Foto Museum Nasional

Tampak depan Museum Nasional Indonesia Jakarta yang cantik. Di halaman museum pertama dan terbesar di Asia Tenggara ini ada patung gajah dibuat dari bahan perunggu hadiah dari Raja Chulalongkorn (Rama V) Thailand ketika berkunjung pada 1871. Patung itulah yang membuat Museum Nasional Republik Indonesia, nama resmi sejak 28 Mei 1979, juga disebut sebagai Museum Gajah.



Salah satu koleksi mengesankan dari masa lalu di Museum Nasional Indonesia Jakarta Pusat adalah Prasasti Ciaruteun atau Prasasti Ciampea. Prasasti yang ditulis dalam huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta ini ditemukan dipinggir Sungai Ciaruteun, dekat muara Sungai Cisadane, Bogor. Pada prasasti terdapat lukisan laba-laba dan lekukan sepasang telapak kaki Raja Purnawarman.



Timbangan antik berukir yang dipakai dalam pembayaran pajak hasil bumi di jaman Kesultanan Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Anak timbangannya adalah Sultan Banjar sendiri. Timbangan menjadi lambang keadilan, dan kejujuran dari yang memilikinya.



Batu elok bertulis di Museum Nasional Jakarta ini adalah Prasasti Tugu yang ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, yang berasal dari jaman Tarumanagara, salah satu kerajaan tertua yang meninggalkan catatan sejarah. Taruma pernah berkuasa di bagian barat Pulau Jawa pada abad ke-4 sampai abad ke-7 Masehi.



Sebuah ruangan koleksi arkeologi yang elegan di Museum Nasional Jakarta berisi benda-benda peninggalan dari jaman kerajaan Hindu - Buddha seperti prasasti, lingga berbagai ukuran dan bentuk, batu umpak, dan banyak lagi lainnya. Keterangan singkat dipasang di dekat masing-masing koleksi yang cukup membantu pengunjung.



Prasasti Canggal, Prasasti Gunung Wukir atau Prasasti Sanjaya, sebuah prasasti berbentuk candra sengkala berangka tahun 654 Saka atau 732 Masehi yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir di Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Magelang. Prasasti ditulis memakai aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta merupakan pernyataan diri Raja Sanjaya sebagai penguasa Kerajaan Mataram Kuno.



Sebuah batu nisan dengan relief aksara Arab Pegon peninggalan dari jaman kerajaan Islam yang mulai populer di Nusantara sejak sekitar abad 11. Bahasa yang digunakan biasanya adalah Jawa dan Melayu. Pada masa itu huruf Arab Pegon juga digunakan pada lempeng tembaga bersurat, hiasan masjid, cap kerajaan, mata uang, dan ornamen pada meriam. Pegon adalah huruf Arab yang disesuaikan untuk bisa menuliskan bahasa Jawa, dan juga Bahasa Sunda.



Miniatur Rumah Betang, rumah panjang yg merupakan rumah adat suku Dayak (Ngaju) di Kalimantan Tengah. Ciri-cirinya adalah berbentuk panggung memanjang. Rumah Beteng di suku Dayak tertentu dibuat dengan bagian hulu ke arah matahari terbit dan bagian hilir ke arah matahari terbenam, sebagai simbol kerja-keras sepanjang hari.



Seorang pengunjung wanita tampak tengah mengamati pelampung yang berada di bawah bendera-bendera sinyal maritim internasional dari alfa (A) sampai zulu (Z). Tanda silang merah pada baris pertama paling kanan misalnya, dibaca V (victor), dan baris di bawahnya paling kanan dibaca P (papa).



Salah satu dari perahu kayu tradisional dalam ukuran sebenarnya yang dibuat dari kayu utuh sepanjang 15 meter yang disimpan di Museum Nasional Jakarta. Badan perahu yang lancip di kedua ujungnya itu dibuat bergaris-garis antara warna kayu dan coklat tua.



