Foto Museum Satriamandala

Halaman depan Museum Satriamandala Jakarta terdapat sebuah Bendera Merah Putih yang dikerek di puncak tiang tinggi diapit oleh dua buah meriam artileri pertahanan udara. Halaman depan museum ini sangat luas dan dinaungi pepohonan yang rindang. Di halaman sebelah itu kendaraan pengunjung diparkir, selain di halaman samping yang juga teduh.



Sebuah diorama di Museum Satriamandala dibuat untuk menggambarkan pertempuran heroik di Surabaya yang menggegerkan dunia dan kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan. Invasi besar-besaran Sekutu ke Surabaya bermula dari serangkaian ketegangan antara pasukan sekutu yang diboncengi Belanda dengan para pejuang, yang memuncak pada tewasnya BrigJen AWS Mallaby di sekitar Jembatan Merah. Jasad Mallaby dikubur di Makam Perang jakarta.



Kami sempat melihat salah satu mitraliur koleksi Museum Satriamandala Jakarta, yang meskipun tanpa peluru dan tak lagi digunakan namun masih tampak garang. Di dekatnya terdapat sejumlah koleksi senjata tempur lainnya berupa senapan mesin, pelontar granat, meriam lapangan, dan persenjataan militer lainnya. Beberapa persenjataan berat milik TNI juga disimpan di museum ini.



Sebuah tank ringan yang masih tampak garang dan dalam kondisi cukup baik bisa dijumpai di area pamer luar Museum Satriamandala Jakarta. Ada pula Tank Amfibi dan kendaraan pengangkut pasukan yang pernah digunakan korps marinir dalam Operasi Trikora dan penumpasan G30S-PKI. Juga tubuh yang panjang dan garang dari kendaraan tempur PANSROD BTR 152.



Pemandangan pada deretan diorma Diorama yang berada di dalam gedung Museum Satria Mandala. Diorama itu merupakan karya Edhi Sunarso, pematung lulusan ASRI 1955 kelahiran Salatiga, yang juga membuat sejumlah patung yang menjadi landmark terkenal Kota Jakarta.



Diorama Museum Satria Mandala yang menggambarkan badan-badan perjuangan bersenjata dalam periode perang kemerdekaan RI. Badan Keamanan Rakyat dibentuk dari Laskar Rakyat, PETA, dan KNIL. BKR kemudian menjadi Tentara Keamanan Rakyat pada tangal 5 Oktober 1945.



Kursi tandu bersejarah di Museum Satria Mandala yang dipakai mebawa Jenderal Soedirman saat memimpin perang gerilya melawan tentara pendudukan Belanda dalam agresi militer mereka ke wilayah RI.



Koleksi foto dokumenter semasa perjuangan menempel pada dinding kayu di sebelah kanan, lengkap dengan keterangan di bawahnya, serta sejumlah meja kursi kayu dan amben tempat tidur bersejarah yang pernah digunakan di jaman perang kemerdekaan.



Pandangan lebih dekat pada deretan foto dokumenter hitam putih yang dipajang di sepanjang dinding kayu, dengan keterangan ringkas di bawahnya. Di ujung sana adalah tandu yang pernah digunakan Panglima Besar Sudirman ketika bergerilya semasa agresi militer Belanda.



Panglima Besar Jenderal Sudirman ditandu saat kembali ke Yogyakarta pada Juli 1949 setelah berjuang melawan Belanda dengan menjalankan perang gerilya. Bersamanya terlihat Dr. Irsan Ibrahim (dokter pribadi Jenderal Sudirman), Letkol Suadi, Bambang Sumardjo, dan Hanum Faeny.



Ujung ruangan di Museum Satria Mandala Jakarta dimana terdapat dokumentasi foto hitam putih, juga ada satu stel meja kursi bersejarah, lukisan besar pada dinding, serta lukisan potret dan patung dada di sisi sebelah kiri.



Pataka atau lambang-lambang bendera kesatuan Tentara Nasional Indonesia yang disimpan di Museum Satria Mandala. Pataka menjadi identitas sekaligus kebanggaan bagi setiap anggota kesatuan yang bernaung di bawahnya.



Lima sumpah prajurit yang menjadi landasan sikap dan perbuatan para tentara di setiap kesatuan, dimulai dengan sumpah setia kepada pemerintah dan tunduk kepada undang-undang dan ideologi negara, dan ditutup dengan sumpah untuk memegang segala rahasia tentara sekeras-kerasnya.



Dokumentasi foto berbagai penugasan Tentara Nasional Indonesia dalam ikut menjaga perdamaian dunia melalu Konga (Kontingen Garuda) yang bertugas di berbagai negara, seperti Kamboja, Kuwait, Namibia, Irak, dan banyak lagi. Konga telah ikut mengharumkan nama bangsa Indonesia, terutama di tempat mereka bertugas.



Sejumlah senjata persenjataan berat terlihat diletakkan di tengah lorong di ujung ruangan Museum Satria Mandala. Sejumlah pistol dan senapan laras panjang dari berbagai jenis juga bisa ditemui di tempat ini. Umumnya dalam kondisi yang masih baik.



Meriam anti pesawat terbang juga ada di Museum Satria Mandala Jakarta. Di ujung sebelah kanan berbentuk seperti bola berukuran besar bergerigi warna mearah adalah salah satu dari koleksi ranjau laut yang sudah dinonaktifkan.



Pelontar granat, senapan mesin, mitraliur dari berbagi jenis, dan senjata laras panjang lainnya terlihat dipajang di salah satu ruangan Museum Satria Mandala Jakarta. Jika saja senjata itu bisa bercerita tentu akan seru sekali.



Selain meriam lapangan dan senjata anti pesawat, di bagian tengah yang berwarna abu-abu adalah senapan mesin yang dipasang di kapal perang. Bentuk agak bulat di atasnya tampaknya adalah tempat magazin. Meriam lapangan biasanya ditarik oleh kuda atau kendaraan roda empat.



Koleksi Museum Satria Mandala yang memperlihatkan setir yang digunakan untuk mengarahkan moncong laras pada sasaran meriam anti pesawat terbang ini. Warna loreng seperti kulit harimau pada meriam anti pesawat yang ada di sebelah kanan membuatnya tampak menjadi lebih garang.



Entah sejarah penugasan seperti apa yang telah dialami oleh semua persenjataan yang terlihat di sini. Meskipun ada catatan di sana, namun mungkin kata-kata saja tak akan cukup untuk menggambarkan pertarungan yang pernah terjadi.



