Foto Curug Dago

Ada sebuah bangunan kecil di bagian bawah Curug Dago dimana orang bisa menemukan dua buah prasasti yang dibuat pada tahun 1896, dikenal sebagai prasasti Dago atau prasasti Thailand, karena berhubungan dengan kunjungan keluarga kerajaan ke tempat itu. Mereka adalah Raja Chulalongkorn dan Pangeran Prajattiphok Paramintara, raja ke-5 dan ke-7 dari Dinasti Chakri.



Pandangan lainnya pada awal Curug Dago Bandung yang debit air lumayan besar karena membawa limpahan air hujan yang tak teresap sejak dari hulu. Saat melangkah lebih dekat ke bibir sungai bisa terlihat pusaran air di bagian bawah air terjun yang kekuatan hentaknya selama beratus tahun sanggup membentuk kedung air yang dalam.



Merangsek ke depan dengan menyibak semak belukar yang agak padat di bawah rumpun bambu yang rimbun sampailah saya ke tebing sungai dan mendapatkan foto di atas. Terlihat di sana ada aliran kecil yang jatuh ke atas batu hitam besar. Kabut air tampak memutihkan udara di atas saung dimana terdapat prasasti Dago.



Derasnya aliran Curug Dago Bandung dilihat dari sela batang-batang bambu. Aliran Sungai Cikapundung ini mengalir ke selatan dan bermuara di Sungai Citarum. Sedangkan di sebelah hulunya melewati daerah Lembang dan membuat air terjun lainnya yaitu Curug Omas di kawasan wisata Maribaya. Kata pundung berasal dari sejenis buah-buahan bernama kapundung atau kepundung (Baccaurea spp.).



Melihat batuan hitam di tepian Curug Dago itu saya membayangkan besarnya aliran lahar hingga sampai ke tempat ini dan membeku dalam jumlah yang begitu banyak. Karena konon semua batuan berasal dari magma gunung berapi yang muntah saat meletus.



Pemandangan yang terlihat saat melangkah lebih dekat ke bibir tebing. Jika saja menggunakan tongkat selfie mungkin akan bisa menghasilkan foto yang lebih menarik, meski harus dilakukan dengan sangat hati-hati.



Pandangan pada aliran sungai. Panjang Sungai Cikapundung diperkirakan mencapai 28 km dengan debit air minimum 6 m3 per detik. Karena membelah kota Bandung membuat sungai ini menjadi tempat pembuangan sampah warga dan berakibat banjir besar di musim hujan, yang terutama melanda daerah Dayeuhkolot, Bale Endah dan Bojongsoang.



Meski agak kabur namun pada foto ini pondok kecil di bawah sana bisa terlihat lebih jelas, dengan area di sekitarnya yang tak begitu luas.



Pandangan curug pada posisi agak lebih ke atas dan ke kiri. Batu gunung hitam yang menjadi tebing itu tak licin sehingga pengunjung bisa berdiri di atasnya dengan cukup aman. meski harus tetap berhati-hati.



Pemandangan pada bagian atas curug yang rimbun dengan pepohonan serta gerumbul bambu yang rimbun.



Curug Dago dari sela tumbuhan perdu dan batang bambu kecil yang roboh menyamping.



Besarnya debit Curug Dago bisa terlihat dari sela batang bambu ini, yang saya temukan lubangnya setelah menyeruak perdu dan menyisir tepian tebing sungai.



Pandangan tegak pada curug dari sela batang bambu yang sudah besar, memperlihatkan kedung air yang ada di bawah air terjun.



Masih dengan sudut pandang yang sama hanya lebih tinggi sedikit di bagian atas. Karena membentur dinding batu maka sebagian aliran airnya terlihat melintir sebelum jatuh ke bawah.



Saat itu Curug Dago masih belum mendapat perhatian yang memadai dari pemerintah kota, membuat pengunjung masih agak kesulitan untuk menikmatinya. Semoga kondisinya sekarang sudah jauh lebih baik.



Pandangan lainnya pada aliran air Curug Dago yang terlihat seperti melintir oleh sebab adanya batuan di bagian ata tebing curug. Akan sangat elok jika dibuat dek pandang di beberapa titik di tepian tebing sungai.



Pandangan dekat pada ujung bawah Curug Dago, yang jika dilihat dari debit airnya maka di kolam bawah curug mestinya ada palung yang cukup dalam dengan pusaran air kuat.



Adanya pohon bambu di tepian sungai memang menghalangi panorama curug, namun mungkin sangat bermanfaat dalam memperkuat tebing sungai agar tak mudah longsor. Ada baiknya dibuat jembatan pandang yang melintang di atas sungai, di sekitar cungkup prasasti.



©2021 Ikuti