Foto Gereja Simultan

Tampak depan Gereja Simultan di kompleks Ereveld Menteng Pulo terlihat cukup elok saat kami berjalan melintasinya dari arah depan menuju ke ujung Barat makam. Ada tangga untuk menaiki menara gereja setinggi 22 meter untuk melihat pemandangan dari atas, yang tidak kami lakukan waktu itu. Sepertinya akan elok jika memotret area ini dari apartemen atau Hotel Park Lane.



Ketika berjalan di lorong itu saya sempat melihat ke arah bagian Columbarium lewat lorong selasar yang ada di sisi sebelah kiri sebelum masuk ke ruang utama gedung Gereja Simultan yang cukup luas. Deretan pasu tersusun rapi pada lekuk dinding yang dibagi dalam kolom-kolom berisi nama pemiliknya, diantaranya J.J. Brusse (Olt . Ku A. KNIL, tewas 28-1-43).



Pandangan pada serambi dan ruangan utama Gereja Simultan Menteng Pulo. Mimbar kayu di serambi adalah tempat disimpannya kitab Injil kuno dalam Bahasa Belanda, di dalam kotak bertutup kaca. Empat deret dan dua lajur bangku di ruangan ini bantalannya dicopot, mungkin hanya dipasang ketika ada misa. Di ruang dalam terdapat patung Yesus pada tiang salib, meja altar, diterangi sumber cahaya dari dua lubang dinding samping berhias kaca patri sangat indah karya C. Stauthamer yang dibuat pada 1950, tahun berdirinya Gereja Simultan.



Pemandangan pada sudut Columbarium, dengan sebuah kolam asri dan dua selasar yang membentuk sudut 90 derajat, disangga oleh pilar-pilar besar. Bangunan pojok di bawah kubah hijau itu ternyata merupakan tempat penyimpanan abu jenazah orang Belanda tidak dikenali yang jadi tawanan perang Jepang. Beberapa ikan koi berukuran cukup besar yang berenang-renang di dalam kolam. Menempel di bagian depan setiap pilar yang semuanya ada sembilan (tiga di selasar kiri dan enam di kanan), terdapat medali dengan simbol-simbol empat agama (Kristen, Islam, Yahudi, Tao), serta simbol-simbol kehidupan (hidup, mati, waktu, lahir kembali, dan keabadian).



Pandangan pojok yang memperlihatkan bangunan utama gereja di bagian depan dengan lonceng di puncaknya, serta menara setinggi 22 meter dengan penutup berbentuk kubah. Di latar depan adalah deret kubur yang menjadi bagian dari ereveld, diantaranya seorang pendeta bernama G.J. Jansen in de Wal. Ia wafat pada 30 Juli 1945.



Bulan Sabit Bintang di sebelah kiri dan Bintang Daud di sebelah kanan, yang masing-masing melambangkan agama Islam dan Yahudi terlihat pada foto ini. Salib dan Yin-Yang ada pada sudut yang lainnya, sebagai lambang Nasrani dan Konghucu.



Salib memorial di Gereja Simultan ini dibuat dengan menggunakan bantalan rel kereta api Burma, sebagai penghormatan bagi tentara Belanda, Inggris, Australia dan Amerika yang menjadi tawanan perang tentara Jepang, dan tewas selagi menjalani kerja paksa untuk membuat jalur kereta api dari Burma ke Thailand.



Teman-teman tengah merubung kitab Injil kuno yang berada di dalam kotak kaca sebuah mimbar di serambi gereja. Kitab ini merupakan salah satu peninggalan menarik yang ada di dalam ruangan gereja, selain salib rel Birma.



Tawa cerah dalam kebersamaan di sekitar mimbar kitab kuno. Empat deret dan dua lajur bangku di ruangan ini bantalannya sedang dicopot sehingga terlihat berlubang, mungkin hanya dipasang ketika ada rombongan tamu yang berziarah dan akan berdoa di gereja ini.



Pandangan dari belakang mimbar ke arah halaman depan gereja dengan pintu masuk kayu kembar dan lubang-lubang hawa di bagian kiri adan atas dinding. Lantai gereja tampak bersih mengkilat, tanda bahwa gedung ini dirawat baik.



Pemandangan pada Columbarium yang berada di sayap kiri Gereja Simultan, dengan sebuah kolam asri dan dua selasar yang membentuk sudut, disangga oleh pilar-pilar. Meskipun air kolam tak jernih, namun lumayan untuk membantu mendinginkan hawa, selain sejumlah pohon peneduh tanggung.



Merawat kenangan pada orang mati yang berjasa pada bangsa dan negaranya dengan membangun columbarium yang elok dan dirawat secara sangat baik seperti ini memperlihatkan penghormatan pada mendiang yang tidak hanya sekadar kata dan slogan kosong. Ini bukan soal biaya, namun pola pikir, kemauan, yang diikuti tindak nyata.



Pandangan pada bagian atas menara yang memperlihatkan simbol agama Konghucu berupa Yin-Yang, serta simbol agama Islam berupa Bulan sabit Bintang. Kerukunan beragama di kubur sudah biasa, meski lokasinya sering dipisah juga, namun yang harus terus dirawat adalah kerukunan ketika masih hidup.