Sepeda roda tiga antik dari awal abad ke-19 dengan satu roda di depan dan dua roda yang lebih besar di belakang. Kedua roda belakang dihubungkan oleh sebuah as hub, yang ikut menyangga sadel setinggi roda. Sepeda ini memakai ban mati tanpa udara, yang di roda depan sudah lepas dari pelk-nya.



Sudut pandangan dari ujung lainnya dari perahu kayu tradisional pada foto sebelumnya yang memperlihatkan ukiran kayu yang elok di ujung buritannya. Lekuk bagian dalam perahu juga terlihat pada foto ini. Kayu yang digunakan untuk membuat perahu biasanya ringan namun sangat kuat.



Miniatur pedati yang ditarik oleh sepasang sapi atau kerbau yang banyak ditemukan di pedesaan di daerah Jawa, serta sebuah bendi dari Sumatera Barat. Pedati banyak digunakan oleh petani untuk mengangkut hasil bumi, sedangkan bendi lebih banyak digunakan sebagai angkutan manusia.



Kek Blira Blatas yang terbuat dari kayu, berbentuk tempat tidur, alat tenun tradisional hadiah dari Sultan Indrapura dari Kesultanan Siak di Museum Nasional. Tenun siak dibuat dengan benang katun atau benang sutera yang diberi benang emas, bermotif tampuk manggis, pucuk rebung, atau siku keluang.



Peralatan tradisional lainnya di Museum Nasional Jakarta. Di sebelah kiri adalah alat pembuatan tepung sagu, sedangkan di sebelah kanan adalah miniatur alat pembuatan minuman Saguer dari daerah Saparua. Minuman Saguer merupakan minuman fermentasi dari air nira pohon enau, yang rasanya mirip air tape beras dengan kadar alkohol yang lumayan.



Beberapa diantara rumah-rumah adat tradisional dari seluruh Indonesia yang kebanyakan terbuat dari kayu jati atau kayu jenis lainnya yang kuat dan awet, beratap rumbia atau sirap, dengan atau tanpa ornamen, berbentuk rumah biasa atau rumah panggung.



Perahu Kayu Tradisional dengan ukuran utuh lainnya yang terlihat kokoh, dipajang di Museum Nasional, dengan sebuah lampu minyak menggantung di salah satu ujungnya. Perahu ini cukup besar dan panjang, dan mungkin bisa dipasang layar untuk menangguk angin.



Koleksi Museum Nasional berupa miniatur perahu kayu tradisional berkepala naga yg elok dengan deretan dayung di pinggir kiri kanan perahu. Bagian belakang perahu dibuat melengku ke atas yang tampaknya sengaja dibuat agar tak mudah kemasukan air. Selain hiasan binatang mitos, ada juga haluan kapal yang menggunakan hiasan patung manusia (biasanya wanita), atau raksasa seperti yang disimpan di Pesanggrahan Langenharjo, Sukoharjo.



Bagian depan ruangan Museum Nasional yang digunakan untuk menyimpan benda-benda bersejarah yang dibuat logam mulia. Area ini dipasang CCTV, dan pengunjung tidak diperkenankan untuk memotret koleksi museum yang sangat berharga ini, bukan hanya nilai sisi sejarahnya namun juga nominal uangnya.



Saat saya berkunjung pertama kali, Museum Nasional masih memajang boneka Nini Thowok berumur sangat tua yang dipakai dalam permainan untuk memanggil roh gaib. Kepala Nini Thowok terbuat dari batok kelapa, dihias menjadi muka pengantin perempuan kenes. Badannya dari bubu ikan terbuat dari rotan dan tangannya biasanya terbuat dari segepok lidi. Namun dalam kunjungan kedua saya tak menemukan koleksi ini.



Koleksi keris dengan berbagai macam ukuran, jumlah luk, pamor dan ornamen. Keris merupakan kebudayaan asli Indonesia dengan sejarah panjang, dan Keris Indonesia telah terdaftar di UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Non-Bendawi Manusia sejak 2005.