Dua buah torpedo kapal selam berukuran besar berbaling-baling di ujung belakangnya ikut dipajang di Museum Satria Mandala. Terpedo semacam ini bisa menenggelamkan kapal dagang atau kapal penumpang musuh.



Dua buah kendaraan militer di area pamer luar Museum Satria Mandala yang menyimpan koleksi seperti Tank amfibi dan kendaraan pengangkut pasukan yang pernah digunakan oleh korps marinir dalam Operasi Trikora dan penumpasan G30S-PKI.



Spesifikasi lengkap kendaraan militer Pansrod BTR 152 P buatan rusia yang pada 1962-1962 memperkuat Korps Marinir dalam Operasi Trikora, ikut menumpas PKI pada 1965, dan masuk museum pada 1979. Kendaraan ini terlihat pada foto sebelumnya, sebelah kiri.



Meskipun sudah tampak tua namun kendaraan militer Pansrod BTR 152 P buatan Rusia ini masih tampak gagah dengan bentuk yang sangat unik. Meskipun tak sepanjang truk, namun karena bebannya yang berat maka roda belakangnya masing-masing ada dua.



Sejumlah tank amfibi yang pernah memperkuat Korps Marinir dipajang di ruang pamer terbuka Museum Satria Mandala. bentuk bagian depannya membuat tank ini bisa melaju menyibak air laut dengan aman.



Mobil Jeep tua yang ramping dan lincah ini pernah dipergunakan oleh Jenderal Soedirman dan kemudian diberikan kepada dokter pribadinya yang bernama Koesen Hirohoesodo sebagai penghargaan atas kesetiaan mendampinginya selama memimpin perang gerilya.



Papan tengara yang menceritakan kisah yang pernah dialami oleh mobil Jeep Willys antik yang ada di Museum Satria Mandala. Jeep Willys adalah kendaraan four-wheel drive yang diproduksi selama Perang Dunia II, tahun 1941-1945. Paska perang dibuat versi sipil Jeep CJ, yang juga masuk ke Indonesia.



Koleksi menarik lainnya adalah kendaraan tempur dengan persenjataan berat laras panjang beroda ganda, dengan ban karet besar di bagian depan dan belakang, serta dua roda besi ditengahnya. Tentu ada alasan menggunakan roda semacam itu. Mungkin roda tengah adalah untuk penstabil saat meriam ditembakkan, dan ketiak berjalan, keempat roda besi itu akan naik ke atas.



Sejenis landing ship tank tanpa moncong meriam juga ada di Museum Satria Mandala. Mudah-mudahan PINDAD kini telah mampu membuat kendaraan militer sejenis ini. Persenjataan seperti senapan mesin mungkin dipasang di bagian atasnya.



Kendaraan amfibi pengangkut personel yang disimpan di ruang pamer terbuka di Museum Satria Mandala Jakarta. Dinding besi kendaraan ini tampaknya tak terlalu tebal di bagian depan, dan sudah ada sejumlah bagian yang berkarat.



Cungkup bangunan yang menyimpan koleksi kendaraan militer dan kendaraan tempur di Museum Satria Mandala. Karena tak berdinding maka tempias air hujan bisa masuk ke dalam cungkup ini, dan membuat kotor karena percikan tanah.



Di belakang gedung utama Museum Satria Mandala terdapat gedung lain yang menyimpan patung-patung pahlawan dan mantan petinggi TNI, termasuk patung Jenderal Sudirman yang terbuat dari perunggu.



Patung Jenderal Sudirman yang terbuat dari perunggu di dalam gedung yang ada di bagian belakang museum. Pakaian tentara jaman dahulu terlihat sangat khas, meniru pakaian tentara jepang, dengan sepatu yang tinggi.



Pencahayaan di ruangan ini pada waktu saya berkunjung tidak begitu baik karena hanya sedikit lampu yang dinyalakan sehingga ketiga patung ini terlihat agak gelap.



Di halaman belakang ini ada pula koleksi persenjataan berat berupa artileri pertahanan udara serta sebuah roket yang sudah dinonaktifkan.



Sebuah perluru kendali yang telah dinonaktifkan dipajang di halaman belakang Museum Satria Mandala Jakarta.



Koleksi pesawat terbang ini disimpan di bagian samping belakang Museum Satria Mandala. Di belakang sana, dengan mulut bergambar moncong ikan hiu adalah pesawat Cureng yang pernah diterbangkan oleh Marsekal Udara Agustinus Adi Sucipto.



Tengara selamat datang dan sebuah meriam di halaman depan Museum Satria Mandala, dengan sebuah meriam lapangan diletakkan di depannya. Museum Satria Mandala merupakan tempat wisata museum militer yang sangat menarik untuk dikunjungi oleh seluruh anggota keluarga.



Pesawat A-4 Skyhawk TT-0438 yang terlihat garang dengan persenjataan lengkap di bawah badannya. Tentu saja roket dan rudalnya sudah tidak aktif lagi. Pesawat tempur ini baru setahun lebih menjadi koleksi Museum Satria Mandala saat terakhir saya berkunjung ke sana pada September 2018.



Prasasti yang menandai diresmikannya Pesawat A-4 Skyhawk TT-0438 sebagai salah satu koleksi Museum Satria Mandala, yang peresmiannya dilakukan oleh Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, yang saat foto ini terbit masih menjabat sebagai Panglima TNI.



Sudut pandang lain pada pesawat TNI jenis A-4 Skyhawk TT-0438 ketika seorang ayah dan puteranya tengah melangkah mendekati untuk melihat dari jarak dekat. Setidaknya ada tiga jenis senjata yang berada di bawah badan pesawat, paling kiri berukuran terkecil bermoncong biru mungkin roket udara ke udara untuk dog fight, lalu bermoncong kuning mungkin untuk menyerang kapal perang atau kapal selam, dan berwarna putih berukuran paling besar yang sepertinya untuk membom fasilitas militer musuh.



Koleksi Museum Satria Mandala berupa Meriam 25 PDR/88 MM. Data yang tercantum di sana menyebutkan Inggris sebagai negara asal, kaliber 88 mm, berat 1.800 kg, panjang laras 2.350 mm dengan jarak tembak efektif 12.250 m.



Di ujung kiri halaman depan Museum Satria Mandala terdapat replika kapal perang Macan Tutul dengan nomor lambung 602. Jauh di ujung kanan depan, tak terlihat pada foto, ada sebuah helikopter serta sebuah rudal tak jauh di sebelahnya. Rerumputan di halaman museum terlihat masih mengering meski hujan sesekali telah mulai turun.



