Foto Jin De Yuan

Dominasi warna merah kuning terlihat di Kelenteng Jin De Yuan. Di kiri kanan ada lubang angin bundar yang dipenuhi ukiran serta binatang Qi-Lin yang melambangkan keberuntungan besar. Menggantung di depannya ada lampion bergambar harimau dan naga. Pada dinding lainnya ada relief burung dengan kepala berjengger seperti ayam serta seekor naga.



Arca Giok Hong Siong Te terlihat di salah satu ruangan di Kelenteng Jin De Yuan, sebagai dewa tertinggi penguasa alam semesta. Giok Hong Tai Tee adalah putra Raja Jing De dan Ratu Bao Yue Guang dari negeri Guang Yan Miao Le. Ia melepaskan kedudukan raja dan pergi ke gunung untuk menjadi Maha Dewa.



Altar sembahyang untuk Sam Koan Tay Tee di Kelenteng Jin De Yuan. Tri Murti Tao ini adalah wakil Tuhan yang berwujud Kaisar Tiga Dunia yang mengasai Langit, Bumi dan Air.



Seorang pria, dua orang wanita, tengah bersembahyang di altar Chien Chiu Koan Im atau Dewi Kwan Im. Rakyat Tiongkok purba mengenalnya sebagai Pek Ie Tai Su atau Dewi Welas Asih jubah putih. Agama Buddha Mahayana mempercayai Kwan Im sebagai perwujudan Buddha Avalokitesvara, dan Kwan Sie Im Pho Sat sebagai perwujudannya dalam sosok pria.



Tepat di depan pintu masuk, terpisah dari gedung utama terdapat bangunan segi-delapan dengan sebuah altar yang diperuntukkan bagi pemujaan Dewa Langit. Sepasang suami isteri tampak tengah bersembahyang di altar ini.



Kelopak bunga teratai di puncak bangunan segi delapan tempat altar Dewa Langit, dengan latar belakang sepasang naga yang tengah berebut mustika di wuwungan kelenteng.



Di halaman Kelenteng Jin De Yuan terdapat sepasang singa batu (Bao-gu shi) yang dibuat pada abad ke-18, berasal dari propinsi Kwangtung, Tiongkok Selatan. Seorang pria menangkupkan tangan sambil merapal doa di pintu masuk kelenteng, menghadap altar Dewa Langit.



Arca Singa batu hitam itu tampak seperti tengah mengawasi seorang ibu yang tengah bersembahyang di altar dewa langit dengan segepok hio menyala di tangannya. Selesai sembahyang hio yang telah dibakar itu ditancapkannya pada hiolo berwarna keemasan yang berada di depannya.



Seorang pria dengan segenggam hio menyala di tangan kirinya tampak berjalan cepat menuju ke pintu masuk kelenteng setelah bersembahyang di altar Dewa Langit. Sementara di pintu dua orang peziarah baru saja hendak meninggalkan kelenteng setelah selesai bersembahyang.



Di sebelah kiri seorang pria dengan kertas sembahyang di tangannya tampak tengah berdoa di teras Kelenteng Jin De Yuan. Kertas itu kemudian dibakar di tempat pembakaran kertas sembahyang yang disebut Kim Lo. Sementara itu seorang pria lain tengah bersembahyang di altar Giok Hong Siong Te.



Pria dengan kertas sembahyang itu kini bersembahyang di altar Giok Hong Siong Te. Jika setiap orang bersembahyang di semua altar dan meletakkan hio di setiap hiolo, maka selain akan memakan waktu lama juga memerlukan penggunaan perlengkapan sembahyang yang tidak kecil. Namun itu adalah salah satu kebajikan yang harus dilakukan agar doa-doanya terkabul.



Pada papan di sebelah kiri kanan pintu utama ini terdapat tulisan dalam bahasa Tionghoa yang berbunyi: "Kim Teng Kiat Siang In, Pian Khay Hoat Kay" yang berarti "Pedupaan Emas membentuk Awan Kebahagiaan, semua tempat terbuka demikian pula Alam Dharma", dan "Tek Bun Theng Sui Khi, Kong Pho Jin Khan" yang berarti "Gerbang Kebajikan menampakkan atmosfir Kejayaan, menyebar luas di alam semesta."



Lubang hawa di sebelah kiri pintu utama dengan ukiran kayu bermotif daun dan bunga. Dua buah vas di kiri kanan berwarna hijau dan kuning emas, serta seekor binatang mistis berbadan kuda berkepala menyerupai gajah berada di tengah bawah. Di pojok kiri kanan atas ada ukiran kijang, pojok kiri kanan bawah juga ada ukiran binatang.



Lubang hawa di sebelah kanan pintu masuk ini ornamen ukir kayunya berbeda dengan yang ada di sebelah kiri. Warna vasnya coklat dan biru laut, sementara binatang mistisnya berkepala harimau. Ukiran binatang juga ada di keempat sudut kiri kanan atas bawahnya.



Tambur tua menggantung di Kelenteng Jin De Yuan, biasanya dipakai untuk memulai acara besar. Masjid-masjid Jawa umumnya juga menggunakan bedug sebagai penanda masuk waktu sholat dan hari besar. Masuknya bedug ke masjid mungkin karena sebagian Wali Songo berasal dari keturunan Tionghoa. Genta tua juga bisa ditemukan menggantung di bawah sebuah pilar kayu, suatu perlengkapan sembahyang yang selalu ada setiap kelenteng yang saya kunjungi.



Lorong kelenteng ini dihias lidah-lidah api lilin merah berukuran sangat besar. Bagi masyarakat Tionghoa, lilin adalah perlengkapan penting dalam sembahyang di kelenteng. Sebuah lilin dengan tinggi 2 m dan diameter 50 cm bisa berharga sampai sembilan juta rupiah. Selain sebagai penerang, lilin-lilin itu juga diberi aroma agar lebih sedap tercium ketika dibakar.