Tiga buah patung kayu etnik dengan hiasan di kepala dan badan telanjang, memperlihatkan kemaluan yang berdiri tegak ke atas, lambang maskulinitas pria. Ada cukup banyak variasi dari patung semacam ini, baik yang dalam posisi berdiri mau pun duduk. Di sebelah kiri ada koleksi lemari bergaya oriental.



Tempat Peraduan terbuat dari kayu jati dengan ukiran kayu pada bagian atasnya, sprei warna pink, sepasang bokor, kendi, tempat lilin dan patung Loro Blonyo di depannya. Ada pula mainan dengan ukiran kepala naga kurus memanjang di atasnya.



Seperangkat gamelan lengkap serta hiasan kelir wayang, dan sebuah jejeran wayang yang diletakkan merapat pada tembok di sebelah kiri dan di ujung sana. Mungkin karena gamelan lazim dimainkan oleh sekelompok pria sehingga sering diberi nama dengan kata depan Kyai, sebagaimana keris yang menjadi senjata pria. Namun ada juga gamelan yang diberi nama Nyai, misalnya Gamelan Nyai Saraswati.



Pada tembok sebelah kiri adalah dua buah jejeran wayang kulit dengan para raksasa di bagian kiri dan bagian kanan adalah para Pandawa yang tengah menghadap Kresna. Sementara di tembok sebelah kanan adalah jejeran wayang golek. Wayang adalah warisan budaya asli Nusantara yang berkembang terutama di Pulau Jawa.



Sebuah patung bertopeng dengan pakaian hitam dan ornamen serta sarung berwarna keemasan, yang meskipun sudah terlihat sudah sangat tua dan rapuh namun masih terlihat keindahannya. Tak jelas apakah koleksi ini masih dipajang sekarang di museum, mengingat kondisinya yang sudah demikian rapuh.



Koleksi Barong Bali dalam ukuran sebenarnya disangga oleh dua buah boneka manusia pada posisi seperti ketika tengah dimainkan dalam pertunjukan. Meskipun sudah terlihat tua namun tak mengurangi keindahan koleksi benda yang bernilai seni budaya tinggi ini.



Alat tenun bukan mesin dengan benang-benang terpasang lengkap, serta bilah-bilah kayu yang memberi batas dan motif kain, serta kayu penekan kerapatan benang. Sebagian kecil kain yang telah selesai ditenun bisa dilihat pada pajangan ini.



Sejumlah miniatur rumah panggung tradisional beratap ijuk dari berbagai daerah di Indonesia yang dipajang di Museum Nasional Jakarta. Rumah panggung dari kayu selain lebih aman dari serangan binatang buas, konstruksi bangunannya juga lebih tahan terhadap goncangan gempa bumi.



Sejumlah rumah panggung lainnya dengan atap daun rumbia, dan ada pula yang beratap sirap dan genteng. Ada hiasan kayu tegak berukir yang terlihat cantik dengan gaya etnik sangat kental. Rumah panggung juga sering ditemui pada permukiman penduduk yang ada di dekat pantai atau sungai, agar air tidak masuk ke dalam rumah saat air pasang atau rob.



Sejumlah koleksi keramik Museum Nasional yang terlihat dijejer dengan cantik. Nomor 2 adalah penetes air dari jaman Dinasti Ming, Nomor 22, 24, 18 adalah cepuk (Ming). Di bawahnya adalah ceret atau teko berbentuk udang dan ikan serta ornamen lain juga dari Dinasti Ming. Di bawahnya ada buli-buli dan piring besar serta beberapa benda lainnya.



Koleksi keramik bernomor 30 adalah arca ikan dari jaman Dinasti Qing, sedangkan koleksi bernomor 28 arca Kodok juga dari jaman Dinasti Qing, dan nomor 11-27 berbentuk ayam beraasal dari Dinasti Ming. Ada pula keramik yang berasal dari jaman Dinasti Song.



Sebuah gentong besar dengan warna hitam dan tembaga yang tampak sangat berharga dikellingi pelindung agar tidak dipegang pengunjung. Gentong dan guci lainnya dari berbagai jaman, banyak diantaranya berasal dari Cina, juga bisa ditemui di Museum Nasional Jakarta.