Perbandingan ukuran Meriam 25 PDR / 88 mm dengan orang dewasa. Meriam dengan berat 1,8 ton ini memang terlihat sangat berat, dan nyaris mustahil bisa didorong dengan tenaga manusia. Karena memiliki roda maka meriam ini tentunya bisa ditarik di belakang sebuah truk militer.



Pandangan samping pada Meriam 25 PDR/88 MM yang kondisinya terlihat masih sangat baik, meski diletakkan di luar ruangan yang terpapar langsung oleh panas dan hujan. Hanya saja beton di bawahnya yang terlihat berdebu tanda jarang dibersihkan.



Pandangan pada kapal perang Macan Tutul ketika beberapa orang pengunjung lewat di dekatnya, memberi gambaran perbandingan besar ukurannya. KRI Matjan Tutul adalah salah satu dari delapan Kapal Cepat Torpedo kelas Jaguar yang dibeli dari Jerman Barat pada tahun 1960-an dan terlibat langsung dalam Pertempuran Laut Aru pada Operasi Trikora untuk membebaskan Irian Barat dari tangan Belanda.



Meriam 25 PDR/88 mm dilihat dari arah belakang memperlihatkan bagian yang biasanya diikat pada truk militer ketika dibawa ke medan pertempuran atau dibawa kembali ke markas. Pada Perang Dunia II meriam ini ditinggalkan tentara Sekutu di wilayah Aceh.

Pada 1948 dipakai untuk melawan tentara Belanda di daerah Aceh Timur; 1950 dipakai menumpas pemberontakan Andi Azis di Sulawesi Selatan, dan menumpas RMS di Ambon; 1951 menumpas DI / TII di Lemah Lanang Gunung Srandil, Banyumas; 1952 menumpas pemberontakan Batalyon Infantri 426/Munawar di daerah Solo, Yogyakarta, Pekalongan, Pemalang dan Tegal; masih di tahun yang sama dipakai untuk menumpas DI/TII di Jawa Tengah dan Jawa Barat sampai tahun 1962; 1957 menumpas pemberontakan PRRI di Sumatera; 1958 dipakai dalam operasi penumpasan pemberontakan Permesta di Sulawesi Utara sampai tahun 1959; 1962 menumpas DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat (Operasi Barata Yuda). Pada tahun 1972 meriam ini menjadi koleksi Museum ABRI Satria Mandala.



Pesawat tempur TNI A-4 Skyhawk dilihat dari jarak yang agak jauh dengan latar gedung jangkung di ujung sana. Tepat di depan pesawat adalah area parkir kendaraan pengunjung. Lintasan semen yang diapit kembang putih putih adalah menuju ke meriam kedua yang ada di halaman Museum Satria Mandala.



Lintasan jalan semen yang menuju ke arah gedung utama Museum Satriamandala. Di mulut pintunya pengunjung membayar tiket Rp4.000 per orang, dan Rp5.000 untuk mobil dengan mendapat sebuah stiker. Pelajar dan Mahasiswa cukup membayar Rp2.500 per orang. Jika datang pada tanggal 5 Oktober dan 10 November maka pengunjung bisa masuk gratis tanpa dipungut bayaran.



Bendera Sangsaka Merah Putih di latar depan saat itu berkibar setengah setengah oleh karena bertepatan dengan tanggal 30 September 2018, memperingati tewasnya para jenderal dan korban lainnya dalam peristiwa pemberontakan G30S PKI. Di latar belakang adalah tempat parkir kendaraan yang cukup luas.



TT-0438 (sebelumnya 151072) adalah salah satu dari 16 pesawat A-4E Skyhawks yang dibeli dari Israel pada tahun 1982 dan baru operasional pada 1985 setelah mengalami perbaikan yang dibiayai pemerintah Indonesia. Dua tahun sebelumnya, yaitu pada 1980, Indonesia membeli 14 A-4E Skyhawk dari Israel dengan Singapura bertindak sebagai broker.

TT-0438 dipensiunkan pada tahun 2004 dan disimpan di Pangkalan Udara Hasanuddin. Pada awal Februari 2017 pesawat itu dibawa ke Jakarta menggunakan pesawat angkut Lockheed C-130 Hercules. Pada tahun 2015 seluruh pesawat Skyhawk tidak lagi operasional.



Meriam yang ada di sebelah kiri adalah dari jenis yang sama dengan meriam yang ada di sebelah kanan halaman museum, yaitu Meriam 25 PDR/88 mm. Kedua meriam itu juga digunakan dalam operasi militer yang sama, hingga dipensiunkan dan disimpan di Museum Satriamandala Jakarta.



Sudut pandang lain yang memperlihatkan persenjatakn A-4 Skyhawk TT-0438. TT adalah kode dari TNI AU untuk pesawat Tempur Taktis. Pesawat ini mestinya mampu meluncurkan rudal AIM-9 Sidewinder, AGM-45 Shrike, AGM-65 Maverick, AGM-62 Walleye glide bomb, dan AGM-12 Bullpup, hanya saja yang dimiliki TNI AU tidak diset untuk mampu meluncurkan rudal.

Setiap A-4 Skyhawk milik TNI AU dipersenjatai dengan 6 bom Mk.82, 2 tabung peluncur roket LAU-68B yang masing-masing berisi 7 FFAR 2.75mm, serta 2 kanon Colt Mk 12 kaliber 20mm yang masing-masing berisi 100 peluru.



Jalan lebar di depan gedung utama Museum Satriamandala yang memisahkannya dengan halaman depan yang luas dimana terdapat meriam, pesawat tempur, kapal perang, helikopter dan roket. Di bawah dudukan berbentuk rumahan terdapat tulisan yang berbunyi 'Bersih, Indah, Aman'. Di sebelahnya lagi ada hydrant dan rumah selang hydrant.



Paling kiri adalah lambang POLRI, lalu lambang TNI Angkatan Udara, lambang TNI yang sebelumnya membawahi ketiga angkatan dan kepolisian sebelum POLRI terpisah dan langsung berada di bawah presiden, lambang TNI Angkatan Laut, dan lambang TNI Angkatan Darat.



Diorama yang memperlihatkan suasana saat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Teks Proklamasi dibacakan oleh Ir. Soekarno tepat pada pukul 10:30 Waktu Jawa di Jaman Jepang atau pukul 10:00 Waktu Indonesa Barat. Lihat juga tulisan Museum Perumusan Teks Proklamasi.



Diorama Museum Satriamandala yang menggambarkan suasana pembentukan Badan Keamanan Rakyat. Sidang rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 22 Agustus 1945 memutuskan untuk tidak membentuk tentara nasional namun membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR).



