Foto Museum Paseban

Pandangan pada akses masuk yang langsung menuju ke dalam gedung Museum Paseban Monumen Pancasila Sakti Jakarta. Akses lainnya adalah dari arah belakang, yang lebih dekat ke area parkir kendaraan, selain akses dari lorong penghubung setelah keluar Museum Pengkhianatan PKI.

A view to direct entry to the Paseban Museum building, the Pancasila Sakti Jakarta Monument compound. Other access is from the back side, which is closer to the vehicle parking area, apart from access from the connecting hallway after exiting the PKI Betrayal Museum.



Akses masuk ke Museum Paseban dari lorong penghubung setelah keluar dari Museum Pengkhianatan PKI. Kebanyakan pengunjung museum mungkin masuk dari arah ini, karena memang lebih mudah dari sisi urutan kunjungan, ketimbang sebaliknya.

Access to the Paseban Museum from the connecting hallway after leaving the PKI Betrayal Museum. Most visitors to the museum may enter from this direction, as it is easier in terms of order of visits, rather than the other way around.



Diorama pertama Museum Paseban adalah mengenai rapat-rapat persiapan pemberontakan G30S/PKI, diantaranya menghasilkan pembentukan Biro Khusus PKI yang diketuai Syam Kamaruzaman, beranggotakan Pono dan Waluyo, langsung dibawah Ketua PKI DN Aidit. Sekembalinya dari RRC pada Agustus 1965, Aidit memerintahkan Kamaruzaman menyusun konsep gerakan militer untuk melakukan pukulan pada apa yang mereka sebut sebagai "Dewan Jenderal". Syam juga diberi tugas menyusun konsep "Dewan Revolusi" sebagai lembaga tertinggi negara setelah PKI merebut kekuasaan.

Konsep gerakan militer itu diselesaikan Syam pada bulan Agustus 1965 dan dilaporkan ke DN Aidit. Isinya adalah : pertama, gerakan militer terbatas; kedua, sasaran utamanya Dewan Jenderal; ketiga, menguasai instalasi vital seperti RRI, PTT (Telkom), PJKS; keempat, calon pemimpin gerakan adalah Letkol Untung S, Kolonel Inf Latief, dan Mayor (U) Suyono; kelima, organisasi gerakan terbagi tiga yaitu militer, politik, dan observasi; keenam, memanggil kepala Biro Khusus Daerah untuk menerima instruksi Syam tentang persiapan dan kesiapan akhir kekuatan yang akan digunakan.

Pada September 1965, Aidit memerintahkan Syam menyusun rencana pemberontakan. Gerakan perebutan kekuasaan akan dipimpin langsung Aidit, Syam sebagai pimpinan pelaksana, Pono wakil pimpinan, dan Bono pimpinan pelaksana observasi. Syam melakukan rapat 16 kali dengan Pono, Waluyo, anggota Pimpinan Biro Khusus Pusat, Kepala Biro Khusus Daerah, dan para oknum ABRI binaan PKI. Kesimpulan rapat : gerakan harus dibantu dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam rapat dengan oknum ABRI dibahas pelaksanaan yang meliputi personel, logistik, pembagian tugas, pembagian sektor, sasaran gerakan, dan konsep "Dewan Revolusi". Rapat terakhir pada 29 September 1965 memutuskan nama "Gerakan 30 September", hari H dan jam J tanggal 1 Oktober 1965 dini hari. Sasaran pertama adalah menculik tujuh Perwira Tinggi TNI-AD.

The first diorama at the Paseban Museum is about preparatory meetings for the G30S / PKI rebellion, including the formation of the PKI Special Bureau chaired by Syam Kamaruzaman, consisting of Pono and Waluyo, directly under PKI Chairman DN Aidit. Upon his return from China in August 1965, Aidit ordered Kamaruzaman to draft a military movement concept to deal a blow to what they called the "Council of Generals". Syam was also given the task of drafting the concept of the "Revolutionary Council" as the highest state institution after PKI seized power.

The concept of a military movement was finalized by Syam in August 1965 and reported to DN Aidit. The contents were: first, limited military movements; second, the main objective was the Council of Generals; third, take control of vital installations such as RRI (National Radio Station), PTT (Telkom), PJKS; fourth, the movement leaders candidates were Lt. Col. Untung S, Colonel Inf Latief, and Major (U) Suyono; fifth, the movement organization was divided into three, namely military, political, and observation; sixth, summoning the head of the Regional Special Bureau to receive instructions from Sham regarding the final preparation and readiness of the forces to be used.

In September 1965, Aidit ordered Syam to plan a rebellion. The power struggle movement would be led directly by Aidit, Syam as the executive leader, Pono as the deputy leader, and Bono as the chief observer. Syam held 16 meetings with Pono, Waluyo, members of the Head of the Central Special Bureau, the Head of the Regional Special Bureau, and members of the ABRI assisted by the PKI. Conclusion of the meeting: the movement must be assisted from Central Java and East Java. In a meeting with ABRI (military) members, they discussed the implementation which included personnel, logistics, division of tasks, division of sectors, targets of the movement, and the concept of "Revolutionary Council". The last meeting on 29 September 1965 decided the name of "30 September Movement", the day H and the hour J on 1 October 1965 in the morning. The first target was to kidnap seven high ranking officers of the Indonesian Army.




Diorama ini memperlihatkan kegiatan ketika berlangsung latihan para sukarelawan PKI (Sukta, Sukarelawan Kita) di daerah Lubang Buaya yang berlangsung dari 5 Juli hingga 30 September 1965. Latihan dilakukan dengan dalih dalam rangka konfrontasi terhadap Malaysia dan mengganyang Nekolim (Neo Kolonialisme), dengan mengajarkan baris berbaris, bongkar pasang senjata, dan teknik bertempur. PKI juga menuntut dibentuknya Angkatan ke-5 dengan mempersenjatai buruh dan petani, yang dicetuskan Aidit, meniru konsep RRC.

This diorama shows activities during training session of PKI volunteers (Sukta, Sukarelawan Kita) in Lubang Buaya area which took place from July 5 to September 30, 1965. The exercise was carried out under the pretext of confronting Malaysia and destroying Nekolim (Neo Colonialism), by teaching the lines marching, unloading pairs of weapons, and combat techniques. The PKI also demanded the formation of the 5th Force by arming the workers and peasants, which Aidit put forward, to imitate the PRC concept.



Sudut pandang berbeda pada diorama latihan di Lubang Buaya. Para sukarelawan terdiri dari pemuda pemudi PKI, buruh, tani, dan kelompok lain di dalam partai. Jumlah seluruhnya ada 3.700 orang yang dibagi dalam tujuh gelombang. Ada pula latihan di Rawa Binong, sekitar 2 km dari Lubang Buaya, khusus untuk melatih 26 orang kader-kader khusus PKI. Latihan mendapat dukungan Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan Udara Mayor Udara Sudjono berupa peralatan, makanan, dan pakaian.

A different point of view on the diorama of the military practice at Lubang Buaya compound. The volunteers consisted of PKI youth, workers, farmers and other groups within the party. In total there were 3,700 people divided into seven waves. There was also an exercise in Rawa Binong, about 2 km from Lubang Buaya, specifically to train 26 special PKI cadres. The exercise received support from the Commander of the Air Base Defense Forces, Maj. Sudjono, in the form of equipment, food and clothing.



Diorama selanjutnya memperlihatkan peristiwa ketika jenazah para perwira Angkatan Darat sedang dimasukkan ke dalam sumur maut di Lubang Buaya pada 1 Oktober 1965. Di sumur yang berdiameter 75 cm dengan kedalaman 12 meter itu jenazah dimasukkan dengan posisi kepala berada di bawah. Setelah semua jenazah dimasukkan ke dalam sumur, dilakukan penembakan ke dalam sumur secara beruntun. Sumur kemudian ditimbun dengan tanah dan sampah untuk menghilangkan jejak.

