Foto Keramat Solear

Monyet betina dan anaknya yang terlihat menggemaskan ini terlihat setelah beberapa puluh langkah kami menelusuri kawasan di dalam area hutan Keramat Solear Tangerang yang luas itu, melewati deretan warung sederhana lagi yang sebagian kosong tanpa penghuni.



Di sejumlah tempat terdapat gerombolan monyet ekor panjang yang mengharap derma makanan, umumnya kacang, dari para pengunjung Keramat Solear Tangerang. Ada yang sudah menunggu di sekitar jalan berpaving blok sesaat setelah kami membayar parkir dan tiket masuk serta melewati gerbang sederhana.



Bangunan berdinding tembok dan beratap seng terlihat di sekitar ujung kiri area Keramat Solear Tangerang di ujung dimana jalan berbelok ke arah kanan. Di sekitar bangunan ini ada beberapa pohon besar dan tinggi, menandai tempat itu sebagai makam keramat dan dijaga dua orang sepuh yang menunggui kotak sumbangan. Satu duduk di bawah Pohon Tularak, dan seorang lagi duduk di bawah Pohon Kilangir.



Sejumlah peziarah, pria wanita dan anak-anak, tampak tengah duduk membaca tahlil dan doa di Makam Syekh Mas Masaad, Keramat Solear Tangerang. Di cikal bakal Tigaraksa itu Mas Masaad harus bertempur melawan Pangeran Jaya Perkasa atau Mas Laeng, patih Kerajaan Pajajaran yang dibantu oleh Ki Seteng. Namun pertempuran berlangsung seimbang sehingga ketiganya sepakat untuk berdamai. Kesepakatan ketiga tokoh itulah yang memberi nama Tigaraksa pada wilayah itu, yaitu tiga yang memelihara (perdamaian).



Seekor bos monyet ekor panjang tak kuat menahan kantuk dan menguap. Kabarnya di Keramat Solear ada dua kelompok monyet dengan bos berbeda.



Si bos pun tak kuat menahan kantuknya dan terlelap selama beberapa kejap. Namun telinganya yang tajam membuatnya cepat terbangun jika ada bunyi



Panjangnya ekor si monyet bisa dilihat pada foto ini. Kera dengan nama Latin Macaca fascicularis ini merupakan monyet asli Asia Tenggara namun sekarang tersebar di wilayah lain di Asia.



Jagoan monyet lainnya. Pertempuran satu lawan satu memperebutkan makanan dan pengaruh lazim terjadi di kalangan monyet ekor panjang ini.



Pemandangan di Makam Syekh Mas Masaad dengan pohon besar di latar belakang serta sejumlah pengunjung yang tengah membaca tahlil dan doa.



Makam Dewi Mayang Sari yang berada di dalam sebuah cungkup kecil di dekat sungai. Tak jelas benar siapa sosok wanita ini, namun melihat gelaran tikar dan karpet tampaknya ada juga yang datang membaca tahlil di sanai.



Sebagian pohon di sana diberi tanda bertulis nama, usia dan tingginya. Seperti Pohon Bayur ini yang disebut berusia 85 tahun dengan tinggi 15 meter.



Pandangan pada jalan yang sejajar sungai, meski berjarak agar jauh, yang menghubungkan sisi utara dan sisi selatan kawasan hutan Solear. Bisa dilihat di ujung sana gubug-gubug warung sangat sederhana yang terkesan kumuh. Jika saja bersih dan rapi tentu akan lebih sedap dipandang mata.



Si anak monyet yang wajahnya lucu namun memelas tampak memandangi dari jauh. Mungkin merasa aman dalam dekapan induknya, atau memang sudah biasa melihat orang, ia terlihat tenang saja dalam dekapan induknya.



Lengan seekor monyet tampak pitak bekas luka gigitan. Monyet memang tampaknya suka berkelahi memperubutkan makanan, betina, dan wilayah.



Pohon Kihara yang konon berusia 400 tahun dengan ketinggian 20 meter ini terdapat di sebelah makam ketiga yang dibatasi ram besi bercat hitam.



Di sebelah Pohon Kihara yang konon berusia 400 tahun dengan ketinggian 20 meter ini terdapat makam dibatasi ram besi bercat hitam di bawah cungkup beratap seng tanpa dinding yang sangat sederhana. Tak ada nama. Melangkah beberapa meter melewati makam itu kami bertemu cungkup yang belakangnya terdapat makam di bawah pohon sangat besar. Tak pula ada nama. Saat itu ada seorang pria yang tengah mengecat cungkup.



Makam yang ada di tengah hutan Solear, di belakang bangunan cungkup yang lebih kecil dari cungkup yang ada di bagian depan. Sayang tak ada informasi, selain mungkin adalah makam pengikut Syekh Mas Saad.



Serombongan peziarah yang membawa anak-anak mereka tampak tengah berjalan meninggalkan area Keramat Solear melewati kawanan monyet.



Anak-anak itu ketika mereka dewasa dan menikah pada gilirannya akan mengajak anak-anaknya lagi untuk berziarah ke makam seperti ini.



Bos kecil seperti ini biasanya maunya menang sendiri saat berebut makanan dan baru berhenti setelah kekenyangan dan mengantuk. Namun di Keramat Solear tak saya lihat ada monyet yang bisa minum dari teh botol seperti yang saya lihat di Plangon.



Beberapa orang ibu-ibu peziarah tampak tengah berada di dekat sebuah kios sederhana yang menjual jam tangan, aksesori, dan cindera mata lainnya.



Dua diantara warung sederhana lainnya yang mengapit gerbang selatan kawasan Keramat Solear. Dengan menarik karcis parkir Rp 10.000 mestinya bisa untuk membayar petugas kebersihan. Belum lagi sumbangan yang dikumpulkan dari peziarah di dekat makam. Persoalannya pertama-tama memang bukan ada tidaknya uang, namun kesadaran.



Dua orang pengunjung tampak berdiri di depan akses masuk ke tempat parkir yang hanya bisa dilewati sebuah mobil. Ada baiknya jika lubang masuk ini diperlebar dua kali lipatnya. Di sebelah kanan terlihat sawah dengan padi muda yang menghijau.



Serak sampah dan deret warung yang kurang sedap dipandang mata. Para pemilik lapak itu perlu dibantu dengan desain warung yang baik, bersih dan rapi. Meski dibuat dari bambu dan rumbia sekalipun jika dirancang dengan baik tentu akan jauh lebih elok dan berkelas.



Bertengger di atas dudukan batang bambu si induk merasa nyaman memeluk anaknya yang masih kecil, dengan bulu badan yang lebih gelap.



Berbaring di dekat si induk monyet dan anaknya ada monyet ekor panjang lainnya, yang mungkin masih ada hubungan dengan si induk monyet, setidaknya berasal dari satu gerombolan.



Pandangan lebih dekat pada anak monyet yang terlihat masih sangat ringkih dengan induknya yang menjaganya dengan ketat. Dengan minimnya pohon buah-buahan di hutan Solear, monyet-monyet itu sepertinya menggantungkan hidup dari derma pengunjung dan dari warga sekitar.



©2021 Ikuti