Sudut pandang yang berbeda pada diorama Proklamasi Kemerdekaan RI. Diorama bukan lukisan, namun instalasi bangunan, patung, pohon dan benda-benda pendukung serta pelengkao lainnya, sehingga sebuah diorama bisa dilihat dari sudut pandang berbeda dengan hasil foto yang berbeda pula.



Sudut pandang berbeda pada diorama terbentuknya BKR. Tulisan pada tembok depakn gedung berbunyi "Milik RI", dan pada tembok di sebelah kanan "Merdeka". Menggantung pada risplang tengah ada papan berisi tulisan "Badan Keamanan Rakyat (B.K.R.), dan di tembok kanan belakang ada tulisan "Awas Mata2 Moesoeh". Aroma revolusi tercium kental di sana.



Sudut pandang lainnya pada momen terbentuknya BKR yang memperlihatkan tulisan pada dindung kiri yang berbunyi "Freedom Forever", serta tulisan heroik pada tembok di tepian jalan sebelah kanan yang berbunyi "Indonesia will never surrender!".

Keputusan pembentukan BKR diumumkan dalam pidato Presiden Republik Indonesia pada tanggal 23 Agustus 1945 malam. Para pemuda pun segera menggunakan BKR sebagai wadah perjuangan, menjadikannya korps pejuang bersenjata dan mempelopori perebutan kekuasaan dari tangan tentara Jepang di berbagi tempat di tanah air.



Pandangan depan pada diorama peristiwa Proklamasi Kemerdekaan RI. Saat itu Ir. Soekarno, didampingi Mohammad Hatta, membacakan teks proklamasi, disaksikan oleh Walikota Jakarta, sebagian anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, para pemuda, dan rakyat Jakarta. Setelah pembacaan naskah proklamasi selesai, acara kemudian dilanjutkan dengan pengerekan Bendera Merah Putih dengan diiringi Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.



Di ruangan ini dipajang foto-foto Presiden Republik Indonesia dari mulai Ir. Soekarno sampai Ir. Joko Widodo pada tembok di sebelah kiri, dan pada tembok sebelah kanan dipajang foto-foto Wakil Presiden RI mulai dari Mohammad Hatta hingga Jusuf Kalla. Di tengah adalah pataka ketiga angkatan dan POLRI serta pataka TNI.



Diapit oleh Lambang Negara Garuda Pancasila dan foto para presiden adalah Teks Proklamasi yang ditulis dengan ejaan lama dan tahun Jepang. Di sebelah kiri bawah adalah teks proklamasi dalam tulisan tangan aslinya.



Poster yang berisi foto dan tulisan yang memuat kisah lintasan sejarah perkembangan dan perjuangan TNI, pada masa revolusi dari tahun 1945 saat proklamasi hingga tahun 1949 saat pengakuan kedaulatan RI.

Pada 5 Oktober 1945 BKR berubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dan pada 7 Januari 1946 berubah lagi menjadi Tentara Keselamatan Rakyat, lalu pada 25 Januari 1946 berubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI), dan akhirnya pada 3 Juni 1947 berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).



Sebuah diorama yang menggambarkan Kongres Pemuda yang dihadiri oleh 23 Badan Badan Perjuangan dari seluruh Indonesia pada tanggal 10-11 November 1945 di Balai Mataram Yogyakarta. Adegan ini menggambarkan ketika delegasi Surabaya berpamitan untuk kembali ke medan juang.



Sudut pandang lain pada suasana di depan Balai Mataram saat Konggres Pemuda Seluruh Indonesia, sebagai buntut ketidakpuasan terhadap keputusan pemerintah yang waktu itu tidak membentuk tentara nasional, sehingga para pemuda itu membentuk badan-badang perjuangan di luar BKR.



Pandangan utuh pada diorama Konggres Pemuda Seluruh Indonesia di Balai Mataram, Yogyakarta. Pada dinding gedung terdapat coretan berbunyi "Hancoerkan Moesoeh. Hidoep Indonesia !". Sementara menggantung di atas jalan di ujung kanan terdapat spanduk memanjang dengan tulisan yang berbunyi "Indonesai Merdeka! 100%".



Poster lintasan sejarah perkembangan dan perjuangan TNI pada masa parlementer, yaitu periode tahun 1949-1959, sejak pengakuan kedaulatan RI yang berbentuk Republik Indonesia Serikat hingga kembalinya RI ke bentuk negara kesatuan. Mengikuti bentuk negara, TNI berubah menjadi Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) pada tahun 1949, lalu pada 17 Agustus 1950 RIS menjadi Negara Republik Indonesia dan APRIS menjadi APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia).



Diorama yang memperlihatkan penyerbuan gedung Kempetai di Surabaya oleh Keisatsutai (Pasukan Polisi) bersama rakyat Surabaya yang menggambarkan semangat Angkatan Muda Polisi pada waktu itu.



Sudut pandang lain pada diorama penyerbuan Pasukan Polisi ke markas Kempetai di Surabaya. Di awal kemerdekaan, Keisatsutai (Pasukan Polisi) dan Tokubetsu Keisatsutai (Pasukan Istimewa) bentukan tentara Jepang merupakan dua kesatua yang tidak dilucuti senjatanya oleh Jepang. Mereka, dipelopori angkatan mudanya, menyatakan berdiri di belakang Pemerintah RI. Bersama BKR dan rakyat mereka merebut senjata dan obyek-obyek vital dari tentara Jepang.



Poster lintasan sejarah perkembangan dan perjuangan TNI pada masa Orde Lama, tahun 1959 hingga tahun 1966. Pada masa ini, Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Kepolisian Republik Indonesia diintegrasikan ke dalam satu wadah, yaitu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Para panglima masing-masing angkatan mendapat jabatan dengan pangkat menteri.



Diorama yang menggambarkan pembentukan Tentara Keamanan Rakyat pada 5 Oktober 1945, oleh karena Pemerintah RI merasakan sangat diperlukannya satu Tentara Nasional sebagai aparat kekuasaan karena pasukan-pasukan sekutu telah banyak merongrong kedaulatan RI.



Diorama Pertempuran Surabaya yang berlangsung pada 10 November 1945. Dimulai dari sejumlah insiden di beberapa tempat, hingga berpuncak pada tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby, Panglima Tentara Sekutu untuk Jawa Timur.

Mayor Jenderal Mansergh kemudian mengeluarkan ultimatum agar rakyat Surabaya dan para pejabat pemerintahan menyerahkan semua senjata mereka di Bataviaweg sebelum pukul 06.00 tanggal 10 November 1945. Diorama ini menggambarkan pertempuran yang terjadi di sekitar Jembatan Merah Surabaya.