The next diorama shows the incident when the bodies of Army officers were being put into the deadly well at Lubang Buaya on October 1, 1965. At the well, which was 75 cm in diameter and 12 meters deep, the body was put in with its head down. After all the bodies were put into the well, they fired bullets into the well in succession. The well was then backfilled with dirt and trash to remove any traces.



Sudut pandang berbeda pada diorama dimasukkannya jenazah perwira Angkatan Dara ke sumur maut. Tiga dari tujuh jenderal yang diculik, tiga diantaranya dibunuh di rumah kediaman mereka, yaitu Letjen Ahmad Yani, Mayjen MT Harjono, dan Brigjen DI Pandjaitan. Keempat jenderal lainnya, yaitu Mayjen R Soeprapto, Mayjen S Parman, Brigjen Soetoyo, dan Lettu PA Tendean disiksa dan dibunuh secara kejam di dalam sebuah rumah di Lubang Buaya.

A different point of view on the diorama of the insertion of the corpse of an Army officer into the well of death. Three of the seven generals who were kidnapped, three of whom were killed in their residence, namely Lt. Gen. Ahmad Yani, Maj. Gen. MT Harjono, and Brigadier General DI Pandjaitan. The other four generals, namely Major General R Soeprapto, Major General S Parman, Brigadier General Soetoyo, and Lettu PA Tendean were brutally tortured and killed in a house at Lubang Buaya.



Foto dokumentasi yang memperlihatkan kondisi sumur maut setelah pengangkatan jenazah. Ketika dimasukkan ke dalam sumur maut tua itu, jenazah Mayjen R Soeprapto dan Mayjen S Parman diikat menjadi satu.

Documentary photo showing condition of the dead well after the removal of the bodies. When they were put into the deadly old well, the bodies of Maj. Gen. R Soeprapto and Maj. Gen. S. Parman were tied together.



Diorama yang menggambarkan keadaan ketika dilakukan operasi pengamanan Lanuma Halim Perdanakusuma pada tanggal 2 Oktober 1965, sebagai bagian dari operasi penumpasan pemberontakan G30S/PKI. Operasi ini bertujuan untuk membebaskan pangkalan udara dari tangan pemberontak, serta mencari lokasi disembunyikannya para perwira TNI AD yang diculik.

A diorama depicting situation when Halim Perdanakusuma Airbase security operation was carried out on October 2, 1965, as part of the G30S / PKI rebellion operation. The operation aimed to free the air base from rebel's occupation and to find location where the kidnapped TNI AD officers were hidden.



Sudut pandang lainnya pada diorama Pengamanan Lanuma Halim Perdanakusuma Jakarta. Pada pukul 01.00 tanggal 2 Oktober 1965, Pangkostrad mengeluarkan perintah untuk segera mengamankan Lanuma Halimperdanakusuma, karena diduga kekuatan G30S/PKI dari Batalyon 454/Diponegoro, 1kompi Batalyon 530/Brawijaya, dan kesatuan Brigif 1 Kodam V/Jaya berpusat di sana. Pasukan yang diberi tugas adalah dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) dibawah pimpinan Kolonel Inf Sarwo Edhi Wibowo yang bermarkas di Cijantung. Pasukan itu diperkuat dengan 1 Batalyon 328/Siliwangi, 1 kompi tank dan 1 kompi panser Batalyon Kavaleri I. Pasukan diperintahkan untuk menghindari pertumpahan darah, pengrusakan pesawat dan aset negara lainnya yang berada di sekitar pangkalan.

Another point of view of diorama on the pacification of Lanuma Halim Perdanakusuma Jakarta. At 01.00 on October 2, 1965, the Pangkostrad (Army Reserved Command) issued an order to immediately secure Halimperdanakusuma Airbase, because it was suspected that G30S / PKI forces from Battalion 454 / Diponegoro, 1 company Battalion 530 / Brawijaya, and the 1st Brigadier Kodam V / Jaya were based in there. The troops given the task were from the Army Command Regiment (RPKAD) under the leadership of Colonel Inf Sarwo Edhi Wibowo based in Cijantung. The troops were reinforced with 1 Battalion 328 / Siliwangi, 1 tank company and 1 armored company of the 1st Cavalry Battalion. The troops were ordered to avoid bloodshed, destroying of aircraft and other state assets around the base.



Pandangan lainnya pada diorama Pengamanan Lanuma Halim Perdanakusuma. Pada pukul 03.00 tanggal 2 Oktober 1965, pasukan mulai bergerak dari Markas Kostrad di Jl Merdeka Timur melalui Patung Pak Tani ke arah Senen, lalu Jatinegara, Klender, dan selanjutnya menuju Halim PK.

Pasukan tiba di lokasi pada pukul 06.00 dan terjadilah tembak menembak yang membawa korban tewas 2 orang anggota TNI AU, yaitu Sertu Supardi dan Pratu Toegimin di Depo Perminyakan. Pertempuran lebih besar bisa dihindari setelah terjadi komunikasi antara pimpinan RPKAD, Lanuma Halim PK dan Batalyon 454/Diponegoro. Tembak menembak bisa dihentikan atas jasa Komodor Dewanto dan Kapten Udara Kundimang.

Pasukan RPKAD akhirnya menguasai hanggar Skuadron 31/Angkut Berat, hanggar Skuadron 3/Angkut Sedang, hanggar Skuadron 17/VIP, Menara, dan fasilitas pangkalan lainnya. Pasukan pemberontak akhirnya dibubarkan oleh komandan masing-masing dan melarikan diri keluar dari Halim PK. Pada pukul 06.10 Pasukan RPKAD dan pasukan pendukung berhasil mengamankan Lanuma Halim PK dari tangan pasukan G30S/PKI.

Another view on the diorama of pacification of Halim Perdanakusuma Airbase. At 03.00 on 2 October 1965, troops began moving from the Kostrad Headquarters on Jl Merdeka Timur via Pak Tani Statue towards Senen, then Jatinegara, Klender, and then towards Halim PK.

The troops arrived at the location at 06.00 and there was a shootout which killed 2 members of the Indonesian Air Force, namely Sertu Supardi and Pratu Toegimin at the Petroleum Depot. A bigger battle was avoided after communication between the RPKAD leadership, Halim PK Airbase and Battalion 454 / Diponegoro. Shooting could be stopped with the services of Commodore Dewanto and Air Captain Kundimang.

The RPKAD troops finally took control of Squadron 31 / Heavy Transport hangars, Squadron 3 / Medium Transport hangars, Squadron 17 / VIP hangars, towers, and other air base facilities. The rebel troops were finally disbanded by their respective commanders and fled out of Halim PK. At 06.10 the RPKAD troops and supporting troops succeeded in securing Lanuma Halim PK from the hands of the G30S / PKI troops.



Tulisan pada akrilik yang dipasang pada salah satu dinding Museum Paseban, merupakan cuplikan pidato Jenderal AH Nasution pada upacara pemberangkatan Jenazah Tujuh Pahlawan Revolusi di MBAD, pada tanggal 5 Oktober 1965.

The inscription on acrylic, which is installed on one of the walls of the Paseban Museum, is an excerpt of General AH Nasution's speech at the ceremony for the departure of the Seven Heroes of the Revolution at MBAD (Army Headquarter), on October 5, 1965.



