Foto Fat Cu Kung Bio

Suasana di dalam Kelenteng Fat Cu Kung Bio cukup ramai saat itu, dan sedikit agak repot untuk masuk ke dalam ruangan kelenteng dimana orang-orang tengah bersembahyang setelah membakar beberapa batang hio. Jumlah batang hio yang dibakar bergantung pada niatan doanya.



Seorang pria terlihat melambaikan rotan yang dibalut dengan pita-pita menyerupai bola api, seolah sedang mencoba menarik perhatian Barongsay untuk bermain. Mereka berada di depan pintu masuk Kelenteng Fat Cu Kung Bio.



Bersembahnya di altar Dewi Kwan Im di Fat Cu Kung Bio dengan hiolo keemasan berukir cantik. Manusia adalah mahluk lemah, yang selalu berharap rasa welas asih dari penguasa hidup.



Barongsay dengan warna dominan merah, yang sebelumnya berwarna kuning keemasan, juga mendekati ke arah pintu masuk Fat Cu Kung Bio, mungkin untuk mendapat berkah keselamatan sebelum ikut dalam kirab.



Di sebelah kiri adalah altar sembahyang bagi Kwan Seng Tee Kun, yang lebih dikenal dengan sebutan Kwan Kong, seorang jenderal dari jaman Tiga Negara yang dipuja dan dihormati karena keteladannya.



Di tengah adalah altar sembahyang bagi Thay Siang Lie Lo Koen, yang dikelilingi oleh empat patung dewa lainnya, diantaranya Kwee Seng Ong dan Lui Kung. Thay Siang Lie Lo Koen atau Thay Siang Lo Kun atau Tai Shang Lao Junatau Maha Dewa Thay Siang, adalah Li Er atau Li Dan atau Lao Tse (Lao Zi), pendiri Taoisme. Di sebelah kanan adalah altar bagi Hian Tian Siang Tee, Hok Tek Ceng Sin, dan Couw Su Kong.



Pandangan lebih dekat pada patung Lao Tze dan kelima pengawal atau muridnya. Patungnya terlihat memegang sebuah labu di tangan kirinya. Selain di kelenteng Tri Dharma, penganut Tao memiliki tempat ibadah sendiri yang disebut Li Tang.



Sebuah joli dengan ukiran naga sangat indah ini berasal dari Vihara Dewa Rejeki di Babakan Madang. Di dalam joli ada pula ukiran burung Hong yang tak kalah eloknya. Pria berkaos kuning berasal dari Kwan Im Kiong, Pamekasan Madura. Peserta kirab memang datang dari daerah-daerah di seluruh Indonesia.



Joli lainnya yang tak kalah elok dengan hiasan bebungaan dan pita merah yang dibentuk menjadi kembang. Bukan beban yang ringan untuk memanggul joli dan berjalan di terik matahari Jakarta dengan jarak cukup jauh. Joli ini bernomor 1, artinya berada di urutan paling depan dalam kirab.



Barisan penabuh tambur dan simbal tampak baru saja datang menuju ke area Fat Cu Kung Bio. Mereka mengenakan kaos yang bertulis sebuah merk kendaraan bermotor. Barongsay telah berjalan di depan mereka.



Seorang gadis remaja memperlihatkan kepiawaiannya dalam menabuh tambur dengan irama yang hidup dan bergairah, disaksikan oleh para penabuh lainnya. Selain simbal sedang dan kecil terlihat pula kenong yang tak semua grup Barongsay menggunakannya. Kalau tak salah mereka berasal dari Jembatan Dua, Jakarta.



Patung para dewa yang dijejer di area Kelenteng Fat Cu Kung. Patung-patung ini mungkin yang dibawa dari berbagai kelenteng peserta kirab, dan boleh jadi dibawa pulang kembali. Yang berwajah hitam, berambut dan berjanggut hitam kalau tak salah adalah Fat Cu Kung.



Patung-patung para dewa dilihat dari sisi yang berbeda. Boleh jadi patung Fat Cu Kung adalah yang bermuka hitam dan berkumis berjanggut hitam dengan hiasan di kepalanya. Patung paling kiri ada tulisan Boen Tek Bio, Sewan, Tangerang. Jadi benar bahwa patung-patung itu dibawa ke Fat Cu Kung sebagai bagian dari perayaan She Jit.



Patung lainnya dengan pakaian yang terlihat mewah, dikalungi rangkaian bunga melati. Di belakangnya sepertinya adalah patung Dewa Bumi.



Tidak lama setelah saya menunggu di area sekitar Toko Merah kepala iring-iringan Kirab She Jit Fat Cu Kung Bio mulai terlihat, didahului oleh dua buah jeep dan dua mobil lainnya. Awal arak-arakan adalah pasukan pengibar bendera berseragam putih-putih yang membawa bendera Merah Putih, sebagai tanda penghormatan dan kesetiaan pada NKRI.