Kaca di bagian bawah foto atas adalah salah satu bagian kaca jendela Gedung Bank Internatio di daerah Jembatan Merah Surabaya, tempat dimana pada 30 Oktober 1945 terjadi insiden bersenjata antara pihak Indonesia dengan tentara Inggris yang menyebabkan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby.



Lukisan yang menggambarkan Letjen Oerip Soemoharjo di atas punggung kuda tengah memimpin upacara dengan sebuah pasukan. Beliau adalah jenderal dan kepala staf umum Tentara Nasional Indonesia pertama pada masa Revolusi Nasional Indonesia.



Koleksi Museum Satriamandala berupa meja dan kursi tamu diplitur yang sebelumnya ada di kediaman Letjen Oerip Soemohardjo. Di belakangnya yang berwarna hitam adalah meja kerja beliau.



Sudut pandang berbeda pada tandu Panglima Besar Jenderal Soedriman yang digunakan oleh beliau pada waktu memimpin perang gerilya melawan pendudukan Belanda dimasa revolusi. Tandu ini merupakan sumbangan dari Museum TNI-AD.



Poster yang berisi petikan riwayat tentang Jenderal Soedirman. Ia lahir pada tanggal 24 Januari 1916, enam tahun lebih muda dari ayah saya, di desa Bodaskarangjati Rembang, Purbalingga, Jawa Tengah. Sebelum memulai karir militernya ia adalah guru Holandsch Inlansche School (HIS) Muhammadiyah. Perang Pasifik, pendudukan oleh balatentara Jepang, dan kemudian Proklamasi Kemerdekaan RI telah mengubah jalan hidupnya.



Sudut ruangan dimana terdapat patung dan lukisan Jenderal Soedirman serta sejumlah benda yang pernah digunakan oleh beliau semasa perang gerilya pada Februari 1949 di Kelurahan Nogosari, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Diantaranya adalah meja tulis, meja tamu, dan tempat tidur.



Tanda-tanda jasa dan kepangkatan, samurai, tas, pesawat telepon, jubah yang legendaris, radio, dan beberapa benda lainnya yang pernah digunakan oleh Jenderal Soedirman semasa hidupnya. Di sebelah kanan ada tulisan, mungkin kutipan kata-kata beliau, yang berbunyi "TNI lahir karena Proklamasi 17 Agustus 1945, hidup dengan Proklamasi itu dan bersumpah mati2an hendak mempertahankan kesutjiannya Proklamasi tersebut."



Salinan dokumen Surat Kematian Letnan Djendral Soedirman pada pada 29 Januari 1950, yang baru dibuat dan ditandatangani Letn Kol Dr.R. Soetarto sebagai Kepala Djawatan Kesehatan RI pada 24 November 1956. Penyebab kematian disebutkan karena sakit yang didapat didalam dan karena dinas.



Replika rumah dimana Jenderal Sudirman pernah tinggal semasa perang gerilya, dengan patung sebatas pinggang dan lukisan foto yang mengenakan mantel serta blangkonnya yang khas. Dinding rumah terbuat dari anyaman bambu yang dikampung disebut gedheg.



Ada banyak dokumentasi foto lama di ruangan ini, salah satunya adalah foto ketika Pangsa (Panglima Besar) Jenderal Sudirman berada di Markas Gerilya bersama anak buahnya. Dari kiri ke kanan, jongkok : Rosihan Nawar (wartawan), Kapten Noly Tjokropranolo dan Letna Ngidon (paling kanan). Berdiri : Heroe Kesser (memakai topi rimba), Letkol Soeharto, Kapten Sukirman (kelihatan kepala), Letkol Suadi, Kapten Supardjo, dan Dr. Irsan Ibrahim.



Patung sebatas dada dari Jenderal Besar AH Nasution, foto-foto dokumentasi AH Nasution di sebelah kiri yang banyak diantara tengah bersama Soeharto, ketika hubungan mereka belum memburuk, serta teks Sumpah Prajurit.



Sejumlah dokumentasi terkait Jenderal AH Nasution. Paling kiri adalah foto ketika Nasution berada di Markas Kostrad pada 1 Oktober 1965, sedang dirawat kakinya yang cedera sewaktu meloloskan diri dari usaha penculikan.

Lalu ada foto ketika Nasution memberikan penghormatan terakhir pada upacara pemberangkatan jenazah para Pahlawan Revolusi di Mabes AD, Jalan Merdeka Utara Jakarta pada 5 Oktober 1965. Ada banyak lagi foto bersejarah lainnya yang menarik untuk diketahui oleh generasi sekarang.



Foto dokumentasi ketika Jenderal TNI AH Nasution tengah berpidato pada saat pembukaan pameran foto Komando Mandala di Jakarta pada tanggal 14 November 1962.



Foto dokumentasi penyerahan pusara Ade Irma Suryani Nasution oleh Pejabat Presiden Jenderal TNI Soeharto kepada Jendereal TNI AH Nasution. Ade Irma tewas akibat luka tembak yang dilakukan oleh pasukan Cakrabirawa yang hendak menculik Nasution.



Ruangan tersendiri di Museum Satriamandala dimana terdapat patung sebatas dada Jenderal Soeharto yang mengenakan seragam militernya, serta foto-foto dokumentasi dan memorabilia.



Poster yang berisi kisah lintasan sejarah perkembangan dan perjuangan TNI semasa Order Baru (1966 - 1998). Pada masa ini, tepatnya tahun 1966, Doktrin Tri Ubaya Sakti diubah menjadi Catur Dharma Eka Karma.



Diorama Museum Satriamandala yang menggambarkan pertempuran sekitar Hotel Du Pavillion (sekarang Hotel Dibya Puri), sebagai bagian dari peristiwa Pertempuran 5 Hari di Semarang. Pada tanggal 14 Oktober 1945, pemuda-pemuda Semarang bergerak untuk merebut gedung-gedung yang diduduki Jepang, terutama di daerah Candi Baru.

Esok harinya pasukan Nakamura Butai berkekuatan sekitar 1500 orang menyerang Kota Semarang dari 3 jurusan, menangkapi pemuda-pemuda, yang memicu perlawanan dari para pemuda yang tergabung dalam BKR, Polisi Istimewa, Angkatan Muda dll, sehingga pecah perang hebat di dalam kota, diantaranya di Kantor Besar Jawatan Kereta Api, Gedung Kempetai, Bojong, Bulu, dan Pendrikan.

Tentara Jepang berhasil menguasai kota, gubernur Jawa Tengah ditangkap dan dipaksa untuk menyatakan penghentian pertempuran. Pasukan Sekutu dipimpin Brigadir Jenderal Bethel masuk ke Semarang pada tanggal 19 Oktober 1945 dan langsung melucuti tentara Jepang.



