu, Ie Fu Mie, Bihun Bakso and Tofu Contents, Fried Noodles, Bacang and Lumpia



Ruang tengah gedung yang digunakan untuk Museum Tionghoa, yang namanya terlihat di lantai dua sebelah kiri atas. Lampion merah tampak menghias sekeliling lingkaran dalam gedung.

The central room of the building used for the Chinese Museum, whose name is visible on the second floor on the upper left. Red lanterns appear to decorate around the inner circle of the building



Pandangan dari lantai dua dimana terlihat pintu masuk ke Museum Tionghoa Indonesia berada di seberang sana.

The view from the second floor where you can see the entrance to the Chinese Indonesian Museum is across there.



Pintu masuk ke ruangan yang menjadi tempat Museum Tionghoa Indonesia.

The entrance to the room which houses the Indonesian Chinese Museum.



Lukisan Kapal layar Tiongkok jaman dulu yang dikenal dengan nama Jung.

Painting of an ancient Chinese sailing ship known as Jung.



Koleksi keramik yang berasal dari Dinasti Ching.

A collection of ceramics dating from the Ching Dynasty.



Koleksi keramik yang berasal dari Dinasti Yuan.

A collection of ceramics dating from the Yuan Dynasty.



Koleksi keramik yang berasal dari jaman Dinasti Ming.

A collection of ceramics dating from the Ming Dynasty.



Perayaan Cap Go Meh di Bogor pada jaman kolonial.

Cap Go Meh celebration in Bogor during the colonial era.



Perayaan Cap Go Meh di Surabaya pada masa kolonial.

Cap Go Meh festival in Surabaya during colonial times.



Perayaan Cap Go Meh di Kota Malang pada jaman kolonial.

Cap Go Meh Celebration in Malang during the colonial era.



Perayaan Cap Gomeh di Kota Bogor di jaman kolonial.

Cap Gomeh Celebration in the city of Bogor in colonial times.



Kuliner peranakan lainnya adalah onde-onde wijen, kue putu mayang, kue khu ketan, aneka kue basah, kue moho, tiong ciu pia, dan kue onde.

Other peranakan culinary delights are sesame onde-onde, putu mayang cake, glutinous khu cake, various wet cakes, moho cake, tiong ciu pia, and onde cake.



Selanjutnya ada kue lapis, kue wajik, sate manis, bakmi kangkung, dan laksa.

Furthermore, there are layer cakes, wajik cakes, sweet satay, noodle kale, and laksa.



©2021 Ikuti