Diorama di Museum Paseban yang memperlihatkan suasana ketika berlangsung proses pengangkatan jenazah dari sumur maut yang dilakukan pada tanggal 4 Oktober 1965. Penemuan lokasi penculikan diperoleh atas informasi dari Agen Polisi Tingkat II Sukiman yang ikut diculik dalam peristiwa G30S/PKI namun ia berhasil meloloskan diri. Lokasi sumur tua ditemukan pada tanggal 3 Oktober 1965 sekitar pukul 16.00 oleh Pasukan RPKAD dibawah pimpinan Danyon I Mayor CI Santoso.

A diorama at the Paseban Museum shows the atmosphere during the process of removing the body from the deadly well which was carried out on October 4, 1965. The discovery of the location of the kidnapping was obtained based on information from the Level II Police Agent Sukiman who was also kidnapped during the G30S / PKI incident but managed to escape. The location of the old well was discovered on 3 October 1965 at around 16.00 by the RPKAD troops under the leadership of Danyon I Major CI Santoso.



Sudut pandang berbeda pada diorama pengangkatan jenazah para Pahlawan Revolusi. Proses penggalian dibantu oleh warga sekitar, dan setelah dipastikan bahwa di dalam sumur terdapat jenazah maka penggalian dihentikan karena hari sudah larut malam.

Proses pengangkatan jenazah dipimpin langsung oleh Pangkostrad Mayjen Soeharto, dilakukan pada tanggal 4 Oktober 1965 oleh Pasukan RPKAD dan KIPAM (Kesatuan Intel Para Amphibi) KKO AL dibawah pimpinan Kapten KKO Winanto karena sumurnya dalam dan berbau busuk. Peralatan utama yang digunakan adalah peralatan selam berupa masker, tabung gas, dan tali tambang.

Jenazah pertama yang bisa diangkat adalah Lettu PA Tendean pada pukul 12:05, dan pada pukul 12:30 berhasil diangkat dua jenazah yang terikat menjadi satu yaitu Mayjen S Parman dan Mayjen R Soeprapto. Selanjutnya berturut-turut diangkat jenazah Mayjen MT Haryono, dan Brigjen Soetojo S. Pada pukul 13:20 berhasil diangkat jenazah Letjen A Yani, dan pada pukul 13:40 diangkat jenazah Brigjen DI Pandjaitan. Jenazah selanjutnya dibawa ke RSPAD Gatot Subroto untuk dilakukan visum.

A different point of view to the diorama of the lifting of the Revolution Heroes' bodies. The excavation process was assisted by local residents, and after it was confirmed that there were bodies in the well, the excavation was stopped as it was rather late at night.

The process of lifting the bodies was led directly by the Pangkostrad Commander Maj. Gen. Soeharto, carried out on October 4, 1965 by the RPKAD and KIPAM (Intel Para Amphibian Unit) KKO AL under the leadership of Captain KKO Winanto since the well was deep and smelled bad. The main equipment used was diving equipment in the form of masks, gas cylinders, and rope.

The first body that could be removed was remains of Lettu PA Tendean at 12:05 a.m., and at 12:30 p.m., two bodies that were bound were successfully appointed, namely Maj. Gen. S Parman and Maj. Gen. R Soeprapto. Subsequently, the bodies of Maj. Gen. MT Haryono and Brigadier General Soetojo S. were lifted successively. At 13:20 the body of Lt. Gen. A Yani was successfully removed, and at 13:40 the body of Brigadier General DI Pandjaitan was lifted. The bodies were then taken to the Gatot Subroto Army Hospital for a post mortem.



Foto dokumentasi yang memperlihatkan suasana ketika dilakukan pengangkatan jenazah Brigjen Soetojo S di sumur maut Lubang Buaya, Jakarta.

Photo documentation showing the situation when Brigadier General Soetojo S's body was removed from the deadly well of Lubang Buaya.



Foto dokumentasi yang sama yang diambil pada hari kunjungan yang berbeda ke Museum Paseban. Jenazah Brigjen Soetojo merupakan jenazah yang kelima yang diangkat dari lubang sumur maut.

The same documentary photo was taken on different day of visit to Paseban Museum. The body of Brigadier General Soetojo was the fifth body lifted from the well.



Foto dokumentasi lainnya yang memperlihatkan suasana ketika jenazah ditarik dari sumur maut dengan tali tambang setelah sebelumnya diikat oleh personel dari Kesatuan Intai Para Amphibi KKO AL.

Another documentary photo that shows the scene when the body was pulled out from the deadly well with a rope after being tied up by personnel from the KKO AL's Amphibious Reconnaissance Unit.



Foto yang sama namun diambil pada hari yang berbeda, memperlihatkan proses pengangkatan jenazah dari sumur maut Lubang Buaya. Terlihat ada banyak orang yang menutup hidungnya karena tidak tahan dengan bau yang berasal dari jenazah yang telah berada di dalam sumur selama sekitar 3 hari.

The same photo, but taken on a different day, shows the process of removing the body from the deadly well of Lubang Buaya. There were many people who covered their noses because they could not stand the smell that came from the corpse that had been in the well for about 3 days.



Foto dokumentasi di Museum Paseban Monumen Pancasila Sakti yang memperlihatkan iring-iringan kendaraan panser yang membawa jenazah Pahlawan Revolusi ketika melintas di Jl Thamrin dalam perjalanan menuju ke TMP Kalibata.

Photo documentation at the Paseban Museum, Pancasila Sakti Monument compound, showing a convoy of armored vehicles carrying the bodies of the Revolutionary Heroes as they crossed Jl Thamrin on their way to TMP (Heroes Cemetery) Kalibata.



Foto dokumentasi ketika tengah berlangsung persiapan pemberangkatan jenazah dari MBAD ke Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta.

Photo documentation during preparation for the departure of the body from MBAD (Army HQ) to the Kalibata Heroes Cemetery.



Diorama yang menggambarkan rakyat berdiri di tepian jalan melihat iringan panser yang membawa peti jenazah tujuh Pahlawan Revolusi. Upacara pemberangkatan jenazah berlangsung di Markas Besar Angakatn Darat (MBAD) berlangsung pada 5 Oktober 1965, dipimpin oleh Menko Hankam / Kasab Jenderal AH Nasution yang bertindak sebagai inspektur upacara.

Tepat pada pukul 10.00, dengan diiringi tembakan salvo dan bunyi genderang, panser Saracen yang membawa jenazah diberangkatkan dari MBAD menuju ke TMP Kalibata. Konvoi didahului barisan kendaraan pengawal kehormatan, diikuti panser yang membawa jenazah Letjen A Yani yang dijaga Letjen Djatikusumo dan panser yang membawa jenazah lainnya.

Perjalanan konvoi dimulau dari Jl Medan Merdeka Timur, melewati Jl Cikini Raya, Salemba Raya, Matraman Raya, Jatinegara, Cawang, Pancoran, dan berakhir di TMP Kalibata, yang memakan waktu sekitar 2 jam. Saat memasuki gerbang TMP Kalibata, jenazah Pahlawan Revolusi mendapat pengawalan kehormatan dari Kavaleri TNI-AD dan Taruna AKABRI. Bertindak sebagai inspektur upacara pemakaman adalah Mayjen Soeharto.

A diorama depicted the people standing on the side of the road looking at the accompaniment of the panzers carrying the coffins of the seven Revolutionary Heroes. The departure of the bodies' ceremony took place at the Army Headquarters (MBAD) on 5 October 1965, led by the Coordinating Minister for Defense and Security / Kasab General AH Nasution who acted as the inspector of the ceremony.

Exactly at 10:00 am, accompanied by salvo shots and the sound of drums, the Saracen Panzers carrying the bodies, departed from MBAD to the Kalibata TMP. The convoy was preceded by a line of honor guard vehicles, followed by an armored guard carrying the body of Lt. Gen. A Yani, guarded by Lt. Gen. Djatikusumo, and the armored guard carrying other bodies.