Cuplikan tulisan di koran Kedaulatan Rkyat yang terbit pada hari Rabu tanggal 19 Desember 1945. Judulnya adalah "Benteng Djatingalah Semarang dan Alastoea ditangan kita", dengan sub-judul "Semarang terkepoeng dari tiga djoeroesan. Kekejaman moesoeh ta' ada taranja".



Diorama yang menggambarkan keadaan Dapur Umum dalam Perang Kemerdekaan. Kaum wanita di garis belakang pertempuran secara aktif mendirikan dapur umum untuk kepentingan pasukan yang tengah bertempur di garis depan. Dapur umum disebut sebagai bukti bersatunya rakyat dengan angkatan bersenjatanya.



Diorama yang memperlihatkan seragam dari BKR atau Badan Keamanan Rakyat.



Diorama yang menggambarkan suasana saat berkobarnya pertempuran di sekitar Jalan Margoagung, bagian dari Pertempuran Ambarawa yang berlangsung pada 12-15 Desember 1945. Sebagai hasil perundingan Presiden Soekarno dan Brigadir Jenderal Bethel di Magelang, tentara Inggris ditarik mundur ke Benteng Ambarawa, namun Inggris mencoba menduduki dua desa di sekitar Ambarawa.

Pasukan yang dipimpin oleh Komandan Resimen Banyumas, Letkol Isdiman berusaha membebaskan kedua desa itu namun ia tewas dalam pertempuran. Kolonel Sudirman, Panglima Divisi V Banyumas, akhirnya memimpin langsung operasi militer untuk membebaskan Ambarawa, dibantu pasukan dari Magelang, Yogyakarta, Purwokerto, Semarang, Solo, Salatiga, dll. Setelah bertempur selama 3 hari akhirnya pada 15 Desember 1945, Ambarawa jatuh ke tangan pasukan republik.



Diorama yang menggambarkan suasana saat pengumuman Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Sumatera pada 6 Oktober 1945. Ketika Mr TM Hassan, Gubernur Sumatera, tiba di Medan dari Jakarta dengan membawa berita Proklamasi Kemerdekaan RI, pasukan Belanda telah tiba di Medan sehingga berita proklamasi belum bisa disiarkan.

Pada tanggal 30 September 1945 diadakan rapat di Gedung Taman Siswa oleh para pemuda pejuang bersenjata yang berhasil mendesak TM Hassan untuk mengumumkan kepada rakyata Sumatera bahwa Soekarno-Hatta telah memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Akhirnya pada tanggal 6 Oktober 1945 di Lapangan Fukoraido (Lapangan Merdeka sekarang) diadakan rapat umum untuk mengumumkan proklamasi kepada rakyat, meskipun saat itu Jepang masih berkuasa dan tentara Belanda telah tiba di Medan.



Diorama Peristiwa Bandung Lautan Apir yang terjadi pada tanggal 24 Maret 1946. Bermula ketika Inggris mengeluarkan ultimatum pada tanggal 23 Maret 1946 agar TRI (Tentara Republik Indonesia) dan para pejuang bersenjata menyingkir dari Kota Bandung sejauh radius 11 km.

Meski pada awalnya menolak, namun karena ada perintah dari Jakarta, pada tanggal 23 Maret tengah malam, sesaat sebelum meninggalkan kota, TRI membakar bagian Selatan kota sehingga Bandung menjadi lautan api.



Diorama Operasi Lintas Laut dari Banyuwangi ke Bali pada tanggal 4 April 1946 yang bertujuan membangun pangkalan Angkatan Laut RI di Bali. Eskpedisi terdiri dari tiga rombongan, yang pertama membawa Komandan Resimen Sunda Kecil Letkol I Gusti Ngurah Rai, yang kedua terdiri dari troep ALRI/Sunda Kecil dibawah pimpinan Kapten Markadi, dan rombongan ketiga dari Pangkalan X/ALRI dibawah pimpinan Kapten Laut Waroka.

Ekspedisi bertemu dengan patrolo angkatan laut Belanda dan terjadi pertempuran, namun rombongan berhasil mendarat di Bali. Setelah mendarat Kapten Waroka gubur dalam satu pertempuran melawan tentara Belanda.



Foto-foto dokumentasi misi pasukan perdamaian Kontingen Garuda di berbagai wilayah konflik di dunia di pajang di ruangan ini, dengan sebuah patung Garuda Pancasila dan peta sebaran pasukan perdamaian Indonesia di bawahnya.



Sejumlah dokumentasi foto Konga II UNOC - Kongo. Sebelah kiri atas Fatmawati Soekarno mengalungkan bunga kepada Danyon Konga II Letkol Inf Solihin GP pada saat upacara pemberangkatan Konga II ke Kongo. Kiri bawah anggota pasukan Konga II naik kapal USS Bexar yang disediakan PBB untuk bertolak ke Kongo dari Pelabuhan Tanjung Priok pada tanggal 10 September 1960.



Lambang Negara Garuda Pancasila, dengan lambang kelima sila dan tulisan Bhinneka Tunggal Ika, frasa yang diambil dari Kakawin Sutasoma yang disusun oleh Mpu Tantular, cucu dari Mpu Bharada.



Diorama perebutan Pangkalan Udara Bugis Malang (sekarang Pangkalan Udara Utama Abdulrachman Saleh) yang terjadi pada tanggal 18 September 1945, yang dilakukan oleh BKR bersama-sama dengan rakyat. Mereka berhasil merampas sejumlah pesawat terbang yang kemudian menjadi modal utama bagi pembentukan kekuatan udara Republik Indonesia.



Diorama penurunan bendera Belanda dari puncak Hotel Yamato (kini Hotel Majapahit). Peristiwa ini dipicu dengan dikibarkannya bendera Belanda (merah putih biru) pada 19 September 1945 oleh orang-orang Belanda bekas tawanan Jepang yang berada di hotel Yamato.

Para pemuda yang marah akhirnya menyerbu hotel sehingga terjadi perkelahian seru dan dua orang pemuda berhasil naik ke atap merobek warna biru pada bendera dan menjadikannya bendera Merah Putih.



Diorama Pertempuran Cibadak yang terjadi pada 9 Desember 1945. Pada tanggal itu konvoi militer tentara Inggris dikawal sejumlah tank Stuart bergerak menuju Bandung. Di Desa Bojongkokosan, Kecamatan Parungkuda (Cibadak), konvoi dihadang oleh Pasukan TKR dan terjadi pertempuran.