Di belakang pasukan pembawa Bendera Merah Putih itu terlihat marching band yang membawa lagu-lagu nasional dan lagu populer, dan agak samar di belakangnya terlihat ada Liong (Naga).



Ekor dari marching band yang membawa bendera yang dikibar-kibarkan ke berbagai arah secara simultan. Marching Band ini berasal dari Kabupaten Karawang. Di belakangnya terlihat kelompok wanita dan pria yang mengenakan baju adat dari Bali.



Beberapa peserta kirab budaya Fat Cu Kung Bio wanita dengan pakaian adat Bali yang menambah kecantikan dan kemolekannya.



Kelompok penabuh musik tradisional Bali dengan kain poleng berjalan di belakang wanita cantik pada foto sebelumnya.



Group Liong dari TNI ikut memeriahkan Kirab Budaya She Jit Kelenteng Fat Cu Kung Bio.



Atraksi Liong yang memikat dari grup TNI-AD, yang kalau tak salah berasal dari kesatuan di Semarang.



Penampilan Lion dari grup TNI lainnya, yang sepertinya dari kesatuan yang sama melihat lambang yang ada di kepalanya.



Grup Marching Band dari Kabupaten Karawang.



Para pengibar umbul-umbul Marching Band Kabupaten Karawang yang semuanya mengenakan jilbab.



Ketiga wanita itu tampaknya adalah para penari Bali yang memamerkan kebolehannya di awal kirab dan di beberap titik tertentu di sepanjang rute arak-arakan.



Dua grup Liong dari kesatuan TNI dengan warna naga berbeda tampak berjalan beriringan. Mereka melakukan atraksi individual dan juga atraksi bersama yang menarik.



Pemimpin kedua grup Liong tampak memberi aba-aba untuk memulai sebuah atraksi bersama.



Kedua grup Liong mulai menggerakkan naganya secara bergelombang, sementara Barongsay di depannya juga mulai beraksi.



Grup Liong yang rupanya dari Kesatuan Yon Armed Kostrad itu terlihat tengah beraksi sambil berguling di atas aspal jalan.



Sebuah formasi naga yang rumit tengah diperlihatkan oleh grup Liong Yon Armed Kostrad.



Pemain Barongsay dan kedua grup Liong tengah beraksi.



Sebuah joli tampak tengah ditandu oleh sejumlah pria. Mereka secara bergantian memanggul joli yang lumayan berat itu.



Inilah salah satu yang paling menarik dalam kirab budaya Fat Cu Kung Bio, namun juga bisa mendirikan bulu roma bagi banyak orang yang melihatnya, yang disebut sebagai Tatung. Terlihat kedua pipi orang itu ditembus dengan menggunakan batang logam serta pedang ditangannya digunakan untuk menyayat lidah dan tangannya.



Tak ada ekspresi sakit sama sekali pada wajah orang itu, yang memang mungkin tengah mati rasa oleh karena kerasukan ketika melakukan ritual Tatung.



Pandangan lebih dekat pada wajah orang yang pipinya tembus ditusuk oleh dua batang logam itu.



Peserta arak-arakan tampak tengah melintas di depan pintu masuk Stasiun Kota yang juga dikenal dengan sebutan Beos. Di dekat area ini terdapat cukup banyak tempat wisata, seperti Taman Fatahillah, Museum Seni Rupa dan Keramik, Museum Fatahillah, Museum Wayang, Museum Bank Indonesia, Museum Bank Mandiri, dan Jembatan Kota Intan



Para wanita pun tak mau kalah untuk ikut serta dalam memberi semangat arak-arakan She Jit Kelenteng Fat Cu Kung saat rekan-rekan prianya menggotong sebuah joli ini.



Joli dengan ukiran dan ornamen elok yang tengah dipanggul sekelompok peserta kirab. Setiap kelompok umumnya diiringi oleh orang-orang yang membawa makanan dan minuman.



Iring-iringan joli dan orang-orang yang berasal dari Kelenteng Siu Thian Kiong, Jl. Palapa Raya, Kandang Panjang, Pekalongan Utara.



Rumah-rumahan ini tidak dipanggul namun digerakkan dengan kendaraan bermotor. Di sebelah atas pengendaranya diletakkan beberapa speaker sound system.



Iring-iringan kelompok joli lainnya, yang didahului oleh seorang perempuan yang membawa umbul-umbul sebagai simbol dari kelenteng tempat mereka berasal.



Iring-iringan dari kelenteng yang berada di bawah naungan Yayasan Setya Dharma Jepara.



Peserta arak-arakan dari Fat Cu Kung Bio dan Kelenteng Hok Hien Bio, Kudus.



Liong dengan kepala terlihat garang, dan badan dibalut api, terlihat tengah diarak oleh beberapa orang pria.



Sebuah joli lainnya dengan umbul-umbul dan ornamen naga serta bebungaan indah tampak tengah diarak melewati stasiun kota.



Sebuah kelompok penabuh Barongsay tampak menggunakan tambur berukuran cukup besar yang ditarik dengan dudukan beroda di bawahnya.



©2021 Ikuti