The convoy journey started from Jl Medan Merdeka Timur, passing Jl Cikini Raya, Salemba Raya, Matraman Raya, Jatinegara, Cawang, Pancoran, and ended at TMP Kalibata, which took about 2 hours. When entering the Kalibata TMP gate, the body of the Revolutionary Hero received an honorary escort from the TNI-AD Cavalry and AKABRI cadets. The funeral inspector was Maj. Gen. Suharto.



Diorama usaha penculikan yang gagal terhadap Jenderal AH Nasution, menggambarkan saat ia tengah melompati tembok dan kemudian terjatuh di Kedutaan Irak yang membuat kakinya terkilir, namun selamat dari usaha pembunuhan yang dilakukan oleh G30S/PKI.

Pasukan yang bertugas menculik Jenderal AH Nasution berangkat dari Lubang Buaya menggunakan 3 buah truk sekitar jam 03.00 dini hari tanggal 1 Oktober 1965, dipimpin Pelda Djahurub dari Resimen Cakrabirawa terdiri dari 1 peleton Brigif 1 Kodam V/Jaya, 1 peleton dari Yon 454/Diponegoro, 1 peleton PGT, dan 1 peleton sukarelawan. Pasukan yang berkekuatan sekitar 100 orang ini merupakan pasukan terbesar oleh sebab Jenderal AH Nasution dianggap merupakan sasaran yang paling penting.

Sebelum masuk ke rumah Jenderal AH Nasution, gerombolan penculik melumpuhkan regu pengawal rumah Wakil Perdana Menteri II Dr Leimena yang berdekatan lokasinya dengan rumah Jenderal AH Nasution. Saat itulah Aipda Karel Satsuit Tubun tewas ditembak oleh salah satu anggota pasukan penculik. Di rumah di Jalan Teuku Umar No 40 Jakarta itu, sekitar 30 pasukan penculik bergerak masuk ke dalam pekarangan, melumpuhkan para penjaga, 15 penculik masuk ke dalam, lainnya mengepung rumah dan memblokir jalan. Kisah selanjutnya bisa dibaca di Museum Sasmitaloka Jenderal AH Nasution.

A diorama of the failed kidnapping attempt of General AH Nasution depicts him jumping over a wall and then falling at the Iraqi embassy, spraining his leg, but surviving an assassination attempt by G30S / PKI.

The troops tasked with kidnapping General AH Nasution departed from Lubang Buaya using 3 trucks at around 03.00 in the morning on October 1, 1965, led by Pelda Djahurub from the Cakrabirawa Regiment consisting of 1 Platoon Brigif 1 Kodam V / Jaya, 1 platoon from Yon 454 / Diponegoro, 1 PGT (Quick Response Troops) platoon, and 1 volunteer platoon. The troops of about 100 people was the largest force because General AH Nasution was considered to be the most important target.

Before entering General AH Nasution's house, the gang of kidnappers paralyzed the guard team of Deputy Prime Minister II Dr Leimena's house, which was adjacent to General AH Nasution's house. It was then that Aipda Karel Satsuit Tubun was shot and killed by one of the members of the kidnapping squad. At the house on Jalan Teuku Umar No 40 Jakarta, about 30 kidnappers marched into the yard, paralyzed the guards, 15 kidnappers entered and others surrounded the house and blocked the road. Read the rest of the story at General AH Nasution Museum's post.



Diorama yang menggambarkan ketika Letjen A Yani ditembak oleh penculik di rumahnya. Pasukan yang bertugas untuk menculik A Yani dipimpin oleh Peltu Mukidjan berkekuatan 1 peleton Brigif 1 Kodam V/Jaya, 1 peleton Batalyon 454/Diponegoro, 1 regu Cakrabirawa, 1 peleton Batalyon 540/Brawijaya, 1 regu Pasukan Gerak Cepat, dan 2 regu sukarelawan. Mereka berangkat dengan menggunakan dua buah truk dan dua buah bus.

Diorama depicting situation when Lt. Gen. A Yani was shot by kidnappers at his home. The troops assigned to kidnap A Yani were led by Peltu Mukidjan with the strength of 1 Brigif platoon 1 Kodam V / Jaya, 1 platoon of Battalion 454 / Diponegoro, 1 Cakrabirawa team, 1 Platoon of Battalion 540 / Brawijaya, 1 group of Rapid Action Forces, and 2 teams of volunteers. They departed in two trucks and two buses.



Diorama yang sama dengan sudut pandang sedikit berbeda. Di rumah Letjen A Yani di Jl Lembang D58 Jakarta, pasukan penculik melucuti regu penjaga, dan mengetuk pintu rumah yang dibukakan oleh putra Letjen A Yani bernama Edi yang saat itu berumur 7 tahun. Pimpinan pasukan kemudian menyuruh Edi untuk membangunkan ayahnya dan memberitahunya bahwa ada utusan presiden yang memerintahkan untuk datang ke istana.

Masih dengan mengenakan piyama, A Yani menemui para penculik. Sersan Raswad mengatakan bahwa Letjen A Yani diperintahkan segera menghadap presiden. Letjen A Yani menyanggupi dan akan mandi lebih dulu. Namun ketika Letjen A Yani membalikkan badan, Praka Dokrin mengatakan tidak perlu yang menimbulkan kemarahan A Yani dan langsung menamparnya.

Selanjutnya Letjen A Yani kembali ke dalam rumah dan menutup pintu. Saat itulah Sersan Raswad memerintahkan Kopda Gijadi yang berdiri di samping Praka Dokrin untuk menembak Letjen A Yani dengan senapan Thomson hingga tewas. Jenazah diseret oleh Praka Wagimin dan dilemparkan ke dalam salah satu truk untuk selanjutnya dibawa ke Lubang Buaya.

The same diorama with a slightly different angle. At Lt. Gen. A Yani's house on Jl Lembang D58 Jakarta, the kidnappers disarmed the guard team, and knocked on the door of the house which was opened by Lt. Gen. A Yani's son, Edi, who was 7 years old at the time. The leader of the troops then told Edi to wake up his father and told him that a presidential envoy ordered him to come to the palace.

Still wearing her pajamas, A Yani met the kidnappers. Sgt. Raswad said that Lt. Gen. A Yani was ordered to immediately appear before the president. Lt. Gen. A Yani agreed and would take a shower first. But when Lt. Gen. A Yani turned around, Praka Dokrin said that it's not necessary to anger A Yani who immediately slapped him.

Lt. Gen. A Yani returned to the house and closed the door. It was then that Sgt. Raswad ordered Kopda Gijadi who was standing beside Praka Dokrin to shoot Lt. Gen. A Yani with a Thomson rifle resulted to his death. The corpse was dragged by Praka Wagimin and thrown into one of the trucks and then taken to Lubang Buaya.



Foto dokumentasi yang memperlihatkan Letjen A Yani dalam sebuah kunjungan di luar negeri. Ahmad Yani dikenal dekat dengan Presiden Soekarno, dan bahkan pernah disebut-sebut sebagai pengganti yang dipilih olehnya. Sikapnya yang tegas dalam menentang usulan PKI untuk membentuk Angkatan V menjadikannya salah target utama gerakan G30S/PKI.

Documentary photo showing Lt. Gen. A Yani on an overseas visit. Ahmad Yani was known to be close to President Soekarno, and had even been mentioned as his successor chosen by him. His firm stance against the PKI's proposal to form (Armed) Force V made him one of the main targets of the G30S / PKI movement.



Foto dari jaman penjajahan Jepang yang memperlihatkan Shodantyo Ahmad Yani berdiri di tengah, dan di sebelah kirinya adalah Shodantyo Sarwo Edhi Wibowo.