Koleksi Museum Nasional Jakarta berupa sekelompok guci dg beragam bentuk, kelir dan gurat ornamen serta warna yang berbeda. Guci sering digunakan sebagai pajangan saja, atau kadang difungsikan sebagai tempat bung, atau payung, tongkat, atau pun tempat air.



Sejumlah piring porselen, bowl, guci berbagai ukuran bentuk dan ornamen, berasal dari Tiongkok dari jaman yang berbeda-beda. Keramik semacam ini menjadi salah satu barangan dagangan yang sangat populer sejak jaman dahulu kala. Ada banyak keramik yang ditemukan pada kapal dagang yang karam.



Sebuah tabel di Museum Nasional yang memperlihatkan asal pembuatan dan pertanggalan keramik. Yang tertua berasal dari Dinasti Han (206 SM - 220M) sampai yang terbaru berasal dari Eropa abad 17-19. Ada pula data pertanggalan keramik yang berasal dari Thailand, Vietnam dan Jepang.



Koleksi Museum Nasional Jakarta berupa genta perunggu dengan berbagai ukuran dan beragam ornamen pada gagang dan badannya. Ada genta dengan gagang berbentuk mahkota, trisula, arca manusia, cakra, binatang, dan beragam bentuk lainnya. Genta merupakan alat ritual yang digunakan oleh para pendeta.



Sebuah arca Boddhisatwa Maitreya dari aliran Buddha Mahayana terbuat dari perunggu yang merupakan salah satu koleksi berharga di Museum Nasional Jakarta. Ada mahkota yang bentuknya menyerupai genta di atas kepalanya. Padma yang menjadi tempat duduknya tampak berlapis dua, dan ada kepala binatang di bawahnya, mungkin naga.



Hiasan ujung tongkat yang biasa dibawa para pendeta dan bentuknya melambangkan agama yang mereka anut. Tongkat berhias Trisula menunjukkan bahwa ia adalah pendeta agama Siwa. Jika berhias Cakra maka ia adalah pendeta agama Wisnu, dan jika berhias Wajra (intan atau petir) maka ia adalah pendeta agama Trantra. Ada pula tongkat yang ujungnya berhias naga atau hiasan lainnya.



Pada 1913 di Nganjuk, Jawa Timur, ditemukan lebih dari 90 arca perunggu yang sebagian di simpan di Museum Nasional, dan sebagian lagi di museum-museum di Eropa dan di tangan para kolektor. Arca-arca ini dahulu diletakkan di mandala, tempat pemujaan yang pada arah-arah mata angin ditempatkan dewa-dewa tertentu.



Arca-arca Nganjuk ini wajahnya memiliki wajah orang Jawa, juga dari hiasan belakang berupa simpul ikat pinggang, serta bentuk perhiasannya. Arca Nganjuk bersifat Buddha Tantra, dan banyak diantaranya menggambarkan Boddhisatwa dan Tantra.



Kuwera atau Jambhala yang adalah dewa kekayaan. Ia digambarkan bertangan dua, berperut besar, tangan kanan memegang buah, tangan kiri memegang kantung dari kulit binatang sejenis tupai, dan duduk dalam sikap wirasana di atas bantalan lotus. Di bawah kakinya, di depan singgasana terdapat tempayan-tempayan berisi harta. Patung ini ditemukan di Yogyakarta dari abad 8-9 M.



Sejumlah arca perunggu lainnya yang berada di dekat atau bersebelahan dengan arca Kuwera. Arca yang dalam posisi berdiri terlihat cantik, dengan ornamen deperti deretan lidah api tersusun ke atas di belakangnya. Posisi telapak tangannya seperti sedang menenangkan atau bersabda. Ornamen pada penutup kepalanya juga terlihat elok.



