Foto Kelenteng Bahtera Bhakti

Pintu gerbang Kelenteng Bahtera Bhakti Ancol dengan sepasang naga berebut mustika di atas wuwungannya. Tepat dibawah patung naga terdapat lima lukisan dalam kotak segi empat yang menggambarkan lima elemen klasik Tionghoa, yaitu kayu, api, tanah, logam dan air. Papan nama Kelenteng Bahtera Bhakti Ancol ada di bawah atap wuwungan, diapit sepasang Ciok say (singa). Singa adalah hewan suci yang melambangkan energi, keberanian, dan melindungi kelenteng dari roh jahat.



Saat itu ada seorang pria dengan memegang hio membungkuk di altar Dewi Kwan Im. Ruangan ini relatif besar, masih baru, dan lebih lega dibanding ruang utama Kelenteng Bahtera Bhakti Ancol. Kata bajik di depan altar berbunyi "Lahan batin manusia bagaikan sepetak sawah. Bila tidak ditanami dengan bibit yang baik, tidak akan menuai hasil yang baik", dan "Memohon maaf bukan menjadi hina, memberi maaf bukan menjadi bangga, saling memaafkan menjadi mulia."



Di bagian belakang gedung utama Kelenteng Bahtera Bhakti Ancol ada mural kisah perjalanan Biksu Tong Sam Cong ke Barat yang murid-muridnya. Sejumlah binatang yang mewakili kedua belas shio terlihat pada relief lukisan ini.



Patung Ibu Sitiwati dan Sam Po Soei Soe di Kelenteng Bahtera Bhakti Ancol. Sam Po Soei Soe adalah juru mudi Laksamana Cheng Ho yang turun untuk melihat pertunjukan ronggeng dan terpesona dengan penari bernama Sitiwati hingga tertinggal kapal yang telah berlayar.



Punya sayap tetapi tidak bisa terbang. Begitulah nasib burung-burung yang malang di lorong masuk Kelenteng Bahtera Bhakti ini. Mereka berdesak-desakan di kandang yang bau dan sempit menunggu nasib, yang entah lebih baik entah lebih buruk.



Berkandang-kandang burung itu dijejer dan bertumpuk-tumpuk, sementara penunggu lapaknya tiduran di atas bangku buluk. Saya kira pengurus kelenteng perlu memikirkan bagaimana agar pedagang memperlakukan binatang yang mestinya hidup bebas ini dengan lebih baik.



Kim Lo, tempat pembakaran uang kertas sembahyang, yang biasanya berbentuk pagoda dengan lubang pembakaran di dalamnya. Membakar uang kertas merupakan sebuah amalan dengan harapan agar arwah para leluhur tidak kekurangan untuk memenuhi kebutuhan mereka.



Pandangan dekat pada lubang pada pembakaran kertas sembahyang dengan bara api yang masih menyala merah terang, serta asap putih mengepul dari sisa bakaran kertas.



Seorang pria tengah membakar hio dengan api lilin. Setelah hio menyala, apa pada hio tidak boleh ditiup dengan mulut, namun mematikannya harus dengan dikibas-kibaskan sampai apinya mati. Altar ini adalah Altar Delapan Dewa dengan patung-patung kecil para dewa terlihat berada di dalamnya.



Lorong yang menghubungan dua altar di bagian depan dengan bangunan utama Kelenteng Bahtera Bhakti. Dua orang petugas tampak tengah duduk beristirahat di sebelah lilin-lilin berukuran raksasa yang harganya mencapai puluh jutaan. Kelenteng ini tampak kotor karena tengah dilakukan perbaikan.



Altar pemujaan Coi Sua Ti Cu, Dewa Pembuka Langit, yang berada di depan bangunan utama Kelenteng Bahtera Bhakti Ancol dengan patung harimau putih di bagian bawah.



Sebuah bangunan yang tampak masih baru berisi patung Buddha Empat Muka atau Dewa Empat Wajah, seperti yang ada di Kenjeran Surabaya, namun dengan ukuran yang jauh lebih kecil.


">
Keempat muka melambangkan empat sifat Buddha, yaitu kasih sayang, murah hati, adil dan meditasi. Patung yang ada di Kuil Erawan Bangkok melambangkan Muka Kedamaian dan Kesehatan, Muka Hubungan Baik, Muka Keberuntungan, dan Muka Perlindungan terhadap Kejahatan.