A photo from the Japanese colonial era showing Shodantyo Ahmad Yani standing in the center, and to his left is Shodantyo Sarwo Edhi Wibowo.



Dokumentasi foto di Museum Paseban yang memperlihatkan suasana akrab saat Mayjen R Soeprapto menerima seorang tamu dari luar negeri.

Photo documentation at the Paseban Museum showing a warm atmosphere when Maj. Gen. R Soeprapto received a guest from abroad.

Diorama penculikan Deputi II Menteri/Panglima Angkatan Darat Mayjen R Soeprapto yang dilakukan di rumahnya di Jl Besuki No 19, Jakarta Pusat. Pasukan penculik berkekuatan 2 regu, yang masing-masing dipimpin oleh Serka Sulaiman dan Serda Sukiman. Pasukan ini merupakan bagian dari Pasukan Pasopati yang bertugas menculik para jenderal Angkatan Darat dibawah pimpinan Lettu Dul Arief yang juga ikut berada di dalam pasukan penculik Mayjen R Soeprapto.

Ketika penculik membuka pintu pagar, Mayjen Soeprapto belum tidur karena sedang sakit gigi dan ia menanyakan siapa di luar, dijawab bahwa mereka anggota pasukan Cakrabirawa. Tanpa curiga Mayjen R Soeprapto membuka pintu rumah, dan Serka Sulaiman pun mengatakan bahwa Mayjen R Soeprapto diperintahkan untuk segera menghadap presiden, yang disanggupi dan akan mengganti pakaian dahulu. Namun para penculik tidak mengijinkan dan Mayjen R Soeprapto dipaksa untuk berjalan keluar, lalu memaksanya naik ke salah satu truk yang sudah menunggu untuk selanjutnya dibawa ke Lubang Buaya.

Diorama of the kidnapping of Deputy II Minister / Commander of the Army Maj. Gen. R Soeprapto which was carried out at his house on Jl Besuki No 19, Central Jakarta. The kidnappers were in the strength of 2 teams, each led by Serka Sulaiman and Serda Sukiman. This troop was part of the Pasopati Force which was tasked with kidnapping Army generals under the leadership of Lettu Dul Arief who was also in the kidnapping squad of Major General R Soeprapto.

When the kidnappers opened the gate, Maj. Gen. Soeprapto was not sleeping because of toothache and he asked who was outside, replied was that they were members of the Cakrabirawa troops. Without suspicion Maj. Gen. R Soeprapto opened the door of the house, and Serka Sulaiman also said that Maj. Gen. R Soeprapto was ordered to immediately come before the president, who agreed and would change his clothe first. However, the kidnappers did not allow it and Maj. Gen. R Soeprapto was forced to walk outside, then forced him to get onto one of the waiting trucks to be taken to Lubang Buaya.



Foto dokumentasi Mayjen MT Haryono beserta keluarganya. Saat peristiwa G30S/PKI, MT Haryono menjabat sebagai Deputi III Men/Pangad dan ia sangat menentang rencana PKI untuk menasakomkan ABRI dan menentang rencana PKI untuk membentuk Angkatan ke-V. Karenanya ia menjadi target yang harus dlenyapkan.

Photo documentation of Mayjen MT Haryono and his family. During the G30S / PKI incident, MT Haryono served as Deputy III Men / Pangad and he strongly opposed the PKI's plan to beat ABRI and opposed the PKI's plan to form the 5th Force. Hence he became a target that had to be eliminated.



Foto dokumentasi yang memperlihatkan ketika dilakukan rekonstruksi penculikan Mayjen MT Haryono. Operasi penculika dilakukan pada 1 Oktober 1965 dinihari, dipimpin Serka Bungkus dari Resimen Cakrabirawa berkekuatan 3 regu dari Batalyon 530/Brawijaya. Pada pukul 03.30 para penculik berangkat dari Lubang Buaya menuju rumah MT Haryono di Jl Prambanan No 8, Jakarta.

Documentary photo showing the reconstruction of Major General MT Haryono's kidnapping. The kidnapping operation was carried out on 1 October 1965 at dawn, led by Serka B Wrap from the Cakrabirawa Regiment with a force of 3 teams from Battalion 530 / Brawijaya. At 03.30 the kidnappers departed from Lubang Buaya to MT Haryono's house on Jl Prambanan No 8, Jakarta.



Diorama yang menggambarkan penculikan Mayjen MT Haryono. Setiba di rumah sasaran, pemimpin penculikan mengetuk pintu rumah yang dibuka oleh isteri Mayjen MT Haryono. Serka Bungkus mengatakan bahwa Mayjen MT Haryono diperintahkan untuk segera menghadap presiden, namun melaui isterinya ia menolak dan meminta mereka kembali lagi pada pukul 08.00, namun pimpinan penculik tetap memaksa. Setelah mendengar jawaban dari para penculik melalui isterinya, Mayjen MT Haryono mulai merasa curiga, dan menyuruh isteri serta anak-anaknya pindah ke kamar sebelah.

A diorama depicting the kidnapping of Mayjen MT Haryono. Arriving at the target house, the kidnappers' leader knocked on the door opened by Mayjen MT Haryono's wife. Serka B Wrap said that Maj. Gen. MT Haryono was ordered to immediately come before the president, but through his wife he refused and asked them to return again at 08.00, but the head of the kidnappers insisted. After hearing the answer from the kidnappers through his wife, Maj. Gen. MT Haryono began to feel suspicious, and ordered his wife and children to move to the next room.



Diorama penculikan Mayjen MT Haryono dengan sudut pandang sedikit berbeda. Para penculik yang marah berteriak agar Mayjen MT Haryono keluar dari rumah, dan akhirnya mereka mendobrak dan menembaki pintu kamar hingga terbuka, dan dalam keadaan kamar yang gelap para penculik masuk ke dalam kamar dalam dengan senjata siap tembak.

Salah seorang penculik kemudian membakar surat kabar untuk menerangi kamar, saat itulah Mayjen MT Haryono berusaha merebut senjata salah satu penculik namun gagal, bahkan ia ditikam dengan sangkur oleh penculik lainnya. Tembakan Serka Bungkus akhirnya menewaskan Mayjen MT Haryono. Jenazah kemudian dilemparkan ke dalam truk dan dibawa ke Lubang Buaya.

A diorama of the abduction of Mayjen MT Haryono from a slightly different angle. The angry kidnappers shouted to Major General MT Haryono to get him out of the house, and finally they smashed and opened fire on the door until it was opened, and in the dark room the kidnappers entered the room with guns ready to shoot.

One of the kidnappers then burned a newspaper to light the room up, that's when Major General MT Haryono tried to seize the weapon of one of the kidnappers but failed, he was even stabbed with a bayonet by another kidnapper. Serka B Wrap's shot finally killed Major General MT Haryono. The body was then thrown into a truck and was taken to Lubang Buaya.



Diorama penculikan Mayjen S Parman yang terjadi pada dinihari 1 Oktober 1965 di rumah kediaman Jl Serdang No 32, Jakarta Pusat. Pasukan penculik dibawah pimpinan Serma Satar terdiri dari 1 regu pasukan Cakrabirawa dan 1 regu Batalyon 530/Brawijaya. Mendengar suara gaduh di luar, Mayjen S Parman terbangun dan membangunkan pula isterinya karena mengira ada pencurian di rumah tetangga. Mayjen S Parman yang kemudian membuka pintu rumah merasa heran karena ada banyak pasukan Cakrabirawa di halaman rumahnya.