Sebagian dari koleksi Maitreya di Museum Nasional Jakarta. Dalam agama Buddha, Bodhisattva Maitreya adalah Buddha yang akan datang. Maitreya bertahta di surga Tusita, tempat tinggal para bodhisatva sebelum mencapai tingkat Buddha. Sebelum lahir sebagai Siddharta Gautama, Buddha Sakyamuni juga tinggal di Tusita.



Buddha adalah juga sebuah gelar yang tidak merujuk ke Buddha Sakyamuni saja. Setelah Buddha Sakyamuni akan ada Buddha Maitreya yang saat ini bertempat tinggal di surga Tusita, yaitu tempat tinggal bagi para bodhisatva sebelum mencapai tingkat Buddha.



Di sebelah kanan adalah patung Kinara, makhluk kahyangan yang berwujud setengah manusia setengah burung, berasal dari abad 8 M. Kinara Kinari adalah penjaga kalpataru juga seniman yang memberikan pertunjukan-pertunjukan kesenian di istana kahyangan.



Sejumlah arca perunggu dewa bertangan empat yang letaknya dalam satu tempat dengan arca Kinara. Bentuk badan arca yang paling kanan bawah terlihat unik, seperti sedang menari atau berjalan dengan gaya yang khas. Baik Dewa Siwa, Brahma dan Wisnu, semuanya digambarkan memiliki tangan empat.



Nekara perunggu ini merupakan benda prasejarah yang berasal dari sekitar 2500 tahun lalu. Nekara ini kemungkinan berasal dari Vietnam karena di salah satu tympanium nekara terdapat tulisan Cina Kuno. Nekara ditemukan di Kepulauan Maluku, Nusa Tenggara, Bali, Jawa, dll.



Selasar dan ruang terbuka di tengah gedung arca Museum Nasional Jakarta yang menyimpan banyak sekali peninggalan berharga berupa arca batu dan sekaligus sebagai tempat istirahat sementara karena adanya tempat duduk yang disediakan di sana. Terlihat tinggi di ujung sana adalah Arca Bhairawa.



Sebuah arca Ganesha berukuran besar yang masih utus. Arca ini dibuat dari batu hitam dengan pengerjaan yang sangat halus dan detail. Ganesha adalah dewa pengetahuan dan kecerdasan, dewa pelindung, dewa penolak bencana dan dewa kebijaksanaan. Di pewayangan, Ganesha disebut Bhatara Gana, salah satu anak Bhatara Guru. Beberapa arca lain di sebelahnya dalam kondisi yang tak utuh.



Pandangan dekat pada halaman dalam yang terbuka dilihat dari arah Barat yang memperlihatkan beberapa buah arca dwarapala, gentong batu, arca nandi berukuran besar yang terlihat dari arah belakang, dan di ujung sana di dalam selasar terdapat arca Bhairawa. Pilar-pilar tinggi besar yang mengelilingi area ini membantu menciptakan pemandangan yang anggun.



Halaman dalam Museum Nasional dilihat dari sisi Timur memperlihatkan arca dwarapala, Yoni, gentong batu, beberapa buah arca nandi, dengan satu arca nandi besar berornamen indah di tengah-tengah halaman.



Arca Bhairawa yang merupakan arca tertinggi di Museum Nasional, dengan tinggi mencapai 414 cm. Arca ini merupakan perwujudan Avalokiteswara, digambarkan berdiri di atas mayat dan beberapa tengkorak manusia berderet rapat di bawahnya, tangan kiri memegang cangkir tengkorak dan tangan kanan memegang keris pendek. Patung yang ditemukan di Padang Roco, Sumatera Barat, ini diduga dari abad ke 13 - 14, konong melambangkan Raja Adityawarman yang bergelar Maharajadiraja Srīmat Srī Udayādityawarma Pratāpaparākrama Rājendra Maulimāli Warmadewa. ↓↓↓



Sebuah batu prasasti dengan huruf-hurufnya tidak saja diukir di bagian depan batu yang lebar namun juga di bagian sisi batu yang lebih sempit. Tak ada keterangan tentang prasasti ini, namun tampaknya ditulis dengan menggunakan huruf Pallawa, atau Jawa Kuno, dan biasanya memakai bahasa Sanskerta. ↓↓↓



Sekumpulan arca batu di selasar Museum Nasional Jakarta yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Mungkin karena saking banyaknya, tak semua arca itu memiliki keterangan yang memadai yang bisa membantu pengunjung. Bagaimana pun secara bertahap seluruh keleksi elok itu mesti diletakkan di tempat memadai dengan keterangan yang cukup.