Tanaman perdu dan bebungaan di sekitar kolam columbarium ikut membantu memberi suasana yang menyejukkan, setidaknya bagi pengunjung. Hanya bunga merah dan putih yang terlihat di sana, tak ada biru, mungkin untuk menghormati tanah dimana mereka bersemayam.



Pandangan pada sudut pertemuan antara serambi gereja dan bagian bawah menara. Jalur pedestrian yang dibuat di sekeliling gereja, termasuk di sekitar kolam, membuat orang bisa menelusuri hampir setiap bagian dari kompleks yang menawan ini.



Pandangan utuh pada menara yang menjulang cukup tinggi ini. Sayang sekali saat itu tak terpikir sama sekali untuk naik ke atas sana, karena kelihatannya lubang-lubang di bawah kubah memiliki pandangan ke segala arah yang sangat baik. Lambang salib tampak terlihat pada sudut sebelah kiri.



Elisa tampak tengah memasukkan tangannya ke dalam kotak yang berisi makanan ikan. Ia tengah memandang kelepak ikan yang menggerakkan permukaan kolam di depannya saat berebut makanan yang sebelumnya dilemparnya. Di belakangnya, Olive dan Rika entah tengah berbincang tentang apa. Perhatikan pula lambang di bagian atas pilar.



Pandangan dekat pada pojok yang memperlihatkan lambang Salib dan Bintang Daud pada pilar columbarium. Bangunan ini memang terlihat dirancang dengan detail yang sangat baik. Arsitek dan penggagasnya pantas mendapat acungan jempol.



Sisi sebelah kanan columbarium dengan deret dan kolom pasu penyimpan abu jenazah para korban perang Pasifik. Simbol agama dibuat berselang-seling dengan simbol-simbol kehidupan (hidup, mati, waktu, lahir kembali, dan keabadian).



Elisa, Olive dan Rika pada lorong di ujung columbarium yang terlihat sangat elegan dengan lantai keramik yang bersih mengkilap. Guci-guci polos diletakkan di setiap batas kolom pasu, dan temboknya dihias relief seperti binatang kaki seribu berwarna keemasan.



Rika tengah mengamati nama-nama yang tertera di bagian bawah setiap pasu. Di ujung belakang sana, pada dinding, terlihat lukisan kaca patri yang sangat indah. Entah cerita pada yang ingin disampaikan dari sosok pria dan wanita yang saling berpandang mata itu.



Sementara Olive berjalan meninggalkan lorong, Rika di ujung sana masih asik memotret pasu. Mungkin ada nama menarik yang ia lihat. Jika saja bukan kubur, akan sangat nyaman tinggal di tempat ini, karena ruang terbuka luas dengan kolam di dalamnya merupakan barang langka yang hanya dimiliki rumah mewah di lokasi tertentu saja.



Lita dengan lonceng berangka tahun 1950 yang berada di halaman samping depan gereja. Meskipun terpapar panas dan hujan, namun kondisi lonceng ini masih sangat baik. Tak ada tali untuk menggerakkan pemukul lonceng, sehingga mungkin lonceng ini memang tak pernah dibunyikan, atau tali hanya dipasang dan lonceng dibunyikan pada saat tertentu saja.



Tulisan pada lonceng kuno ini juga masih terbaca dengan sangat jelas. Yang tampak pada foto adalah bagian belakang lonceng, dengan sebaris tulisan yang pada bagian awalnya berbunyi "Petit et Fritsen", dan seterusnya yang tak terlihat jelas pada foto dan lupa tak saya catat.



Tulisan pada bagian depan lonceng dengan A.D. 1950 di bagian atas, dan di bagian bawahnya tertulis "Den dank van 't het volk ten vromen tolk, tamp ik boven de graven van die hun trouw aan 't rood-wit-blauw, in stof en as hier staven" dan paling bawah ada tulisan "Khatoliek thuisfront" atau rumah Katolik.



Olive tampak tengah melangkahkan kaki di halaman depan Gereja Simultan dengan sejumlah tanaman hias yang mempercantik pandangan. Karena bagian ini tanpa pelindung depan sama sekali maka pintu masuk ke ruangan gereja dibuat menjorok agak jauh ke dalam.



Pintu masuk ke dalam Gereja Simultan terdiri dari dua buah daun pintu kayu yang terbuka ke luar dimana masing-masing terdapat tiga kaca patri bergambar. Pada kaca di pintu kanan terdapat torehan burung, hewan tanah dan pepohonan. Sedangkan di pintu sebelah kiri terdapat lukisan ikan, tanaman dan buah-buahan.



Beberapa ikan koi berukuran cukup besar yang berenang-renang di dalam kolam menjadi tontonan cukup menghibur. Demam ikan koi sempat melanda negeri ini, membuat harganya melambung gila-gilaan, yang bisa lebih mahal dari harga sebuah rumah mewah sekalipun.



©2021 Ikuti