Diorama of the kidnapping of Maj. Gen. S Parman which took place on the morning of October 1, 1965 at the residence of Jl Serdang No 32, Central Jakarta. The kidnappers under the leadership of Serma Satar consisted of 1 team of Cakrabirawa troops and 1 team of Battalion 530 / Brawijaya. Hearing the noise outside, Maj. Gen. S. Parman woke up and woke his wife too, thinking there was a theft at a neighbor's house. Maj. Gen. S. Parman, who then opened the door of the house, was surprised because there were many Cakrabirawa troops in his yard.



Sebagaimana di tempat penculikan lainnya, pemimpin penculik mengatakan bahwa Mayjen S Parman diperintahkan untuk segera menghadap presiden karena keadaan negara sedang genting. Mayjen S Parman menyanggupi dan masuk ke dalam rumah yang diikuti oleh para penculik dengan sangkur terhunus. Karena curiga, isteri Mayjen S Parman menanyakan surat perintah mereka, dan Mayjen S Parman meminta isterinya untuk melaporkan kepada Men/Pangad Letjen Ahmad Yani. Namun ketika hendak menelpon, salah seorang penculik mengambil pesawat telpon secara paksa hingga kabelnya putus. Mayjen S Parman kemudian dipaksa masuk ke dalam kendaraan dan dibawa ke Lubang Buaya.

As in other places of kidnapping, the leader of the kidnappers said that Maj. Gen. S. Parman was ordered to immediately come before the president because the country's situation was precarious. Major General S Parman agreed and entered the house which was followed by the kidnappers with unsheathed bayonet. Out of suspicion, Maj. Gen. S Parman's wife asked for their warrant, and Maj. Gen. S Parman asked his wife to report to Men/Pangad Lt. Gen. Ahmad Yani. However, when he was about to make a call, one of the kidnappers forcibly took the telephone until the cable broke. Maj. Gen. S Parman was then forced into a vehicle and taken to Lubang Buaya.



Diorama penculikan Brigjen DI Pandjaitan yang terjadi di rumahnya di Jl Sultan Hasanuddin No 52, Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Pasukan penculik berkekuatan 1 regu dari Brigif I Kodam V/Jaya, dan 1 regu dari Yon 454/Diponegoro dibawah pimpinan Serma Sukardjo. Pasukan penculik mengepung rumah, melompati pagar halaman sebelah kiri, berjalan cepat menuju ke paviliun dan membuka pintunya secara paksa dengan tembakan.

Diorama of the kidnapping of Brigadier General DI Pandjaitan that took place at his house at Jl Sultan Hasanuddin No 52, Blok M, Kebayoran Baru, South Jakarta. The kidnapping squad was 1 team from Brigif I Kodam V / Jaya, and 1 team from Yon 454 / Diponegoro under the leadership of Serma Sukardjo. The kidnappers surrounded the house, jumped over the left courtyard fence, walked quickly to the pavilion and forcibly opened the door with gunfire.



Pasukan penculik mengancam keluarga dan menembak ke segala arah yang mengakibatkan salah satu anggota keluarga tewas dan perabotan rumah hancur. Para penculik memerintahkan Brigjen DI Pandjaitan turun untuk segera menghadap presiden. Dibawah todongan senjata, Brigjen DI Pandjaitan berjalan keluar rumah dengan mengenakan pakaian seragam lengkap dihiasi tanda jasanya.

The kidnappers threatened the family and fired in all directions resulting in the death of one family members and the destruction of the house furniture. The kidnappers ordered Brigadier General DI Pandjaitan to come down to immediately face the president. At gunpoint, Brigadier General DI Pandjaitan walked out of the house wearing a full uniform decorated with his mark of service.



Dalam kondisi mencekam Brigjen DI Pandjaitan sempat berdoa. Karena mendapat perlakuan kasar dan penghinaan, Brigjen DI Pandjaitan mencabut pestol hendak menembak, namun ia lebih dulu ditembak kepalanya hingga tewas. Merasa belum puas, para penculik masih menembaki tubuhnya, lalu menyeret tubuhnya dan dilemparkan ke dalam truk untuk dibawa ke Lubang Buaya.

In a tense condition, Brigadier General DI Pandjaitan prayed. Due to the harsh treatment and humiliation, Brigadier General DI Pandjaitan pulled out the revolver and about to shoot, but he was shot in the head to death. Feeling unsatisfied, the kidnappers still shot at her body, then dragged him and was thrown into a truck to be taken to Lubang Buaya.



Diorama penculikan dan pembunuhan Brigjen DI Pandjaitan dengan sudut pandang sedikit berbeda dari foto sebelumnya. Sebagai salah satu pahlawan revolusi Indonesia, Brigjen Donald Isaac Pandjaitan mendapatkan kenaikan pangkat secara anumerta menjadi Mayor Jenderal TNI. DI Panjaitan lahir di Balige, Tapanuli, pada tanggal 19 Juni 1925.

A diorama of the kidnapping and murder of Brigadier General DI Pandjaitan with a slightly different angle from the previous photo. As one of the heroes of the Indonesian revolution, Brig. Gen. Donald Isaac Pandjaitan was promoted posthumously to Major General TNI. DI Panjaitan was born in Balige, Tapanuli, on 19 June 1925.



Foto dokumentasi Brigjen DI Pandjaitan bersama keluarga, dan sewaktu ia bertugas sebagai Atase Pertahanan di Jerman Barat pada tahun 1956.

Photo documentation of Brigadier General DI Pandjaitan with his family, and when he served as Defense Attache in West Germany in 1956.



Foto dokumentasi ketika Brigjen Soetojo S bertugas sebagai Atase Pertahanan RI di Inggris pada tahun 1956.

Photo documentation when Brigadier General Soetojo S served as the Indonesian Defense Attache in England in 1956.



Foto dokumentasi Brigjen Soetojo S bersama isterinya. Sutoyo Siswomiharjo lahir di Karanganyar, Kebumen, pada 28 Agustus 1922 dan wafat dibunuh oleh G30S/PKI pada 1 Oktober 1965.

Photo documentation of Brigadier General Soetojo S with his wife. Sutoyo Siswomiharjo was born in Karanganyar, Kebumen, on August 28, 1922 and was killed by G30S / PKI on October 1, 1965.



Diorama penculikan Brigjen Soetojo S yang terjadi pada 1 Oktober 1965 dinihari di rumahnya di Jalan Sumenep No 17 Jakarta. Saat itu jabatan Brigjen Soetojo S adalah sebagai Oditur Jenderal Militer / Inspektur Kehakiman Angkatan Darat. Pasukan penculik berangkat dari Lubang Buaya dengan kekuatan 1 peleton Resimen Cakrabirawa yang dipimpin Serma Surono, dibagi dalam 3 regu yang masing-masing dipimpin oleh Serda Soedibjo, Serda Ngatidjo, dan Kopda Dasuki.

The diorama of the kidnapping of Brigadier General Soetojo S which took place on 1 October 1965 at dawn at his house on Jalan Sumenep No. 17 Jakarta. At that time the position of Brigadier General Soetojo S was as the Military Prosecutor General / Army Judicial Inspector. The kidnappers departed from Lubang Buaya with the strength of 1 platoon of the Cakrabirawa Regiment led by Serma Surono, divided into 3 teams, each led by Serda Soedibjo, Serda Ngatidjo, and Kopda Dasuki.



Segera setelah tiba di rumah target, pasukan penculik segera menyebar sesuai rencana. Regu 1 yang bertugas menculik Brigjen Soetojo S masuk dari arah depan dan belakang rumah. Karena mendengar suara gaduh, Brigjen Soetojo S terbanguan dan menanyakan identitas mereka dari dalam rumah dan dijawab bahwa mereka tamu dari Malang, lalu mengatakan lagi bahwa mereka hansip dari Hotel Indonesia. Sebagian penculi lewat pintu samping masuk ke dalam garasi dan memaksa pembantu rumah untuk menyerahkan kunci ruang tengah.