Hiolo kuning keemasan Kelenteng Jin De Yuan dengan ukiran kepala naga garang di badan hiolo, serta ukiran naga pada sisinya. Bentuk asap hio ketika dibakar dipercaya memberi petunjuk apakah doanya langsung diterima para dewa langit.



Sebuah poster yang menempel di dinding Kelenteng Jin De Yuan, menyebutkan bahwa Wu Hu Jiang Jun (Go Ho Ciong Kun) adalah lima Jenderal Harimau. Dalam banyak kisah klasik Tiongkok ada banyak cerita tentang keberanian para jenderal.



Altar Er Lang Shen dan Thien Kou di Kelenteng Jin De Yuan dengan ornamen sepasang naga yang indah. Er Lang Shen adalah Malaikat Pelindung Kota Sungai, yang hidup di zaman dinasti Qin, dan merupakan putra Li Bing, Gubernur dari propinsi Xi Chuan. Sementara Thien Kou adalah anjing surga.



Pada altar Cay Sin Ya juga ada sepasang naga emas dengan ekor tegak lurus ke atas. Semasa hidupnya, Cay Sin Ya adalah menteri bijaksana yang menjabat di akhir masa Dinasti Siang (1766 – 1123 SM). Ia dipercaya sebagai titisan Dewa Bintang Sastra Bun Khiok Seng, dan sebagai Dewa Harta Sipil, kekuasaanya adalah untuk menjaga harta kekayaan.



Wuwungan Kelenteng Jin De Yuan dengan patung sepasang naga dalam posisi berhadapan tengah berebut mustika, dilihat dari area di halaman tengah. Pada tembok terdapat beberapa aksara Tionghoa yang ditulis dengan huruf sangat besar.



Seorang wanita muda tengah menancapkan hio di altar Hian Thian Siang Tee (Giok Hong Tai Te) dan Hian Than Kong. Giok Hong Tai Te terlahir beberapa kali sebagai putra mahkota yang meninggalkan kehidupan dunia untuk menjadi pertapa, dan akhirnya mencapai tingkatan dewa bergelar Hian Thian Siang Te. Ia berkuasa di Langit Utara, menaklukkan berbagai siluman, termasuk siluman ular dan siluman kura-kura.



Wanita muda itu kemudian bersembahyang di altar Tek Hai Cin Jin. Ia adalah salah satu tokoh pejuang Tionghoa dalam peristiwa Geger Pecinan melawan VOC di Batavia (1741-1742) bersama dengan Kwee An Say, Oei Ing Kiat, Tan Pan Jiang, dan sebagainya.



Pintu yang ada di bagian belakang Kelenteng Jin De Yuan yang juga terdapat lampion bersegi enam serta aksara Tionghoa di sisi kiri kanan pintunya. Gari-garis kayu pada pintu terlihat cantik.



Altar Seng Hong Ya, Thay Swee Ya dan Kong Tek Cun Ong yang berada di sayap kanan Kelenteng Jin De Yuan. Seng Hong Ya adalah penguasa alam baka, namun kekuasaannya juga meliputi alam dunia. Ia dipuja sebagai contoh bagi pejabat tinggi yang jujur dan idealis.



Sebuah tempat pembakaran kertas sembahyang atau Kim Lo di Kelenteng Jin De Yuan. Tradisi membakar kertas semula dimaksudkan untuk membantu orang miskin agar bisa membuat dan menjualnya sehingga bisa bertahan hidup di tengah kehidupan yang sangat sulit pada masa itu.



Altar Cu Sin Nio Nio, Hwa Kong, dan Hwa Pho, Dewa Perjodohan / Rumah Tangga, yang berada di sayap kanan Kelenteng Jin De Yuan, bagi yang ingin meminta perjodohan dan meminta keturunan.



Bagian langit-langit di ruang utama kelenteng dengan tulisan Tionghoa, lampu kristal dan ornamen lainnya. Sementara itu sebuah keluarga tampak tengah bersembahyang di sebuah altar pemujaan. Pertukaran udara di dalam kelenteng, yang biasanya dipenuhi dengan asap hio, dibantu dengan adanya sejumlah exhaust fan pada dinding.



Genta tua juga bisa ditemukan menggantung di bawah sebuah pilar kayu, suatu perlengkapan sembahyang yang selalu ada setiap kelenteng yang saya kunjungi. Ada pula lonceng tertua di Jakart berangka tahun 1825, dan lonceng asal Fu Shou berangka tahun 1890.



Seorang ibu sepuh tengah berjalan ke arah samping kiri Kelenteng Jin De Yuan, mungkin untuk beristirahat sebentar. Hiolo untuk Dewa Langit di banyak kelenteng biasanya berkaki tiga, namun di tempat ini hiolonya ditumpangkan pada beton berbentuk bunga teratai.



Seorang turis asing didampingi pemandu wisatanya terlihat tengah berjalan meninggalkan kelenteng. Popularitas Kelenteng Jin De Yuan tampaknya cukup tinggi di kalangan turis asing lantaran nama kelenteng ini dimuat di banyak buku panduan wisata.



Ornamen Qilin pada lubang hawa di dinding depan kelenteng. Qilin adalah mahluk mitos dengan badan kuda bersisik berkepala singa bertanduk rusa dan bercula yang konon selalu muncul bersamaan dengan datangnya seorang bijak. Kemunculannya merupakan pertanda baik yang menghadirkan ketenangan atau kemakmuran. Klik foto ke halaman berikutnya »



©2021 Ikuti