Selain beraksara Tionghoa ada pula akasara Latin nama pemiliknya ditulis pada badan lilin-lilin berukuran besar ini. Juga doa-doa atau syair kebajikan. Sebagian lilin itu sudah menyala, sebagian lagi terlihat masih baru dan belum dibakar.



Lilin dengan berat 1000 kati (1 kati = 6¼ ons) dengan sumbu besar ini harganya lebih dari 10 juta rupiah dan bisa bertahan menyala sampai 6 bulan. Lilin terbesar yang dibuat adalah seberat 2000 kati.



Altar Buddha di Kelenteng Bahtera Bhakti Ancol, dengan tiga patung berukuran besar di ujung ruangan serta relief Candi Borobudur pada dinding. Di bawah patung tengah terdapat tulisan Se Cia Mo Ni Fo atau Sang Buddha Sakyamuni. Lalu ada tulisan “Omitofok, semoga semua mahluk berbahagia”, dan tulisan “Aku berlindung kepada Sang Ha sampai menuju ke pantai bahagia”.



Pada patung ini terdapat tulisan Tie Cang Wang Po Sat atau Ksitigarbha Bodhisattva dengan persembahan buah-buahan serta kue bulan susun lima yang membentuk kerucut. Ada tulisan bijak "Orang yang berbuat jahat walaupun bencana belum tiba tetapi rejeki telah menjauhinya".



Altar Dewi Kwan Im dengan relief berukuran besar pada dinding yang duduk di atas lotus. DI bawahnya ada rupang yang berukuran lebih kecil yang diapit beberapa rupang lainnya. Di bawah terdapat tulisan "Na Mo Ta Pei Kwan She Im Po Sat, Semoga Semua Mahluk Berbahagia".



Seorang wanita tengah berdoa dengan wajah tengadah menatap Dewi Welas Asih di atas sana. Di bawah ada tulisan "Lahan batin manusia bagaikan sepetak sawah. Bila tidak ditanami dengan bibit yang baik, tidak akan menuai hasil yang baik". Lalu di bawahnya ada tulisan "Memohon maaf bukan menjadi hina, memberi maaf bukan menjadi bangga, saling memaafkan menjadi mulia".



Relief Kwan She Im Po Sat itu memegang botol berwarna keemasan berisi air suci (amrta) di tangan kiri dan tangan kanan memegang Dahan Yang Liu yang digunakan untuk memercikkan air suci yang dapat mensucikan dan menyembuhkan.



Seorang pria berkaos merah tengah bersembahyang sambil berlutut, sementara yang berkaos biru baru bersiap untuk berdoa. Di bawah kanan ada tulisan lagi yang berbunyi "Seorang yang kaya menghias rumahnya dengan indah, seorang yang berkebajikan memperindah dirinya dengan cinta kasih", serta "Harumnya kebajikan dapat mengalahkan harumnya kayu cendana, bunga melati, bunga teratai, bunga tagara".



Sebuah kolam kecil berbentuk bundar terlihat ada di halaman belakang Kelenteng, ditumbuhi keladi serta ada patung pria berjanggut putih panjang tengah tersenyum bahagia dengan seekor ikan besar berwarna keemasan di pangkuannya.



Sikap tangan Buddha ini disebut Dhyana mudra yang melambangkan semadi atau meditasi. Di Candi Borobudur semula terdapat 504 arca Buddha dalam posisi duduk bersila dalam posisi lotus dengan mudra tertentu. Ada lima golongan mudra: Utara, Selatan, Timur, Barat, dan Tengah, berdasarkan lima arah utama menurut ajaran Mahayana yang masing-masing diwakili oleh Dhyani Buddha.



Ruang altar khusus di bagian belakang Kelenteng Bahtera Bhakti Ancol itu yang digunakan untuk bersembahyang bagi Embah Said Areli Dato Kembang bersama isterinya yang bernama Ibu Enneng (Pha-Poo). Mereka adalah orang tua dari Ibu Sitiwati yang dimakamkan di ruang utama Kelenteng Bahtera Bhakti Ancol.



Deretan lilin 100 kati dan berbagai ukuran lain yang lebih kecil tersusun rapi pada altar Embah Said Areli Dato Kembang dan Ibu Enneng. Penghormatan orang Tionghoa kepada leluhur atau orang yang dianggap berjasa di masa lalu patut diapresiasi.



Sebuah altar di dalam bangunan bertiang empat dan atap berbentuk segi delapan ini berada di belakang kiri Kelenteng Bahtera Bhakti. Hiasan naga emas pada setiap sudut atap sangat memikat. Demikian pula ornamen yang dibuat pada risplang.