Selanjutnya mereka menggedor kamar tidur dan mendesak dengan keras agar pintu kamar dibuka. Ketika Brigjen Soetojo S membukakan pintu, 2 orang penculik yaitu Serda Sudibyo dan Pratu Sumardi masuk dan menyampaikan perintah kepada Brigjen Soetojo S untuk segera menghadap presiden. Kedua penculik segera mengapit Brigjen Soetojo S dan membawanya keluar rumah untuk dinaikkan ke dalam kendaraan dan selanjutnya dibawa ke Lubang Buaya.

As soon as they arrived at the target's house, the kidnapping squad immediately deployed according to plan. Team 1 in charge of kidnapping Brigadier General Soetojo S entered from the front and back of the house. Upon hearing the noise, Brigadier General Soetojo S woke up and asked their identity from inside the house and was answered that they were guests from Malang, then said again that they were security guards from Hotel Indonesia. Some of the intruders went through the side door into the garage and forced the housemaid to hand over the keys to the living room.

Next they banged on the bedroom and pressed hard for the bedroom door to be opened. When Brigadier General Soetojo S opened the door, 2 kidnappers, namely Serda Sudibyo and Pratu Sumardi entered and gave orders to Brigadier General Soetojo S to immediately come before the president. The two kidnappers immediately flanked Brigadier General Soetojo S and took him out of the house to be put into a vehicle and then taken him to Lubang Buaya.



Foto dokumentasi yang memperlihatkan Mayor Taruna PA Tendean (duduk paling kanan) yang pernah mengikuti operasi penumpasan PRRI di Sumatera Barat sebagai anggota zeni tempur.

Photo documentation showing Major Taruna PA Tendean (seated farthest right), who had participated in the PRRI crackdown in West Sumatra as a combat engineer member.



Diorama penculikan Letnan Satu CZI PA Tendean yang terjadi pada 1 Oktober 1965 dinihari di rumah Jenderal AH Nasution. Ketika mendengar suara letusan senjata, PA Tendean, ajudan Jenderal AH Nasution yang pada saat itu tidur di paviliun, terbangun dan langsung keluar dengan mengenakan celana hijau, jaket coklat dan membawa senjata garand. Namun begitu sampai di halaman rumah ia langsung disergap dan dilucuti senjatanya oleh pasukan penculik karena dikira sebagai Jenderal AH Nasution.

Diorama of the kidnapping of First Lieutenant CZI PA Tendean which took place on 1 October 1965 at dawn at General AH Nasution's house. When he heard the sound of gunfire, PA Tendean, General AH Nasution's aide, who was sleeping in the pavilion at that time, woke up and immediately came out wearing green pants, a brown jacket and carrying a gun. However, as soon as he arrived at the yard, he was immediately ambushed and disarmed by the kidnappers because he thought he was General AH Nasution.



Foto dokumentasi Lettu CZI PA Tendean. Pada dinihari tanggal 1 Oktober 1965 itu, pasukan penculik bertanya kepada para penjaga yang sudah dilucuti tentang kebenaran bahwa mereka telah menangkap Jenderal AH Nasution, namun tidak ada yang menjawab. Setelah melihat Lettu CZI PA Tendean, pemimpin penculik, Pelda Djahurup, merasa yakin bahwa yang ditangkap adalah jenderal AH Nasution dan meniup peluit tanda berkumpul. Lettu CZI PA Tendean digiring dengan tangan terikat ke belakang dan didorong dengan todongan senapan laras panjang untuk masuk ke dalam kendaraan dan dibawa ke Lubang Buaya.

Documentary photo of Lettu CZI PA Tendean. On the dawn of October 1, 1965, the kidnappers asked the guards who had been disarmed about the truth that they had arrested General AH Nasution, but no one answered. After seeing Lettu CZI PA Tendean, the leader of the kidnappers, Pelda Djahurup, felt sure that it was General AH Nasution who was arrested and blew a gathering whistle. Lettu CZI PA Tendean was herded behind his back and pushed at rifle point to get into the vehicle and be taken to Lubang Buaya.



Foto dokumentasi ini adalah Ajun Inspektur Polisi Tingkat I KS Tubun yang tewas pada 1 Oktober 1965 dinihari oleh tembakan pasukan penculik yang sedianya menculik Jenderal AH Nasution.

The documentary photo is the Deputy Superintendent of Police Level I KS Tubun, who died on October 1, 1965 in the dawn of the kidnappers who had kidnapped General AH Nasution.



Foto dokumentasi yang memperlihatkan suasana ketika jenazah Aip Tk II Anumerta KS Tubun disemayamkan di Markas Besar Kepolisian RI sebelum dimakamkan.

Documentary photo showing the situation when the body of Aip Tk II Posthumous KS Tubun was layed at the Indonesian Police Headquarters before being buried.



Diorama yang menggambarkan suasana saat tertembaknya Ajun Inspektur Polisi Tingkat I KS Tubun. Pasukan yang ditugaskan menculik Jenderal AH Nasution menyebar di sekitar rumah untuk mengamankan jalanannya operasi penculikan, dan sebagian dari mereka masuk ke halaman rumah Wakil Perdana Menteri II Dr Leimena di Jl Teuku Umar No 34 Jakarta yang letaknya berdekatan dengan rumah Jenderal AH Nasution.

A diorama depicting the scene when Adjunct First Level Police Inspector KS Tubun was shot. The troops assigned to kidnap General AH Nasution spread around the house to secure the road for the kidnapping operation, and some of them entered the courtyard of Deputy Prime Minister II Dr Leimena's house on Jl Teuku Umar No 34 Jakarta, which was located close to General AH Nasution's house.



Pasukan penculik yang masuk halaman kediaman Waperdam II Dr Leimena bertemi dengan salah seorang regu pengawal rumah, yaitu Ajun Inspektur Polisi Tingkat I Karel Sasuit Tubun yang sedang bertugas jaga dan bersenjata. Pasukan penculik berusaha merebut senjatanya namun KS Tubun melawan dan ia pun ditembak dari jarak dekat sehingga tewas seketika.

The kidnappers who entered the courtyard of the Waperdam II Dr Leimena's residence met with one of the house guards, namely Adjunct Level I Police Inspector Karel Sasuit Tubun, who was on guard and armed. The kidnappers tried to seize his weapon, but KS Tubun fought back and he was shot at close range and died instantly.



Diorama yang menggambarkan setelah Ade Irma Suryani Nasution tertembak oleh pasukan yang hendak menculik Jenderal AH Nasution. Ketika pada 1 Oktober 1965 dinihari mendengar suara tembakan di dalam rumah, ibunda Jenderal AH Nasution dan adik perempuannya yang bernama Mardiyah segera masuk ke dalam kamar Jenderal AH Nasution melalui pintu samping. Mardiyah dengan cepat menggendong Ade Irma untuk diselamatkan ke kamar sebelah. Namun karena panik, Mardiyah justru membuka pintu utama kamar dan ketika melihat pintu terbuka salah satu anggota pasukan Cakrabirawa langsung menembak beberapa kali yang tiga diantara pelurunya mengenai Ade Irma Suryani Nasution.

Isteri Jenderal Nasution kemudian mengambil anaknya yang berlumur darah dari gendongan Mardiyah. Sementara luka di perut dan paha Ade Irma masih terus mengeluarkan darah, istri Jenderal AH Nasution berusaha menelpon Pangdam V/Jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah, namun kabel telepon telah diputus oleh penculik. Ad Irma kemudian dirawat di RSPAD selama enam hari, dan pada 6 Oktober 1965 pukul 21.00 ia meninggal dunia dan dimakamkan di TPU Blok P Kebayoran Baru Jakarta Selatan dengan upacara militer yang dipimpin oleh Pangdam V/Jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah.