Beberapa truk dan 3 buah tank bisa dilumpuhkan, serta beberapa puluh tentara Inggris tewas. Angkatan Udara Inggris (RAF) kemudian melakukan pemboman ke beberapa desa di sekitar lokasi pertempuran hingga rata dengan tanah. Peristiwa ini menjadi bahan perdebatan di Parlemen Inggris.



Diorama Pertempuran Bogor yang berlangsung pada 8 Desember 1945. Lantaran pejabat Indonesia menolak permintaan Inggris untuk menyerahkan Istana Bogor, pada tanggal 8 Desember 1945 tentara Inggris menyerang Istana Bogor dan menurunkan bendera Merah Putih.

Lantaran kedaulatan republik diinjak-injak, para pemuda yang tergabung dalam pasukan berani mati menyerang kedudukan musuh di sekitar Kota Paris, Pabaton, Kebun Raya, dan Istana Bogor. Esok harinya Inggris mendatangkan bala bantuan dari Jakarta, yang disambut dengan perlawanan hebat oleh para pemuda Bogor. Diorama menggambarkan pertempuran yang terjadi di Jalan Banten (sekarang Jalan Kapten Muslihat), Bogor.



Diorama Penumpasan Peristiwa Tiga Daerah di Pekalongan yang terjadi pada 21 Desember 1945. Komunis sejak awal berdirinya republik memang telah mulai merongrong, salah satunya adalah mereka merebut kekuasaan di Brebes, Tegal dan Pekalongan yang disebut sebagai Peristiwa Tiga Daerah.

Namun berkat kerjasama antara TKR, Polisi dan rakyat, maka Sardjio yang mengangkat dirinya sebagai "Residen Pekalongan" dapat ditangkap bersama dengan kawan-kawannya.



Diorama Pertempuran Krueng Panjoe Aceh yang terjadi pada 24 November 1945, oleh sebab tentara Jepang bergerak hendak merebut kembali Kota Bireuen dan dihadang oleh para pemuda di sekitar Krueng Panjoe. Penghadangan dilakukan oleh para pemuda Pasukan "Siap Sedia" dengan cara membongkar rel kereta api sepanjang 500 m dan menghujani kereta dengan tembakan.

Pasukan Jepang turun dari kereta dan berlindung di parit sawah, namun para pemuda mengalirkan air waduk ke parit sehingga pasukan Jepang yang berkekuatan 300 orang lengkap dengan persenjataanya terpaksa menyerah. Korban di fihak tentara Jepang ada 28 orang tewas, dan di fihak kita ada 7 pemuda gugur.



Sebuah diorama yang memperlihatkan seragam yang dipakai oleh para pemuda dan pemudi yang tergabung ke dalam badan-badan perjuangan di awal masa perang kemerdekaan.



Diorama Ekspedisi ke Maluku, 3 Maret 1946, yang mendarat di Namlea, Pulau Buru. Sebanyak 60 rang anggota TKR-Laut yang sebagian besar asal Maluku, pada tanggal 3 Maret 1946 berangkat ke Maluku untuk mengobarkan perlawanan rakyat. Dari Tegal, Jawa Tengah, mereka naik dua kapal kayu Kiri Maru (bobot 60 ton, mesin 155 PK) yang diubah namanya menjadi "Sindoro" dengan tujuan ke Maluku Selatan dan "Semeru" dengan tujuan ke Maluku Utara.

Meski selama perjalanan mendapat banyak kesulitan, seperti kerusakan mesin, kekurangan bahan makanan, dan harus menghindari patroli Belanda, namun Sindoro berhasil mendarat di Namlea, Pulau Buru, dan Semeru mendarat di Pulau Ambalau. Dalam perjalanan ke Piru, Pulau Seram, Sindoro beserta seluruh awaknya tertawan, sedangkan Semeru berhasil pulang dan mendarat dengan selamat di Probolinggo, Jawa Timur.



Diorama pertempuran yang terjadi di sekitar Benteng Palembang, sebagai bagian dari Pertempuran 5 Hari 5 Malam di Palembang yang terjadi pada tanggal 1 - 5 Januari 1947. Para pemuda menolak tuntutan Belanda untuk meninggalkan Kota Palembang, sehingga pecah pertempuran sengit yang membuat Belanda mengajak berunding karena terjepit, yang dipergunakannya untuk mendatangkan bala bantuan dan menyusun kembali kekuatannya.

Setelah perundingan gagal, pertempuran berkobar kembali diantaranya di sekitar Masjid Agung, Rumah Sakit Caritas, Markas Divisi di Kampung Sungai Jeruju, Plaju, dan sekitar Benteng Palembang. Belanda mengerahkan tank-tank dan tembakan artileri di darat, sedangkan dari sungai menghujani dengan tembakan dari kapal meriam dan motor boat, serta melakukan pemboman dari udara. Akibatnya seperlima Kota Palembang hancur dan banyak penduduk kota menjadi korban.



Diorama yang menggambarkan jasa para pemuda dan rakyat selama perang kemerdekaan yang memberikan bantuan sangat besar kepada para prajurit dalam melawan tentara penjajah Belanda. Bantuan itu diantaranya ada dalam bentuk kesiagaan, karena seringkali patroli serdadu Belanda mengadakan pendadakan dan pembersihan di desa-desa yang dicurigai menjadi markas para pejuang.

Jauh sebelum Belanda menginjakkan kakinya ke sebuah desa, para pemuda desa telah memukul tanda bahaya dengan menggunakan kentongan, sehingga para pejuang sempat mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan musuh.



Pemandangan pada sebuah ruangan di Museum Satriamandala Jakarta dimana disimpan sejumlah foto dokumentasi serta memorabilia. Di ujung sana adalah foto Jenderal Soedirman yang diapit oleh foto-foto para jenderal yang pernah bertugas sebagai Panglima TNI.



Miniatur Monumen Palagan Ambarawa, yang dibuat untuk memperingati pertempuran Ambawara antara pasukan republik yang dipimpin langsung oleh Kolonel Soedirman melawan tentara Inggris.



Koleksi sejumlah pistol tua yang diikat dengan rantai. Meski sudah tua, bisa saja pistol-pistol itu digunakan kembali dalam keadaan darurat. Ada pistol jenis Walther asal Jerman, kaliber 6,35 mm dengan jarak tembak efektif 50 meter berisi 7 peluru.

Mauser buatan Jerman Barat, kaliber 7,65 mm berisi 8 peluru dengan jarak tembak 50 m. Nambu buatan Jepang, kaliber 8 mm isi 8 peluru karak tembak 50 m. FN Browning buatan Belgia, kaliber 6,35 mm, 7 peluru dan jarak tembak 50 m.