Bunga sedap malam yang telah mulai layu di dalam vas keramik yang cantik. Fungsi bunga di kelenteng selain untuk keindahan adalah juga agar ruangan menjadi harum sehingga membuat orang lebih khusyuk dalam melakukan sembahyang. Dua butir jeruk besar nyaris seperti kelapa diletakkan di atas altar. Berbagai buah-buahan juga bisa dijumpai di altar ini.



Sebuah altar yang diletakkan agak masuk ke dalam diterangi dengan lampu listrik merah dadu bertutup kelambu merah. Sejumlah hio yang masih menyala tampak tertancap pada hiolo di depan altar pertanda baru ada orang sembahyang di sini.



Seorang wanita tengah berdoa di depan altar Sam Po Soei Soe dengan memegang setumpuk uang kertas sembahyang yang akan dibakar di dalam Kim Lo setelah selesai sembahyang. Semakin banyak uang kertas yang dibakar semakin banyak amalan yang dikirim ke leluhur.



Selain rupang Iboe Sitiwati dan Sam Po Soei Soe ada rupang lebih kecil berkalung bunga berpakaian kebesaran khas Tionghoa yang diletakkan diantara kedua rupang dalam posisi duduk terbuat dari tembaga. Agak ke kiri bawah ada lagi rupang yang lain dengan pakaian warna-warni.



Sebuah jam dinding dengan ornamen bebungaan bertulis "Pour l'amour de moi" atau "Untuk kepentingan saya". Jarum jamnya sendiri dan angka-angkanya sudah lenyap entah kemana.



Makam Sam Po Soei Soe dan Iboe Sitiwati yang berada tepat di bawah altarnya. Tampaknya hanya ada satu makam di sana, entah mereka dikubur dalam satu makam atau berdampingan di sebelahnya. Bunga mawar merah dan putih serta bunga kantil tampak tertebar di atas makamnya.



Altar Kong Toe Tjoe Seng dengan rupang memakai jubah warna kuning bersulam naga merah. Kong Toe Tjoe Seng adalah yang diminta Sam Po Soei Soe untuk membangun kelenteng Da Bo Gong, tempat memuja Dewa Air, yang kemudian menjadi Kelenteng Bahtera Bhakti.



Pemandangan tiga altar yang berderet di ruang utama Kelenteng Bahtera Bhakti, dipisahkan oleh jam dinding yang bertulis kata dalam bahasa Perancis itu. Papan berhuruf Tionghoa di atas altar terlihat sudah tua dan kusam.



Nyala lilin di dalam remang ruang kelenteng memberi kesan indah. Selain sebagai penerang, lilin juga diberi aroma sehingga menyebarkan bau wangi ketika terbakar. Meskipun sudah ada lampu listrik namun fungsi lilin dan lampu minyak masih tetap dipertahankan di kelenteng.



Pandangan samping pada altar dan makam Ibu Sitiwati dan Sam Po Soei Soe. Jika tah tahu ceritanya maka mungkin orang akan tak menduga bahwa di dalam Kelenteng Bahtera Bhakti ini ada kuburan yang bersejarah.



Tulisan pada nisan makam itu berbunyi "Kramat Sam Po Soei Soe, Iboe Sitiwati". Di Kelenteng Bahtera Bhakti Ancol ini juga dikubur Ibu Mone, adik Ibu Sitiwati.



Tiga buah cawan kecil diletakkan di depan altar Giok Ong Siang Te. Pada bagian depan meja altar tampak ukiran rupang dan benda lainnya. Debu bekas bakaran dupa tampak menggunung pada hiolo dan meluber ke bawahnya.



Kesibukan di bagian depan Kelenteng Bahtera Bhakti. Hio berbentuk kukusan nampak menggantung di sepanjang blandar kelenteng yang memberi wewangian pada pengunjung.



Sebuah patung singa di dekat dua buah lilin 1000 kati yang tinggal sedikit lagi akan habis. Singa dan hiolo kaki tiga di dekatnya terlihat sudah berumur tua. Ornamen naha hitam tampak melilit pada tiang. Warna naga hitam jarang saya jumpai di kelenteng lainnya.



Lonceng dan tambur (lou kou) Kelenteng Bahtera Bhakti Ancol. Tambur biasanya ditabuh ketika orang akan bersembahyang, yang bisa kapan saja. Sedangkan genta biasanya ditabuh pada waktu maghrib, sebaga tanda pergantian hari.



©2021 Ikuti