Diorama depicting scene after Ade Irma Suryani Nasution was shot by troops who were about to kidnap General AH Nasution. When on dawn of October 1, 1965, General AH Nasution's mother and his younger sister, Mardiyah, who heard gunshots inside the house immediately entered to General AH Nasution's room through a side door. Mardiyah quickly carried Ade Irma out to the next room. However, due to panic, Mardiyah opened the main door and when upen seeng the door opened, one of the Cakrabirawa troops immediately shot several times, three of which hit Ade Irma Suryani Nasution.

General Nasution's wife then took her daughter who was covered in blood from Mardiyah's arms. While the wounds on Ade Irma's stomach and thighs were still bleeding, General AH Nasution's wife tried to call the Military Commander V/Jaya Maj. Gen. Umar Wirahadikusumah, but the kidnapper cut the telephone line. Ade Irma was then treated at the RSPAD for six days, and on October 6, 1965 at 9:00 p.m. she died and was buried in the TPU Blok P Kebayoran Baru, South Jakarta with a military ceremony led by Pangdam V/Jaya Maj. Gen. Umar Wirahadikusumah.



Foto empat dari sepuluh Pahlawan Revolusi yang dipajang di dinding Museum Paseban, yaitu Men/Pangad Letjen Ahmad Yani, Deputi II Men/Pangad Mayjen R Soeprapto, Deputi III Men/Pangad Mayjen Haryono MT, dan Asisten I Men/Pangad Mayjen S Parman.

Photos of four of the ten Revolutionary Heroes displayed on the walls of the Paseban Museum, namely the Minister / Commander Lt. Gen. Ahmad Yani, Deputy II Men / Pangad Maj. Gen. R Soeprapto, Deputy III Men / Pangad Maj. Gen. Haryono MT, and Assistant I to the Minister/Commander Major General S Parman.



Tiga dari sepuluh Pahlawan Revolusi lainnya, yaitu Asisten IV Men/Pangad Brigjen DI Pandjaitan, Oditur Jenderal Inspektur Kehakiman TNI AD Brigjen Soetojo S, dan Ajudan Menko Hankam / Kasab Lettu PA Tendean.

Three out of ten other Revolutionary Heroes, namely Assistant IV to the Men / Regional Commander Brigadier General DI Pandjaitan, Indonesian Army Inspector General of Justice Inspector Brigadier General Soetojo S, and Adjutant Menko Hankam / Kasab Lettu PA Tendean.



Tiga Pahlawan Revolusi berikutnya, yaitu Danrem 072/Pamungkas Yogyakarta Kol Katamso D, Kasrem 072/Pamungkas Yogyakarta Letkol Sugiyono M, dan Anggota Brimob Kodak VII Metro Jaya Brigadir Pol KS Tubun.

The next three Revolutionary Heroes, namely Danrem 072 / Pamungkas Yogyakarta Col Katamso D, Kasrem 072 / Pamungkas Yogyakarta Lt. Col. Sugiyono M, and members of Brimob Kodak VII Metro Jaya Police Brigadier KS Tubun.



Deretan foto kesepuluh Pahlawan Revolusi di Museum Paseban Monumen Pancasila Sakti.

A row of photos of the ten Heroes of the Revolution at the Paseban Museum, the Pancasila Sakti Monument compound.



Tulisan tentang pemberontakan G30S/PKI yang dipasang di sebelah pintu masuk Ruang Teater Museum Paseban.

Notes about the G30S / PKI rebellion were posted next to the entrance to the Paseban Museum Theater Room.



Seperangkat meja kursi di ruang VIP Museum Paseban Monumen Pancasila Sakti.

A set of tables and chairs in the VIP room of the Paseban Museum, Pancasila Sakti Monument complex.



Layar lebar dan proyektor yang digunakan untuk menghadirkan film dokumenter tentang peristiwa G30S/PKI yang berdurasi 30 menit. Untuk sekali pemutaran, pengunjung harus membayar Rp75.000, dan jika lebih dari 50 orang maka membayar Rp1500 per orang.

The big screen and projector used to present a documentary film about the events of the G30S / PKI which is about 30 minutes long. For one screening, visitors have to pay IDR75,000, and if more than 50 people should pay IDR1500 per person.



Jadwal menonton film untuk perorangan dengan dua jadwal tayang, yaitu pukul 11.00 dan pukul 13.00, per orang membayar Rp5.000. Namun saya tak ingat benar apakah ini jadwal tayang di Museum Paseban atau di teater yang ada di Ruang Relik di belakang Museum Paseban.

The schedule of watching movies for individuals with two broadcast schedules, namely 11.00 and 13.00, per person pays IDR 5,000. But I don't really remember whether this was the show schedule at the Paseban Museum or at the theater in the Relic Room behind the Paseban Museum.



Pada 11 Maret 1966 Kabinet Dwikora bersidang di Istana Negara, ditengah memuncaknya demonstrasi mahasiswa yang menuntut pembubaran PKI, pembersihan kabinet dari oknum-oknum G.30.S/PKI dan penurunan harga. Presiden Soekarno yang mendapat laporan bahwa istana dikepung oleh pasukan tidak dikenal, segera meninggalkan sidang dan berangkat ke Istana Bogor. Tiga orang perwira tinggi TNI Angkatan Darat, yaitu Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen M. Yusuf dan Brigjen Amir Machmud menyusul ke Bogor setelah melapor kepada Men/Pangad Letjen Soeharto.

Mereka meyakinkan Presiden bahwa tidak benar ada pasukan tanpa identitas mengepung Istana dan menyampaikan pesan Letjen Soeharto yang sanggup mengatasi keadaan apabila Presiden memberinya kepercayaan untuk tugas itu. Dari laporan itu lahir ide untuk memberikan Surat Perintah kepada Letjen Soeharto. Presiden Soekarno memerintahkan ketiga perwira tinggi itu menyusun konsep surat perintah. Konsep itu kemudian dibaca oleh tiga orang Wakil Perdana Menteri yang juga berada di Istana Bogor.

Surat perintah yang kemudian dikenal dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 atau “Supersemar” berisi pemberian wewenang kepada Letjen Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu guna terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi. Malam itu juga SP 11 Maret disampaikan kepada Letjen Soeharto di Jakarta.

On March 11, 1966, the Dwikora Cabinet convened at the State Palace, amidst a climax of student demonstrations demanding the dissolution of the PKI, cleaning of the cabinet from G.30.S/PKI elements and lowering prices. President Soekarno, who received a report that the palace was surrounded by unknown troops, immediately left the place and went to Bogor Palace. Three high-ranking Army officers, namely Maj. Gen. Basuki Rachmat, Brig. Gen. M. Yusuf and Brig. Gen. Amir Machmud, followed to Bogor after reporting to the Minister/Army Strategic Reserve Command Lt. Gen. Soeharto.

They convinced the President that it was not true that there was unidentified troops surrounded the Palace and they also conveyed a message from Lt. Gen. Soeharto that he would be able to handle the situation if the President gave him the confidence for the task. From the report the idea was born to give a warrant to Lt. Gen. Soeharto. President Soekarno then ordered the three high-ranking officers to draft a warrant. The concept was read by three Deputy Prime Ministers who were also at the Bogor Palace.

The warrant which became known as the Order of 11 March 1966 or "Supersemar" contained the authorization for Lieutenant General Soeharto to take all necessary actions to ensure security and peace and stability of the running of the government and the course of the revolution. That night the SP March 11 was delivered to Lt. Gen. Soeharto in Jakarta. The rest was history.



©2021 Ikuti