Sebuah ruangan luas bergaya kolonial dengan meja marmar bundar antik, lampu-lampu gantung, lemari antik berisi sejumlah koleksi berharga, guci dan tempayan dengan berbagai bentuk serta ornamen, dan lantai keramik dua warna selang seling yang anggun.



Patung dada dan lukisan foto Conrad Theodor van Deventer (1857 - 1915), tokoh Politik Etis, koleksi Museum Nasional. Pada 30 April 1886 van Deventer menulis surat untuk orang tuanya, berisi pemikiran perlunya tindakan yang lebih manusiawi bagi pribumi di Hindia Belanda, belajar pada kebangkrutan Spanyol akibat salah kelola tanah jajahan. Pada 1899 ia menulis di majalah De Gids, berjudul Een Eereschuld (Hutang kehormatan). Isinya menunjukkan bahwa Negeri Belanda menjadi negara dan aman adalah dari hasil kolonialisasi di Hindia Belanda. Sepantasnya jika kekayaan itu dikembalikan.



Keramik dinding dengan lukisan klasik sangat indah, yang merupakan salah satu koleksi Museum Nasional Jakarta. Lukisan itu menggambarkan sebuah danau atau kolam luas, yang lokasinya di bawah perbukitan yang agak gundul. Di tepi danau hanya ada tiga orang yang tengah mengerjakan sesuatu di sana.



Sebuah tengkorak dikelilingi batuan kecil dengan tulisan Pythecanthropus berwarna keemasan di bawahnya. Pithecanthropus erectus adalah makhluk mirip manusia yang fosil tengkoraknya ditemukan di Trinil pada 1891 oleh tim yang dipimpin Eugene Dubois. Belakangan namanya diganti menjadi Manusia Jawa (Homo erectus paleojavanicus) sebagai Homo erectus yang pertama kali ditemukan.



Patung Ganesaha lainnya yang masih berada di sekitar selasar Museum Nasional. Patung ini terlihat jauh lebih langsing dan gagah ketimbang patung Ganesha pada umumnya. Posisi punggungnya tegak, dan matanya tajam memandang ke arah depan. Dalam kitab Brahmawaiwartapurana disebutkan bahwa Parwati, istri Siwa, memperlihatkan bayinya yang baru lahir kepada para dewa. Namun Dewa Sani yang memiliki mata terkutuk memandang kepala si bayi sehinggaterbakar menjadi abu. Dewa Wisnulalu menggantinya dengan kepala gajah.



Sepasang meriam lapangan kuno dan patung gajah di halaman depan Museum Nasional yang tampak hijau dan asri. Pada 1862 pemerintah Hindia Belanda mendirikan gedung ini yang baru dibuka untuk umum tahun 1868. Pada 17 September 1962, Lembaga Kebudayaan Indonesia menyerahkan pengelolaan museum kepada pemerintah RI.



Patung gajah terbuat dari perunggu yang diberikan oleh Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand ketika ia berkunjung ke museum ini pada 1871. Patung itulah yang membuat Museum Nasional Republik Indonesia, nama resmi museum sejak 28 Mei 1979, juga dikenal dengan nama Museum Gajah.



Pandangan jarak dekat yang memperlihatkan guratan relief dan ornaman yang elok pada salah satu dari dua meriam kuno yang ada di halaman Museum Nasional. Pertempuran memakai meriam terjadi pada 28 Januari 1132, ketika Han Shizhong Jenderal Dinasti Song merebut sebuah kota di Fujian. Meriam genggam digunakan Mesir melawan serangan Mongol pada pertempuran Ain Jalut tahun 1260.



©2021 Ikuti