Brawijaya V, Jawa Tengah, Kebumen, Makam, Mirit

Makam Mbah Lancing Kebumen

Makam Mbah Lancing Kebumen ada di daftar kunjung. Lupa alasannya, namun pasti ada yang menarik tentang makam keramat ini. Kata keramat buat saya berarti ada hal sangat berarti yang telah dilakukan si mayit ketika ia masih hidup, sampai ia mendapat penghormatan.

Kebumen memiliki banyak makam tua, namun hanya sedikit yang masuk daftar kunjung. Perjalanan ke Makam Mbah Lancing dari Gardu Pandang Waduk Wadaslintang cukup lama. Jaraknya 35,7 km. Rute lain bisa menghemat sekitar 8 km, begitu menurut Google Map.

Setelah beberapa kali bertanya, kami akhirnya sampai di sebuah jalan di wilayah Mirit, dan lalu berbelok kiri masuk gang sejauh 400 meter, belok lagi ke kiri dan sampai di pekuburan. Menyusur kanan pekuburan, kami sampai di tanah lapang. Makam Mbah Lancing yang kami tuju berada di sebelah kanan, dengan jalan pintas melewati pekarangan kosong.

makam mbah lancing kebumen

Cungkup Makam Mbah Lancing Mirit Kebumen dibuat dengan gaya joglo, rumah dengan langgam tradisional Jawa, dengan dinding kayu berukir, mengapit pintu masuk ke dalam makam yang sebenarnya. Tengara Cagar Budaya di kiri cungkup berbunyi "Makam Mbah Lancing Mirit".

Selain memiliki arti kakek, kata Mbah adalah sebutan penghormatan bagi orang yang telah berumur lebih dari 60 tahun, umumnya dengan rambut dan jenggot kumis telah memutih, dan kadang dengan gigi yang mulai ompong. Meskipun pintu makam terbuka, namun saya ke rumah juru kunci terlebih dahulu yang hanya beberapa langkah di sebelah kanan cungkup Makam Mbah Lancing.

Ki Kamdi (69 tahun), kuncen Makam Mbah Lancing, menemui saya di rumahnya. Secangkir teh hangat dan makanan kecil disediakannya. Sudah lima tahun ia menggantikan abangnya. Dari Ki Kamdi saya mendapat silsilah si Mbah yang dibuat oleh keturunan Wonoyudo. Setelah berbincang, menikmati teh, serta melihat buku tamu, saya pamit melihat makam.

Nama asli Mbah Lancing Mirit adalah Kyai Baji. Konon semasa hidupnya si Mbah senang memakai kain batik untuk bebedan (lancingan), sehingga kemana pun pergi ia selalu memakai lancing, dan karena itu ia disebut Mbah Lancing. Karena itu pula tampaknya persembahan untuk sesepuh ini dilakukan oleh para peziarah dengan menumpuk kain batik di atas pusaranya hingga menggunung.

makam mbah lancing kebumen

Makam Mbah Lancing Mirit Kebumen yang sangat unik, dengan tumpukan kain batik menggunung. Di sebelah Makam Mbah Lancing adalah makam ayahnya yang bernama Kyai Ketijoyo. Satu makam lagi terpisah di sebelah kanan ditutupi kain hijau adalah makam Kyai Dipodrono, putera Wonoyuda Halus. Mbah Lancing terhitung paman Wonoyudo Halus (Wongsojoyo V).

Pada silsilah disebutkan bahwa Brawijaya V dengan Dewi Penges (Reksolani) berputra Ario Damar (Adipati Palembang). Ario Damar dengan Putri Campa berputra Ario Timbal (Raden Kusen, Adipati Terung). Raden Kusen inilah yang membunuh Sunan Ngudung, setelah sebelumnya Sunan Ngudung membunuh Ki Ageng Pengging Sepuh dalam perang Majapahit melawan Demak.

Bagian dalam cungkup memiliki pilar kayu dibuat berukir, dan yang cukup mengejutkan adalah ternyata tidak ada makam satu pun di dalam cungkupnya. Di ujung ruangan hanya ada tulisan yang berbunyi "Makam Eyang Agung Lancing", dengan kain beludru digelar di lantai di sebagai tempat duduk bagi para peziarah.

Rupanya Makam Mbah Lancing justru berada di belakang cungkup bangunan, di tempat terbuka tanpa penutup atap sama sekali. Entah karena permintaannya sendiri atau ada kisah lain yang belum saya ketahui sehingga makam mBah Lancing justru berada di luar cungkup.

Boleh jadi Ki Kamdi tahu cerita tentang mengapa lokasi Makam Mbah Lancing berada di luar cungkup, namun saya tak balik lagi ke rumahnya untuk bertanya. Ki Kamdi menyebutkan bahwa beliau ini adalah seorang wali. Ia berperan penting dalam penyebaran Islam di pesisir selatan tanah jawa, dan bersama Mbah Kyai Marwi merintis permukiman di Desa Mirit.

Melanjutkan silsilah, Putri Campa sebelumnya adalah istri Brawijaya V dan berputra Raden Patah. Raden Kusen berputra Ki Ageng Yudotaligrantung dan Raden Carangnolo. Raden Carangnolo berputra Wonoyudo Inggil (Wongsojoyo I, Kyai Wairotanu). Wongsoyudo Inggil berputra Kyai Ketijoyo (ayah Mbah Lancing), Wonoyudo Lante (Wongsojoyo II), dan Wonoyudo Pamecut (Wongsojoyo III).

Tumpukan kain batik yang disebut sinjang itu berasal dari para peziarah yang terkabul doanya, sebagai ungkap syukur. Orang harus datang ke juru kunci jika hendak meletakkan sinjang di atas Makam Mbah Lancing, dan sinjangnya tidak boleh dibeli di pasar. Juru kunci akan meminta seorang wanita, dengan syarat-syarat tertentu, untuk membatik sinjangnya.

Menurut Ki Kamdi, Mbah Lancing tidak menikah sampai ia meninggal, yang mungkin dimaksudkan untuk menjaga kesuciannya. Masih menurut Ki Kamdi, pada malam Jumat Kliwon para peziarah biasanya datang dan berdiam di dalam kompleks makam sampai subuh. Mereka biasanya membaca tahlil dan Surat Yasin secara bersama atau sendirian.

Beberapa langkah lagi dari Makam Mbah Lancing terdapat pintu masuk ke Makam Wonodikromo I, keponakan Kyai Dipodrono, atau cucu dari sepupunya Mbah Lancing. Di sekitar si Mbah memang ada sejumlah makam yang sering dikunjungi peziarah, yaitu Makam Eyang Wongsojoyo, Makam Eyang Wonoyudo Inggil, dan Makam Eyang Wonoyudo Kantong. Namun saya sempat berkunjung ke Makam Eyang Wongsojoyo dan Makam Eyang Wonoyudo Inggil.


Makam Mbah Lancing Kebumen

Alamat : Desa Mirit, Kecamatan Mirit, Kebumen. Lokasi GPS : -7.79709, 109.78706, Waze. Jam buka : sepanjang hari dan malam. Harga tiket masuk : gratis, sumbangan diharapkan. Hotel, Tempat Wisata, Peta, Transportasi.


Bagikan ke:
Facebook, Twitter, WhatsApp, Telegram, Email. Print!.

, seorang pejalan musiman dan penyuka sejarah. Penduduk Jakarta yang sedang tinggal di Cikarang Utara. Traktir BA secangkir kopi. Secangkir saja ya! Desember 30, 2019.