Poster yang memberi informasi tentang persenjataan ABRI/TNI sejak tahun 19465 hingga saat ini. Selain senjata ringan dan senjata berat, di dalam Museum Satriamandala juga disimpan bom laut, ranjau laut, torpedo, miniatur tank, panser, kapal laut, kapal selam, pesawat terbang, dan helikopter.



Foto atas adalah jembatan yang berhasil diledakkan oleh Tentara Genie Pelajar dengan menggunakan ranjau darat. Bawah adalah sten gun buatan Pabrik Senjata Demakijo, Yogyakarta.



Koleksi beberapa buah senjata yang digunakan oleh tentara pelajar dalam perang kemerdekaan, diantaranya senapan Danish Madsen, Lee Enfield, dan Austen.



Lorong Museum Satriamandala yang menyimpan koleksi berbagai jenis persenjataan, dari mulai pistol, senapan, senapan mesin, mortir, pelontar granat, dll.



Koleksi senjata berat di Museum Satria Mandala yang jumlahnya cukup banyak, dan masih garang-garang meski sudah tidak aktif lagi. Salah satunya adalah mortir kaliber 82 mm buatan Rusia tahun 1943 yang dioperasikan oleh 3 orang.



Mortir lapangan Madsen buatan Denmark, kaliber 51 mm, dengan jarak tembak 900 m, sebelumnya digunakan oleh TNI AU.



DShK 1938, Senapan Mesin Berat, buatan Rusia / Degtyaryov-Sphagin, kaliber 12,7 mm, panjang senjata 1626 mm, panjang laras 1069 mm, berat total 157 kg, jarak tembak efektif 3500 m, jarak tembak maksimum 7000 m, sistem kerja otomatis, diawaki 2 orang, ban rantai peluru berisi 50 butir peluru, sebelumnya digunakan oleh TNI AD.



Kanon otomatis Hispano-Suiza asal negara Swedia, Kaliber 20 mm, panjang senjata 4100 m, isi magazin 50 peluru, jarak tembak maksimum 1200 mm, diawaki 3 orang, sebelumnya dipakai oleh TNI AU.



Halaman di belakang gedung utama dengan kolam yang di dalamnya ada 2 ekor angsa. Di ujung sebelah kanan adalah tempat diletakannya sejumlah kendaraan militer yang kebanyakan masih terlihat garang.



Seorang tukang tampak tengah bekerja di area tengah Museum Satriamandala dengan latar pohon yang besar dan rimbun.



Sebuah kendaraan tempur militer berupa tank ringan yang menjadi salah satu koleksi di bagian belakang gedung utama Museum Satriamandala.



Koleksi Humber I Scout Car buatan Inggris, mesin 6 silinder, 87 tenaga kuda, berat 3516 kg, panjang 3,84 m, lebar 1,89 m, tinggi 2,12 m, dengan anak buah 2 orang. Persenjataan mitraliur ringan 7,7 mm, Thomson, dan granat tangan asap.

Kendaraan ini diterima dari Pemerintah Belanda pada tahun 1949, dan pada tahun 1950 digunakan untuk menumpas pemberontakan RMS di Maluku, 1950 s.d 1965 untuk menumpas DI/TII di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan. Tahun 1958 menumpas PRRI di Sumatera dan Permesta di Sulawesi Utara. Tahun 1965 menumpas G30S PKI, dan tahun 1973 masuk ke Museum Satriamandala.



Kendaraan militer PANSROD BTR 152 P buatan Rusia, dengan panjang 2300 mm, lebar 2100 mm, tinggi dengan senjata 1985 mm, berat siap tempur 5.600 kg, isi bahan bakar MT 87 50 liter dan SAE 8 liter, jenis mesin BTR 152 P berkekuatan 90 PK, kecepatan di darat 75-80 km/jam, daya muat personil 1 regu, dengan awak kendaraan 5 orang.



Kendaraan militer Pintam / BDRM buatan Rusia, yang digunakan oleh Korps Marinir pada Operasi Trikora tahun 1962, Operasi Dwikora tahun 1964 menumpas DI/TII Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, 1965 menumpas G30S PKI, 1975 - 1979 Operasi Seroja di Timor Timur, dan masuk museum pada tahun 1979.



Pandangan pada jalan samping kompleks Museum Satria Mandala dengan cungkup yang memberi perlindungan pada kendaraan militer yang disimpan di bawahnya.



Replika KRI Macan Tutul dengan Ranjau RI di latar depan. Ranjau itu buatan Indonesia dengan panjang/lebar 100 cm, tinggi 210 cm, garis tengah bola 90 cm, berat bola ranjau lengkap 350 kg, berat bahan peledak 450 kg, dan berat jangkar lengkap 500 kg.



Data-data teknis dan riwayat tentang KRI Matjan Tutul - 602, buatan Lurssen, Bremen-Vegesack, Jerman Barat, tahun 1957. Jenis MTB (Motor Torpedo Boat), kelas Jaguar, panjang 42,6 m, lebar 7,1 m, draft 2,5 m. Bobotnya 183,4 ton standar dan 210 ton maksimum, dengan tenaga penggerak mesin diesel Mercedes-Benz MB 51B berkekuatan sekitar 3000 tenaga kuda, kecepatan 42 knot, daya jelajah 500 mil laut.

Persenjataannya 2 meriam anti serangan udara kaliber 40 mm Bofors buatan Swedia yang dipasang di haluan dan buritan, 2 senapan mesin 12,7 mm yang dipasang di sebelah kiri dan kanan anjungan, dan 4 tabung torpedo kaliber 533 mm, berawak 39 orang. KRI Macan Tutul digunakan pada Operasi Luma-Lumba tahun 1961 dalam rangka latihan bersama antara ALRI dengan Indoan Navy di Laut Jawa. Pada tahun 162 digunakan dalam operasi infiltrasi dalam rangka pembebasan Irian Barat.



Prasasti yang diletakkan di pada beton penyangga kapal menyebutkan diresmikannya Replika RI Matjan Tutul - 602 sebagai salah satu koleksi Museum Satriamandala, pada tanggal 15 Januari 2013 oleh Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Madya TNI Marsetio, M.M.



Pandangan yang memperlihatkan sisi sebelah kiri replika Matjan Tutul dengan roket, ranjau, dan meriam kaliber sedang dan berat.



Pandangan yang memperlihatkan sisi sebelah kiri replika Matjan Tutul dengan roket, ranjau, dan meriam kaliber sedang dan berat.



©2021 Ikuti